Utang: Solvabilitas dan Likuiditas

Martin Manurung

Persoalan utang yang mengemuka pada Pilpres kali ini memancing reaksi pemerintah. Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto meminta agar berbagai kalangan berhenti untuk mempersoalkan utang tanpa basis data sebagai penilaian (lih. Bisnis Indonesia dan Okezone).

Lalu, ia membeberkan bahwa kendati stok utang kita bertambah (lih. Tabel), namun rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB, total nilai tambah output yang diproduksi dalam perekonomian kita) cenderung menurun (lih. Grafik).

Ya, data ini memang benar. Namun, karena sang Dirjen juga menghendaki basis data yang jelas, patut juga diingatkan bahwa soal rasio utang terhadap PDB baru sebagian “wajah” utang kita, yaitu SOLVABILITAS.


 “Wajah” yang lain adalah LIKUIDITAS. Faktor ini mengukur sejauh mana kemampuan suatu perekonomian membayar cicilan pokok utang beserta bunganya dari penerimaan yang didapatkannya di luar utang dan obligasi. Artinya, kita hendak melihat sejauh manakah perekonomian kita mampu untuk membayar utang dari penerimaannya sendiri, sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan “gali lubang tutup lubang”.

Untuk melihat likuiditas tersebut indikator yang umum adalah Debt to Service Ratio (DSR). Namun indikator ini juga menjadi kurang tepat digunakan sebab profil utang kita saat ini lebih besar berasal dari dalam negeri, ketimbang luar negeri (lih. Tabel pada baris yang disorot merah). Sementara itu, DSR hanya mengukur rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor.

Dengan demikian, agar wajah utang kita lengkap, maka harus pula dicantumkan indikator keseimbangan primer (primary balance) untuk melihat faktor likuiditas. Indikator keseimbangan primer menunjukkan surplus atau defisit APBN tanpa pembayaran bunga utang. Semakin besar surplus keseimbangan primer menunjukkan APBN semakin mampu membayar beban utang. (Penjelasannya bisa dilihat di sini)

Dari data statistik makro kita ketahui bahwa keseimbangan primer kita terus menurun selama lima tahun belakangan ini. Bahkan, seperti ditulis Faisal Basri, diperkirakan keseimbangan primer tahun ini akan negatif sebesar 0,5 persen terhadap PDB. Artinya, sebagaimana bisa dilihat di bagan, sumber penerimaan (di luar utang dan obligasi) sudah lebih kecil daripada jumlah utang. Jadi, untuk membayar utang sudah diperlukan utang atau obligasi yang baru, atau "gali lubang tutup lubang".

Menurut saya, faktor likuiditas ini penting mendapat penekanan dan bukan hanya soal solvabilitas. Sebab, negara besar seperti kita tentu akan sulit untuk bisa insolven. Akan tetapi, Indonesia sangat bisa untuk tidak likuid karena "besar pasak daripada tiang". Karena itu, sumber-sumber penerimaan khususnya dari bagi hasil sumber daya alam, ekspor dan perluasan basis pajak serta reformasi perpajakan harus diperbaiki dan ditingkatkan agar bangsa kita semakin mandiri dan mampu untuk mengelola utangnya dengan baik.***

Komentar-komentar via Facebook Note sampai tulisan ini diterbitkan di IndoProgress:

Wandy Nicodemus Tuturoong pada 22 Juni 20:28:

Ini tulisan pembuka mata kita.

Selama ini pendekatan "umum" yang sering dilihat memang rasio utang terhadap PDB. Padahal, beban riil utang justru ada di APBN.

Artinya, kalau dari tahun ke tahun beban/pengeluaran pembayaran cicilan utang dan bunga makin memberatkan atau makin tidak seimbang dengan berbagai pengeluaran untuk kesehatan, HANKAM (yang belakangan sering terkena "musibah"), etc. dalam APBN, maka pengelolaan keuangan negara sebetulnya nggak baik.

Henry David Lelemboto pada 23 Juni 0:31:

accord sobat... perlu pula analisa pembanding ini dijadikan acuan untuk menetralisir informasi satu arah.....