SALAH satu fakta menarik dari Pemilu 2009 ini, adalah banyaknya aktivis progresif yang bergabung dengan partai politik (parpol) elite atau mendukung figur elite politik tertentu. Secara demokratis, tentu saja tidak ada yang salah dengan tindakan politik para aktivis itu. Yang lebih penting, bagaimana menjelaskan fakta tersebut, sebagai bahan pembelajaran bagi kalangan progresif di Indonesia.
Misalnya, dalam kerangka strategi-taktik pembangunan gerakan progresif, apakah pilihan politik bergabung dengan parpol elite atau mendukung figur elite, menguntungkan? Mencari jawab atas pertanyaan ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Max R. Lane, Visiting Fellow di Dept. of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), di suatu sore di kota Manhattan, New York, pada akhir Mei lalu. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Bagaimana Anda menjelaskan keterlibatan para aktivis progresif dalam mendukung tiga kandidat Capres/Cawapres dalam pemilu 2009 ini?
Max R. Lane (MRL): Untuk mengerti gejala ini, pertama kali kita harus melihat situasi makronya dulu. Satu fenomena yang sangat mendasar di Indonesia, yang berhubungan dengan jatuhnya Soeharto, bahwa gerakan reformasi yang menuntut jatuhnya Soeharto dan yang menuntut perubahan demokratis dan keadilan sosial, sama sekali tidak melahirkan sebuah partai politik. Ada Partai Rakyat Demokratik (PRD), salah satu gerakan yang ikut memicu kemunculan gerakan reformasi yang lebih luas, tapi PRD lahir sebelum gerakan reformasi. Tetapi, massa atau gerakan reformasi yang membludak pada 1997-1998, tidak melahirkan partainya sendiri.
IP: Tetapi, bagaimana anda melihat kemunculan Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan (Sejahtera), atau Partai Kebangkitan Bangsa, dan PDI-P. Bukankah mereka lahir pasca reformasi?
MRL: benar bahwa mereka adalah partai yang lahir sesudah Soeharto jatuh, tapi mereka bukan partai yang dilahirkan oleh gerakan reformasi itu sendiri. Penekanan saya, adalah partai yang dilahirkan sebagai akumulasi dari gerakan massa yang membludak mulai dari peristiwa Mega-Bintang Rakyat, gerakan mahasiswa yang muncul pada akhir 1997 dan 1998. Mereka ini tidak melahirkan sebuah partai.
IP: Mengapa bisa begitu?
MRL: Ada dua penjelasannya: pertama, periode massa yang membludak itu terlalu pendek, sekitar enam sampai delapan bulan. Akibatnya, banyak mahasiswa dan aktivis lainnya yang terlibat dalam gerakan dari akhir 1997 sampai Mei 1998, memang masih memandang figur-figur oportunis yang muncul pada waktu itu, seperti Amien Rais dan Megawati. Sehingga figur-figur itu berhasil memonopoli ruang untuk mendirikan partai. Akibatnya, dari 1999 sampai saat ini, elit borjua Indonesia menguasai total arena partai politik, apalagi dalam rangka proses elektoral. Elit di sini baik yang sepenuhnya adalah elit Orde Baru, yang terutama bergerak di Golkar, misalnya, atau elit-elit yang sudah memiliki partai barunya, di PDI-P, PKS maupun Demokrat.
Dengan komposisi seperti ini, maka perjuangan untuk memajukan keadilan sosial dan demokrasi sepenuh-penuhnya menjadi masalah. Karena dengan dikuasai sepenuhnya arena elektoral oleh para elit borjua yang ada di partai-partai itu, dan sebenarnya juga arena politik pada umumnya, berarti rakyat miskin (proletar, semi-proletar, petani, nelayan, dsb.) memang tidak punya sebuah wadah politik. Dan itu sangat terasa dalam hal neoliberalisme, yang masuk ke Indonesia dengan begitu gampanya, tanpa perlawanan yang berarti sama sekali, bahkan tidak menjadi isu. Isu neoliberalisme di Pilpres saat ini, tak lebih sebagai demagogi. Kenapa neoliberalisme masuk begitu gampangnya, karena rakyat miskin tidak punya wadah politik.
Situasi ini berarti menuntut orang yang ingin perubahan demokratis dan keadilan sosial, harus bisa melihat bahwa salah satu kebutuhan mendesak adalah mendirikan gerakan dengan ideologi yang jelas, serta partai politik yang memang menjadi wadahnya rakyat miskin. Buat saya, semua taktik politik atau semua tindakan politik yang mengajak rakyat ikut ke dalam partai-partai elite, persis pada waktu justru tugas yang paling mendesak adalah mendirikan partai politik rakyat miskin yang anti elite, adalah sebuah tindakan atau taktik politik yang sangat merugikan.
Nah, kedua berkaitan dengan pertanyaan mengapa banyak aktivis tahun 1990an terseret ke dalam partai-partai elite tersebut, jawabannya sangat banyak, tergantung dari masing-masing orang tersebut. Tetapi, dengan sebab apapun, saya kira ini merupakan tindakan yang merusak. Karena itu, yang sangat mendesak saat ini adalah mengobati situasi dimana sistem kepartaian sepenuhnya, saya katakan, sepenuhnya, dikuasai oleh aktor-aktor elite.
IP: Artinya monopoli partai elit itulah yang menyebabkan sulitnya para aktivis mendirikan partai politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat miskin?
MRL: Saya kira, monopoli partai elit itu bukannya menutup, karena sistem politik Indonesia saat ini kan sudah relatif terbuka, dimana setiap orang atau kelompok bisa mendirikan partainya. Untuk itu, kita mesti kembali ke sejarah dan kekesadaran politik di massa, termasuk mahasiswa, yang bergerak tahun 1998. Proses yang sangat singkat di periode membludak pada akhir 1997 hingga Mei 1998, menyebabkan tidak ada kesadaran di massa dan mahasiswa yang jumlahnya ribuan atau ratusan ribuan itu untuk membangun sebuah struktur politik seperti partai. Kesadaran itu hanya ada pada figur-figur. Akibatnya, ketika pada Nopember 1998, Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, dan Sultan, mendeklarasikan diri menolak memaksa Habibie menyerahkan kekuasaan, karena mereka menghendaki proses pengambilalihan kekuasaan itu harus melalui mekanisme pemilu, maka mobilisasi massa di gedung MPR-DPR bubar dan 90 persen gerakan juga ikut bubar.
Singkatnya periode politik yang membludak itu menyebabkan pengalaman politik massa dan gerakan mahasiswa dalam mendidik dan membentuk satu pengertian bahwa harus ada wadah politik permanen juga lemah. Dengan demikian, bubarnya mobilisasi massa itu menyebabkan tidak adanya basis bagi pembangunan sebuah partai politik bagi dan untuk kepentingan mereka sendiri. Yang ada adalah partai kecil, yang isinya adalah aktivis-aktivis yang paling militan, seperti PRD pada 1998-2001.
Jadi, dominasi dari partai-partai elite ini, bukan hasil dari suatu represi, melainkan cerminan dari tingkat kesadaran politik yang ada di massa dan tingkat kesadaran politik itu sampai sekarang tidak berubah. Memang ada tanda-tanda yang bisa menjadi petunjuk yang sangat memungkinkan untuk mengambil langkah-langkah ke arah satu partai yang bisa menggerakkan atau memimpin gerakan rakyat miskin.
IP: Mengapa situasi itu tidak dimanfaatkan oleh para aktivis tersebut, tapi malah memilih bergabung dengan partai elite?
MRL: Kalau untuk mengapanya, seperti yang saya bilang tadi, banyak jawabannya. Sebab-sebab yang ada dalam pikiran mereka untuk memilih bergabung dengan partai elite, saya tidak bisa menilainya. Hanya saya bisa menilainya sebagai cerminan sebuah keputusasaan dengan cara kerja mereka sebelumnya. Dan bisa dilihat bahwa dunia NGO atau LSM, memang sudah berada di jalan buntu. Nggak mungkin LSM-LSM bisa berhasil dalam mempengaruhi parlemen yang ada. Jadi, masuk akal meskipun keliru, okelah kita coba bekerja dari dalam. Atau begitu susah membangun sebuah gerakan partai rakyat miskin untuk bertarung di arena elektoral, maka diputuskanlah untuk masuk dalam sistem formal elektoral yang ada.
Tetapi bukan sebabnya yang penting, tapi bagaimana menilai berguna tidak bergunanya taktik itu. Seperti analisa saya tadi, karena memang persis pada waktu ini, tugas yang mendesak adalah mengisi kekosongan dimana rakyat biasa tidak punya wadah politik permanen, padahal sentimen melawan dan protes ada, dan saat ini di generasi aktivis pasca 2001-02, banyak sekali kelompok aktivis yang muncul dan kelihatan sekali bahwa mendirikan wadah permanen yang menjadi wadah politiknya rakyat biasa, sangat mungkin. Nah pada waktu yang sangat dibutuhkan dan juga memungkinkan itu, maka mengajak rakyat untuk mendukung dan percaya kepada partai elit, sangat tidak menguntungkan.
IP: kalau begitu, apa yang mesti dilakukan oleh para aktivis yang tidak terlibat dalam partai politik elit ini?
MRL: sebenarnya apa yang harus dilakukan itu, yang saya lihat sudah dan sedang dilakukan. Misalnya, pengorganisiran di grass-root, di pabrik, tempat kerja lain, kantor, supermarket, desa, itu semua jalan terus, dengan tenaga yang ada. Penerbitan-penerbitan kritis juga semakin banyak, baik dalam bentuk hard-copy seperti buku, brosur mapun dalam bentuk website, termasuk, misalnya, IndoPROGRESS. Terus aksi-aksi yang terkoordinasikan, seperti aksi anti kenaikan BBM, dan aksi menuntut nasionalisasi minyak dan gas di bawah kontrol rakyat yang dilakukan oleh aliansi Front Pembebasan Nasional (FPN) Mei 2008, atau aksi Aliansi Buruh Menggugat (ABM) menuntut dicabutnya SK Bersama empat menteri yang berlangsung secara nasional.
Mungkin harus tambah satu, yang juga saya yakin sedang dilakukan, kalau kita pakai bahasa PRD, karena saya sudah lama berkomunikasi dengan kawan-kawan PRD, adalah harus ada strategi atas dan strategi bawah. Strategi bawah adalah pengorganisiran di basis, aksi-aksi di basis, penyatuan-penyatuan di basis. Sedangkan strategi atas adalah strategi bagaimana mencari atau membentuk panggung nasional untuk menjangkau orang banyak dengan pesan-pesan politiknya. Dalam sejarah PRD, sebagai contoh, strategi atas ada beberapa pengalaman. Di awal tahun 1990an, cara menjangkau rakyat banyak adalah melalui aksi-aksi massif aliansi mahasiswa-tani dan mahasiswa-buruh, seperti pemogokan Great River, pemogokan Gadjah Tunggal, dsb. Hingga Juni 1996, di Surabaya.
Pengalaman kedua, adalah aliansi informal atau aksi-aksi koordinatif berhubungan dengan isu penindasan terhadap Megawati, ketika Soeharto tidak mengakuinya sebagai ketua PDI. Dengan aliansi informal, pesan politik bisa menjangkau massa. Kemudian melalui pengadilan politik, mungkin anda hapal betul soal ini, juga sebagai taktik untuk memperoleh perhatian massa. Dalam periode 2000-09, PRD stratetgi atasnya adalah terus-menerus mencari sekutu di elit dan ternyata tidak ada. Dan mungkin itu suatu pengaruh yang menyebabkan sebagian orang agak tenggelam ke dunia politik elit.
Sekarang untuk menjangkau orang banyak, jelas tidak ada sekutu di elit. Sementara aksi-aksi massa belum mencapai yang sebesar sebesar Great River, Gadjah Tunggal atau Juni 1996 di Surabaya. Untuk mencapai itu, memang kali ini sangat membutuhkan penyatuan, kalau tidak semua, ya sebagian besar dari pada kelompok-kelompok progresif yang telah berkembang, baik yang berstruktur nasional dan terutama yang aktif di tingkat propinsi atau daerah tingkat II. Jika penyatuan ini bisa terjadi, maka, saya kira, itu akan membentuk sebuah kubu politik kritis yang anggotanya ribuan aktivis. Dan itu merupakan tenaga yang pasti akan bisa menemukan taktik-taktik untuk dapat menjangkau massa yang luas.
IP: apa metode penyatuan yang paling mungkin, karena selama ini usaha-usaha seperti itu terus dilakukan, tapi belum menunjukkan hasil yang diinginkan?
MRL: saya kira kekuatan-kekuatan yang punya potensi untuk bisa bersatu, sebenarnya baru berkembang dalam satu atau dua tahun terakhir ini. Sebelumnya memang ada perbedan yang cukup menjadi halangan, yakni soal ikut pemilu atau tidak. Kita bisa diskusikan juga, tapi itu topik lain, apakah kelompok-kelompok kiri yang menolak ikut pemilu sejak tahun 2004-2005 benar atau tidak.
Tetapi dalam situasi sekarang perbedaan itu tidak menjadi problem, karena hampir semua, bisa dikatakan 99 persen, kelompok-kelompok aktivis kiri progresif yang bergerak di lapangan, semuanya mendukung salah satu varian golongan putih (Golput). Jadi halangan itu tidak ada lagi, dan sejak halangan itu hilang, maka diskusi tentang persatuan dalam satu atau satu setengah tahun terakhir ini meningkat. Sementara yang saya lihat, adalah perundingan-perundingan, tukar fikiran, bahkan ada terbitan bersama, seperti Jurnal Bersatu, yang mencerminkan adanya kerjasama-kerjasama. Ada juga aliansi-aliansi, seperti FPN maupun ABM yang masih eksis hingga saat ini. Yang menarik di ABM, hampir semua aliran Kiri ada di dalamnya, bahkan juga serikat buruh yang belum berafiliasi ke salah satu aliran politik.
Kuncinya di masa depan, saya kira, ada kesadaran, dari segi jumlah, paling banyak aktivis yang bisa disatukan itu, bukan anggota dari organisasi yang berstruktur nasional, tapi aktif di lokal, di daerah. Sehingga harus ada cara-cara yang memungkinkan terjadinya tukar pikiran di antara kelompok-kelompok lokal di masing-masing kota, dan juga antara kota bahkan pertemuan formal dan nasional. Sehingga, yang belum masuk ke struktur nasional bisa terlibat dalam proses bersama untuk membicarakan, misalnya, basis persatuan ke masa depan itu seperti apa, struktur organisasinya macam apa, dsb.
IP: Jadi, menurut bung para aktivis yang masuk ke politik elit itu menguntungkan bagi pembangunan gerakan progresif, karena terlihat sudah bahwa baru begitulah kualitas aktivis jebolan 1990an?
MRL: Saya kira tidak menguntungkan sama sekali. Mungkin bung bisa menilai begitulah kualitasnya atau saya atau orang lain. Tapi belum tentu rakyat, malahan itu bisa menimbulkan kebingungan di rakyat: “kok orang yang dulunya saya dukung, yang saya sangat percayai kok ikut ke sana. Apa benar seperti itu ya?” Menurut saya, mengajak rakyat ke partai elite, sangat tidak menguntungkan, sehingga pasti akan melahirkan polemik, karena harus dijelaskan ke rakyat, janganlah ikut partai-partai itu, rakyat harus bangun gerakan atau partai sendiri dengan ideologinya sendiri pula.
Keadaan ini tentu saja akan melahirkan suasana panas, di antara mereka yang mengatakan, “Jangan ikut partai elite, bangun partai sendiri,” dan mereka yang bilang “Udahlah kita ikut dan mendukung partai A, B, C dan figur D, E, F.” Tidak ada sama sekali, satu situasi dimana satu perbuatan negatif dengan sendirinya akan tampak negatif di masyarakat, sehingga itu harus dikritisi, dijelaskan, dan di analisa kepada rakyat. Karena akan muncul pertanyaan, “apakah ajakan untuk ikut ke partai elite itu akan berhasil atau tidak?” Apakah mereka yang mengajak untuk mendukung Mega-Prabowo atau JK-Win, atau SBY-Boediono, akan berhasil atau tidak? Mereka memang banyak fasilitas, banyak uang, dan banyak panggung. Tetapi, keberhasilan mereka juga tergantung pada para aktivis yang punya pandangan berbeda untuk mengkritisi mereka yang ikut politik elite itu di hadapan massa.***