Menghancurkan Negara, Menghancurkan Kebudayaan

Andre GB

State nation and culture is a two contradiction things.
It can not live together. It will kill each other.
(Rudolf Rocker, Anarchism and Anarchy Syndicalism)

Negara adalah sebuah kesalahan paling telak umat manusia dalam sejarah perkembangan peradabannya. Negara adalah kebutralan paling puncak dalam sejarah yang secara terang-terangan melegalkan terjadinya pembunuhan dan perbudakan manusia. Dan negara adalah konsep paling utopia dari sekian banyak hasil pemikiran manusia.

Perkembangan luar biasa di bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), ekonomi, politik, hukum dan sosial yang kemudian didaulat oleh para pemegang kekuasaan sebagai kemajuan peradaban manusia, pada kenyataan hanyalah ilusi. Kalau kita teliti menyimak kenyataan saat ini, peradaban manusia justru terpukul mundur ratusan tahun ke belakang. Iptek hanya menjadi milik dari kalangan minoritas, kebijakan ekonomi hanya melahirkan kemiskinan di berbagai belahan dunia dan mengakibatkan lahirnya ancaman kemusnahan manusia. Hukum dalam negara nasion justru tak mampu berlaku adil. Hukum hanya menjadi alat represif dan meneror segala macam upaya perbaikan. Sistem politik demokrasi yang di elu-elukan sebagai jawaban yang dinanti, ternyata tak lebih baik dari sistem monarki absolut atau sistem Caesarianisme yang otoriter. Demokrasi gagal merepresentasikan keragaman kebutuhan dari setiap individu, yang dengan terpaksa bernaung di bawah payung negara.


 Friedrich Nietzsche, seorang filsuf terkemuka dunia, menyadari dengan jelas bahwa negara adalah produk kegagalan manusia. Nietzsche, mengatakan, dalam negara tidak seorangpun yang dapat melakukan sesuatu melebihi kapasitasnya. Karena memang dalam negara, setiap individu dipaksa untuk takluk di bawah aturan-aturan legal yang mengekang kebebasan manusia. Negara secara sadar mengeliminasi kebebasan yang merupakan nafas dasar manusia. Negara dengan segala institusi-institusinya mengawasi setiap individu dalam beraktivitas. Lewat institusi-institusi tersebut, negara menjalankan brain washing kepada setiap individu.

Negara Budaya yang sempat ditawarkan sebagai jalan tengah antara negara dan kebudayaan, pada dasarnya hanyalah ilusi total untuk menutupi kegagalan negara menjamin hak hidup kebudayaan dalam setiap individu-individu. Kepemimpinan intelektual yang dijalankan negara, dengan sendirinya mendiskriminasi keberadaan budaya. Negara dengan segaja mensubordinasikan kebudayaan hanya sekedar badut dalam dialektika perjalanan peradaban. Kebebasan yang ditawarkan negara adalah sebuah konsep yang tak pernah jelas dudukannya. Kebebasan dalam negara nasion hanyalah bahasa lain otoritarianisme. Negara adalah kemenangan mesin terhadap pemikiran manusia, inovasi, kreasi, rasionalitas, perasaan, sikap dan perilaku. Anda dapat menemukan dengan jelas kengerian manusia dalam negara pada Hobbes dalam karyanyaLeviathan.

Kebudayaan hanya dapat berkembang jika kemudian politik berada dalam titik yang terendah. Saat politik tereduksi sampai ke tahap yang paling kritis, kebudayaan mendapatkan jalan untuk mengembangkan diri dan menyumbangkan gagasan, ide, pemikiran, praktik terbaiknya untuk kemajuan peradaban. Karena, pada dasarnya, negara nasion selalu anti terhadap keragaman dan akan terus menerus menaruh curiga terhadap setiap aspek sosial yang kemudian mendorong hal itu. Dan di sinilah negara nasion menemukan titik kontradiksi dengan aspirasi kreatif perkembangan kebudayaan yang akan selalu terdorong untuk menemukan bentuk-bentuk baru dalam aktivitas sosial. Kebebasan berekspresi sejati dalam negara nasion tak akan pernah tercapai. Proses sensor akan selalu diterapkan negara nasion untuk mengantisipasi inovasi budaya yang pada akhirnya akan mengancam kepentingan negara nasion dalam berbagai sendi.

Setiap karya yang sukses, akan selalu melahirkan keinginan untuk melahirkan sebuah karya lain yang akan melebihi kesuksesan karya sebelumnya. Dalam kebudayaan, dialektika material yang melahirkan tesis dan anti tesis adalah praktik yang tidak bisa diterima oleh negara nasion, karena kemudian akan membuka kenyataan bahwa tidak ada hal yang absolut dalam kehidupan. Setiap bentuk hari ini hanyalah tepat jika dipraktekkan pada hari ini, karena hari besok mempunyai nilai dan prakteknya sendiri. Tapi sifat dasar kekuasaan adalah mempertahankan segala sesuatu yang dianggap menguntungkan tetap seperti apa adanya. Dan dengan membentuk pakem-pakem sosial, ekonomi, politik, dan hukum, negara nasion melakukan proteksi terhadap jaminan bahwa eksploitasi mereka terhadap mayoritas individu yang selama ini dirugikan tetap berlangsung.

Karena itu, hegara nasion mempunyai sifat dasar kekuasaan yang akan selalu memusuhi ekspresi eksperimentalis yang merupakan dasar percobaan terhadap hal baru. Dan dalam kebudayaan, ekspresi eksperimentalis adalah satu sifat dan ciri dasar. Karena hanya kebebasan, keberanian, dan inovasilah yang bisa memberikan manusia inspirasi untuk menghasilkan sesuatu yang monumental, yang dengan sendirinya akan menghasilkan transformasi di berbagai sisi kehidupan.

Dan pembebasan manusia dari segala bentuk eksploitasi ekonomi, opresi ekonomi, diskriminasi sosial dan hukum dapat tercapai dengan membebaskan kebudayaan untuk mengembangkan diri. Dan ini berarti, menghancurkan negara nasion dan segala macam keberadaannya. Sebab pada dasarnya, manusia dan kebudayaan tidaklah membutuhkan kehadiran negara. Negara nasion walaupun kemudian tidak ada tidaklah memberi pengaruh signifikan terhadap perkembangan peradaban. Kalaupun ketakutan akan terjadinya chaos, itu hanyalah propaganda yang dilandaskan di atas ketakutan minoritas oligarki penguasa kebijakan ekonomi, politik, dan hukum terhadap ancaman akan dihancurkannya kekayaan mereka yang disentralisir dengan menindas manusia lain.

Peter Kropotkin dalam bukunya Memoirs of Revolutionist, mengungkapkan secara jelas kebobrokan negara nation dan tindakan brutalnya menyerang kebudayaan. Itu pula yang kemudian melandasi semangat untuk melawan di berbagai belahan dunia dengan spirit awal, perjuangan kebudayaan. EZLN yang berada di Meksiko, misalnya. Sub Comandante Marcos jelas-jelas mengumandangkan perang kepada sistem dominan (baca: kapitalisme) yang menyerang kebudayaan Indian di Meksiko. Perjuangan ETA juga adalah contoh yang lain. ETA adalah saksi bahwa negara nasion Spanyol, ternyata hanya bentuk dari fasisme baru terhadap rakyat Basque. Masih banyak yang bisa menjadi referensi. Ada IRA di Irlandia, dan Mawale Movement sendiri di Sulawesi Utara.

Seni untuk memerintah manusia, selamanya tidak akan pernah menjadi seni yang mendidik dan memberikan manusia inspirasi untuk memperbaharui kehidupan ke arah yang lebih baik. Harus diingat, setiap revolusi yang terjadi, baik di ranah politik, filsafat, teknologi maupun sisi lainnya adalah bentuk pemberontakan dan ketidakpercayaan terhadap negara nasion yang jahat. Pada kenyataan historis, negara nasion tak pernah benar-benar terlibat dalam sebuah perubahan menuju perbaikan kehidupan umat manusia. Kalaupun terlibat, itu hanya karena negara nasion melihat bahwa mereka mempunyai keuntungan dengan melibatkan diri dalam perubahan tersebut. Dan sudah pasti, perubahan tersebut akan berada di bawah kontrol penuh dari negara nasion.

Jauh sebelum sistem politik modern bernama demokrasi hadir, kebudayaan sudah hadir lebih dahulu. Budaya (sekali lagi) telah menemani manusia sejak zaman purba. Kebudayaan adalah kawan karib dari masyarakat, sebelum kemudian akumulasi keuntungan menjadi spirit hidup kalangan minoritas. Ekpansionis, barbaris, anti keadilan adalah sedikit contoh sifat dasar negara nasion. Penjajahan, perang, kemiskinan, kemerosotan moral adalah akibat dari sifat-sifat nasion state tersebut.

Seni yang adalah anak kandung dari kebudayaan, tak luput dari gempuran ini. Seni untuk seni adalah contoh riil, betapa sifat korup dari negara nasion berusaha di infiltrasikan secara sengaja di semua sendi kehidupan. Dan seni untuk revolusi adalah antitesa yang hadir sebagai jawaban tanding bagi negara nasion. Karena seni adalah milik komunal dan tidak bisa tidak, harus bisa diakses secara luas dan merata oleh setiap individu. Pembangunan museum, pembangunan lembaga-lembaga kesenian, pembuatan aturan-aturan/koridor-koridor seni (biasanya berupa dogma seni) adalah cara keji dari negara nasion untuk menjauhkan seni dari tangan masyarakat.

Seni dan budaya tidak bisa dibatasi dengan dogma. Tidak bisa dilingkupi dengan dikotomi ataupaun fitnah lainnya. Seni budaya adalah simbiosis mutualisme dari pola hidup masyarakat. Kebudayaan adalah jalan untuk menawarkan perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat. Menawarkan ruang hidup yang lebih luas bagi setiap indivdu dalam masyarakat, untuk kegiatan secara individu maupun secara komunal. Jika kemudian seni dilingkupi dengan niatan kapital, maka keuntungan adalah keniscayaan. Dan pada akhirnya seni kebudayaan tidak mempunyai akar pijak dalam masyarakat.

Sifat licik dari negara nasion lain adalah dengan membenturkan kebudayaan dalam sebuah format kompetisi dengan nilai ukur yang permanen. Padahal, setiap kebudayaan mempunyai tolak ukur masing-masing. Meski tidak bisa diingkari bahwa setiap kebudayaan akan selalu bergesekan(bukan bertempur), tapi semuanya itu dilandasi semangat untuk kemudian saling berdialektika dan mempertajam nilai-nilai positif baru dalam tiap-tiap kebudayaan itu sendiri (baca: Peter Kropotkin, Mutual Aid – A Factor of Evolution). Format kompetisi kebudayaan (dalam lomba misalnya), adalah bentuk pelacuran kebudayaan yang seharusnya dilawan. Tiap kebudayaan seharusnya hidup saling berdampingan, saling mengisi kekurangan tanpa kemudian ditempeli dengan niatan untuk saling menaklukkan dan saling menguasai. Negara nasion dalam setiap upaya menghancurkan kebudayaan, benar-benar melakukan pembohongan dan hegemoni (baca: Antonio Gramsci)

Tabrakan kebudayaan dalam hal kepercayaan (baca: agama) adalah contoh jelas, betapa negara nasion adalah dalang yang harus bertanggung jawab penuh terhadap setiap kerusakan peradaban yang dihasilkan. Dengan dalih sentimen yang dibangun di atas propaganda konservatifisme dan fanatisme, negara nasion sedang mengarahkan peradaban ke jurang kematian.

Meski negara nasion terus berupaya menghancurkan fundamen kebudayaan, ternyata, dalam prakteknya, nilai-nilai kebudayaan itu tetap tak pernah bisa dengan mudah dilunturkan. Dan ini adalah titik terang bahwa kebudayaan masih bisa mempertahankan diri bahkan kemudian menyerang balik negara nasion yang melukainya, dengan mengumandangkan revolusi. Elisee Reclus, menyatakan, revolusi hanyalah sebuah tahapan awal dalam proses evolusi manusia yang tak akan berakhir. Masyarakat akan selalu bergerak dan menemukan nilai-nilai positif baru (meski pada kenyataannya, nilai positif baru yang ditemukan tak lebih dari modifikasi nilai positif lama yang diramu dengan kontekstualitas). Jadi, pada hakikatnya, tidak akan ada sistem sejati yang absolut seperti propaganda dari berbagai ideologi seperti kapitalisme-neoliberalisme, komunisme, fasisme, caesarianisme, maupun ideologi-ideologi lain yang kemudian memimpikan sebuah tatanan mutlak yang bisa bertahan sepanjang peradaban dan bisa diterapkan di berbagai kondisi geografis, kondisi ekonomi, kondisi psikologi, dan kondisi sosial.

Transformasi kebudayaan secara luas dan massal, akan benar-benar terjadi jika pembacaan detail terhadap karakter-karakter kebudayaan berhasil dilakukan. Dan salah satu metode pendekatan yang bisa dicoba (meski tidak ada jaminan mutlak akan berhasil, kecuali bahwa kita akan bisa menemukan pengalaman baru untuk diterapkan di situasi berikut sebagai pelajaran historis) adalah melakukan investigasi sosial dan analisa klas secara mendalam. Dan investigasi inipun tak boleh dilakukan dengan menafikan faktor-faktor minor (dengan alasan tidak mempengaruhi secara umum), karena itu berarti kita akan kembali mengulangi kesalahan tafsir ilmu pengetahuan yang statis (sekedar catatan, ilmu pengetahuan tak mempunyai jiwa perubahan/revolusi. Filsafat yang mempunyai hal itu. Setiap perubahan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang selalu didahului dengan revolusi dibidang filsafat).

Dalam investigasi tersebutlah, kebudayaan dapat diandalkan untuk mengembalikan semangat nasionalisme ke posisi yang semula. Nasionalisme yang bernafaskan sendi peradaban, bukan pada semangat patriotisme negara yang dibangun di atas mimpi, doktrin dan teror. Kebudayaan dalam prosesnya akan mendistorsi kepercayaan masyarakat terhadap mimpi-mimpi ideal sebuah negara nasion yang absurd. Dan ketika kepercayaan buta itu berganti kesadaran objektif tiap-tiap individu dengan menyadari peran vitalnya dalam masyarakat, maka negara secara perlahan mulai dihancurkan. Dogma dan doktrin negara nasion dengan segera harus digantikan spirit of life dari kebudayaan. Kekakuan negara nasion dibenturkan dengan kenyataan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang ever changing. Teror negara nasion dihancurkan dengan memberikan kesadaran psikologis individual dan psikologis sosial.

Dan pada akhirnya, setiap bentuk legalisasi kekuasaan yang menindas individu, masyarakat, dan peradaban yang berbentuk negara nasion, harus DIHANCURKAN !!!***

Penulis adalah seniman, anggota Mawale Cultural Center, bergiat di Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR Manado). Kunjungi saya di http://sastra-nanusa.blogspot.com