Dari mana Indonesia muncul? Ia tidak datang dari imperium Majapahit, tetapi ia juga tidak muncul begitu saja dari realpolitik internasional pada awal abad XX. Ia muncul dari agenda nasionalis yang memburu celah-celah terobosan dalam peta politik inter-nasion-al di sekitar Perang Dunia II. Ia bukan kelanjutan dari primordialisme, namun ia juga bukan penjelmaan dari universalisme.
Almarhum Ernest Gellner, satu di antara ahli yang secara mendalam menyusun teori nasionalisme, melihat bahwa nasionalisme adalah gejala ajaib, “salah satu fakta paling penting dalam dua abad terakhir”. Tulisnya:
“Tidak sepenuhnya jelas mengapa gejala itu terjadi: mengapa manusia lama yang terikat pada sarang sempit primordialnya diganti bukan oleh ajaran Filsafat Pencerahan tentang Manusia Universal yang diharuskan setia pada persaudaraan universal, melainkan oleh manusia khusus yang lolos dari ikatan lamanya, dan kemudian menghidupi mobilitas dalam batas-batas yang kini ditetapkan secara formal, yaitu sebuah kultur dalam lingkup negara-bangsa”.
Barangkali itulah yang dimaksud dengan argumen bahwa nasionalisme bukan kelanjutan dari ikatan primordialisme, tetapi ia juga bukan penjelmaan dari abstraksi universalisme. Itulah mengapa para globalis melihat nasionalisme sebagai terlalu sempit, sedangkan para lokalis menganggap nasionalisme terlalu besar.
Sketsa kecil ini tidak bermaksud menjawab teka-teki “yang tidak sepenuhnya jelas mengapa [nasionalisme] terjadi”. Namun dari survei atas berbagai teori nasionalisme, terdapat dua faktor konstan yang rupanya selalu hadir. Dua faktor itu adalah daya dorong (push) dan kekuatan penarik (pull). Sebuah negara-bangsa tidak muncul ataupun dibarui hanya dengan kehendak dan kemauan (push), sebagaimana sebuah negara-bangsa juga tidak lahir hanya dari tarikan situasional cuaca ideologis, politik, ekonomi, kultural, hukum, dan sebagainya (pull).
Timor Leste ataupun Palestina, misalnya, tidak menjadi negara-bangsa hanya dari kehendak para pemimpinnya, sebagaimana mereka juga tidak begitu saja muncul hanya dari permainan situasional cuaca politik, ekonomi, hukum, maupun kultural yang sedang terjadi. Dari kesaksian para pendiri Indonesia, pola itu juga terlihat dari bagaimana para pemimpin nasionalis seperti Sukarno, Hatta ataupun Sjahrir sama-sama menghendaki kemerdekaan (push). Akan tetapi, mereka juga bersitegang bukan hanya tentang caranya (kooperasi atau non-kooperasi, kolaborasi atau non-kolaborasi), namun juga mengenai pencarian momentum surutnya petualangan imperial Jepang di Asia Pasifik serta potensi Belanda masuk kembali untuk menguasai wilayah-wilayah Indonesia (pull).
Lantaran cuaca realpolitik yang menjadi faktor penarik (pull) tidaklah sepenuhnya berada di tangan para nasionalis, saya kira agenda nasionalis pada akhirnya menunjuk pada kehendak yang secara intensional dan sengaja (push) dilancarkan untuk memakai dan mengarahkan kondisi eksternal apapun bagi pembentukan kerumunan (crowd) agar menjadi sebuah bangsa (nation); dan instansi negara (state) adalah penggerak proyek itu. Itulah argumen sederhana lapis pertama yang coba diajukan dalam tulisan kecil ini. Akan tetapi, bukankah kehendak intensional dan sengaja itu dapat dibawa ke arah mana saja (entah arah agama ataupun kesukuan)? Pertanyaan itu membawa ke argumen sederhana lapis kedua berikut: perangkat ideologis yang dipakai secara intensional dan sengaja untuk mengarahkan cuaca realpolitik dan kondisi eksternal apapun bagi pembentukan bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Dalam rumusan singkat, sebuah bangsa hanya dibentuk dengan sengaja. Tetapi, apa yang membuat urusan ‘kesengajaan’ ini begitu penting bagi pembentukan Indonesia?
Lain Zaman ada Kemiripan
Jarak temporal yang panjang menganga antara awal abad XX dan awal abad XXI membuat pasti cuaca politik, ekonomi, kultural maupun ideologis antara kedua zaman itu berbeda. Pada awal abad XX, gelombang pembentukan negara-bangsa tengah pasang di wilayah-wilayah jajahan, sedangkan pada awal abad XXI gelombang itu telah surut atau menciut. Di awal abad XX, ideologi liberalisme, komunisme dan sosialisme dengan sengit bertarung memperebutkan hati dunia, sedangkan di awal abad XXI cuaca ideologis berdandan dengan ajaran “akhir sejarah”, yaitu paham tentang kapitalisme-liberal sebagai puncak sejarah. Namun sejarah selalu gelisah, dan cuacanya selalu berubah.
Justru karena itu, perbedaan-perbedaan seperti di atas juga mengecoh. Suatu bangsa tidak lahir dari kehendak Tuhan, dan ia juga tidak muncul dari alam. Apa yang menarik adalah gejala ini: jarak waktu yang membentang antara awal abad XX dan awal abad XXI tidak juga menyurutkan cita-cita untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa. Di awal abad XX, tentulah cita-cita itu dilancarkan oleh sederet pemimpin seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan banyak lagi yang telah diabadikan sejarah. Sedangkan kini cita-cita itu coba dirawat oleh tidak sedikit orang, dan cita-cita itu belum/tidak juga padam meskipun banyak orang telah berhenti mencita-citakannya. Dengan kata lain, juga meskipun tahu bahwa negara-bangsa bukan sesuatu yang kekal, cita-cita untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa tetap terpasang sebagai kemilau di ketinggian sana.
Apa yang terdengar romantik itu sesungguhnya berisi realisme kelugasan. Kalau orang seperti Sukarno, Hatta ataupun Sjahrir terdengar romantik karena berkehendak mendirikan Indonesia sebagai bangsa, itu hanya lantaran keruwetan peristiwa dan jerih-payah mereka di masa itu telah menggelinding menjadi silam. Dan apa yang telah silam terasa berkaca-kaca seperti embun – ringkih tapi indah, indah tapi ringkih. Namun simaklah surat-surat pribadi seorang Sutan Sjahrir yang ditulis sejak tahun 1934, atau berbagai gagasannya selama dasawarsa 1950-an, maka kita akan menemukan berbagai kalkulasi yang dingin, lugas, dan penuh realisme.
Fakta bahwa di awal abad XX orang-orang seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir hendak mendirikan Indonesia secara resmi-legal, sedangkan di awal abad XXI Indonesia telah terbentuk secara resmi-legal sebagai negara-bangsa, tidak juga melenyapkan cita-cita itu. Yang pertama mungkin dapat disebut sebagai tahap penciptaan bangsa (creation), yang kedua pengembangan atau pembaruan bangsa (renewal). Mungkin terasa ganjil bahwa perbedaan kedua zaman tidak juga melenyapkan cita-cita itu. Namun sesungguhnya tidak ada yang aneh pada gejala itu. Dalam ungkapan Benedict Anderson, karena “ketercapaian [proyek Indonesia] tidak pernah penuh”, maka “kelangsungannya juga secara mendasar merupakan proyek terbuka”.
Gejala ini bukan khas Indonesia. Apa yang membuat Barak Obama mempesona bagi para pemilihnya persis terletak dalam kehendaknya untuk membarui Amerika Serikat sebagai bangsa. Dan ketika dipilih menjadi Perdana Menteri Inggris tahun 1997, pesona Tony Blair persis terletak dalam agendanya untuk membarui Inggris sebagai bangsa yang waktu itu dilihat telah letih menua. Mirip seperti kondisi eksternal para pendiri Amerika Serikat di sekitar tahun 1776 berbeda dengan cuaca eksternal ketika Obama memimpin pembaruan Amerika Serikat sebagai bangsa di hari-hari ini, begitu pula kondisi eksternal para pendiri Indonesia di awal abad XX berbeda dengan cuaca eksternal ketika kita ingin membarui Indonesia sebagai bangsa sekarang ini. Namun perbedaan itu tidak mencegah kemiripan daya pendorong untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa.
Nama daya pendorong (push) yang tetap itu adalah intensionalitas (intentionality) dan kesengajaan (deliberateness). Dan mungkin daya intensionalitas serta kesengajaan itulah yang kini terselip hilang entah di mana. Ciri retorik bergelora seorang Bung Karno memang suka menyesatkan ketimbang kehati-hatian seorang Bung Hatta atau realisme seorang Bung Sjahrir. Namun apa yang dikatakan Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penjelidik Oesaha Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945, dapat menjadi contoh apa yang dimaksud dengan intensionalitas dan kesengajaan: “Indonesia Merdeka tidak dapat datang djika... [kita] tidak menekad-mati-matian oentoek mencapai merdeka”.
Sentralnya intensionalitas dan kesengajaan ini bukan hal baru, tetapi hanya implikasi langsung dari argumen bahwa sebuah bangsa (the nation) tidak lahir ataupun dibarui dari gejala alam, seperti munculnya pulau baru dari ledakan geologis. Bangsa adalah bentukan manusia. Maka, apa yang dimaksud dengan ‘intensionalitas’ dan ‘kesengajaan’ menunjuk pada kinerja kehendak dan keterarahan sebagai ciri khas tindakan dan proyek manusia, individual maupun kolektif. Pembentukan bangsa pastilah cita-cita dan agenda manusia seperti itu. Karena setiap agenda manusia senantiasa mengandaikan bekerjanya daya intensionalitas dan kesengajaan, tersingkir dan surutnya intensionalitas dan kesengajaan dalam cita-cita pembentukan Indonesia sebagai bangsa niscaya menyurutkan ‘Indonesia’ sebagai proyek cita-cita.
Tentu, sentralnya daya intensionalitas dan kesengajaan dalam agenda Indonesia tidak berarti bahwa terwujudnya cita-cita itu hanya tergantung pada daya intensionalitas dan kesengajaan. Sangat biasa kita menghendaki sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak juga terjadi (intended but unrealised). Bukan karena kurangnya kehendak, melainkan karena kinerja faktor lain yang disebut di atas sebagai ‘cuaca eksternal’. Begitu pula, proyek membentuk Indonesia sebagai bangsa sangat bisa tidak terjadi hanya dengan daya intensionalitas dan kesengajaan. Akan tetapi, juga sangat biasa sesuatu terjadi meskipun tidak kita kehendaki (unintended but realised). Maka dalam proyek cita-cita sebesar ‘Indonesia’ tersembunyi rahasia ini: hanya dalam gerakan yang intensional dan sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa, kita menciptakan kemungkinan terjadinya Indonesia sebagai bangsa. Dari arah sebaliknya, semakin kita tidak secara intensional dan sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa, semakin kita sedang membuktikan ketidakmungkinan terbentuknya Indonesia sebagai bangsa. Tidak lebih, tidak kurang. Argumen ini punya komplikasi yang tidak mudah, tetapi komplikasi itu akan ditanggapi di bawah nanti.
Apa yang membuat pentingnya daya intensionalitas dan kesengajaan itu dengan mudah dilupakan? Jika kata “dilupakan” terdengar klise, bolehlah itu dirumuskan begini: apa yang membuat pentingnya daya intensionalitas dan kesengajaan untuk membentuk atau membarui Indonesia sebagai bangsa itu menyurut atau tersisih? Pertanyaan ini bisa membawa kita pada persoalan lemahnya kehendak atau kedangkalan pemahaman yang mungkin sedang meluas dewasa ini. Meskipun demikian, saya memilih untuk menjawab dengan menunjuk dua faktor besar yang membuat penyingkiran intensionalitas dan kesengajaan itu terjadi secara luas.
Dengan kata lain, kita perlu coba memahami dua faktor besar yang menandai cuaca sejarah dewasa ini.
Dua Gelombang Dogma Raksasa
Dua faktor besar itu adalah fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Apa kaitan keduanya dengan agenda membentuk Indonesia sebagai bangsa? Dan apa pula kaitannya dengan teka-teki kehendak dan kesengajaan?
Pertama, fundamentalisme agama (religious fundamentalism). Apa yang dimaksud menunjuk pada upaya menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan dalam semesta tatanan yang disebut ‘Indonesia’. Istilah “seluruh bidang” mencakup aneka urusan yang mencakup tatanan politik, hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, relasi sosial, sampai urusan cara berpakaian dan tata cara perkawinan. Andaipun agenda programatik seperti itu dianggap baik, cukup pasti sejak awal fundamentalisme agama akan menabrak tembok tebal yang berupa fakta keragaman tradisi religius maupun kultural yang menandai komposisi demografis Indonesia. Atau, dalam bahasa Buya Syafii Maarif, “pengetahuan golongan fundamentalis [agama] ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana”, dan “dengan mengatasnamakan Tuhan, menghukum dan bahkan membinasakan keyakinan yang berbeda”.
Kesulitan itu barangkali sudah jelas dan terang-benderang. Tetapi apa yang lebih tersembunyi adalah persoalan berikut. Jika Indonesia tidak terbentuk dari gejala alam tetapi sebagai proyek cita-cita manusia, dan jika pembentukan Indonesia sebagai bangsa membutuhkan tindakan intensional dan sengaja, bukankah membentuk bangsa Indonesia berdasarkan doktrin agama itu juga merupakan bentuk intensionalitas dan kesengajaan? Apa yang sesat dari agenda itu? Tentu kita bisa merujuk kembali konsensus para pendiri Republik: Indonesia dibentuk bukan berdasarkan intensionalitas dan kesengajaan prinsip sektarian agama, ras atau kesukuan, tetapi atas dasar prinsip yang bersifat civic. Istilah civic berasal dari kata Latin civis (warga negara). Dasar civic berarti keanggotaan dalam negara-bangsa Indonesia bukan didasarkan pada identitas suku, ras, agama ataupun gaya-hidup, dan pemilikan uang atau harta, melainkan didasarkan pada identitas orang sebagai warga-negara (citizen).
Namun jawaban dengan merujuk pada kehendak para pendiri Republik seperti itu juga mudah terdengar seperti jawaban “karena nenek kita tidak menghendaki Indonesia dibentuk berdasarkan agama, maka kita tidak boleh melakukannya”. Soalnya, bukankah “nenek” kita sudah meninggal dan mewariskan Republik ini kepada kita? Mengapa kita tidak boleh membuat bangsa Indonesia sekarang dibentuk atas dasar agama? Atau, bisa juga kesengajaan itu pada akhirnya bukan diarahkan untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa, melainkan hanya sebagai tahapan bagi komunalisme religius transnasional. Ini merupakan masalah lain yang tidak akan disinggung di sini.
Pokok terakhir inilah yang telah menyita perdebatan panjang, dan titik berangkat perdebatan bisa dimulai dari mana saja: dari klaim pemeluk agama tertentu sebagai warga mayoritas, dari penilaian atas dekadensi moral, sampai rujukan pada Piagam Jakarta. Seluruh tinta dapat dihabiskan, dan seluruh waktu bisa dihamburkan untuk menjawab masalah itu, tapi pada akhirnya (dalam bahasa Syafii Maarif) “masalah Indonesia... tidak mungkin dipecahkan oleh otak-otak sederhana yang lebih memilih jalan pintas, kadang-kadang dalam bentuk kekerasan”. Pada akhirnya, jawaban yang memuaskan berkisar pada kesulitan ini: bahwa membentuk Indonesia atas dasar agama merupakan tindakan meniadakan diri (self-defeating): “semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi”, dan jauh lebih berbahaya karena “mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya”. Tak ada satupun alasan menerima pendasaran Indonesia di atas doktrin agama, kecuali bagi beberapa orang berjubah pemimpin agama yang menginginkan itu, agama apapun itu. Lagi, “cara-cara yang mereka gunakan sama sekali tidak akan semakin mendekatkan negeri ini kepada cita-cita mulia kemerdekaan, malah akan membunuh cita-cita itu di tengah jalan”.
Kedua, fundamentalisme pasar (market fundamentalism). Bersama fundamentalisme agama, cuaca ideologis fundamentalisme pasar makin sering kita dengar dalam beberapa dasawarsa terakhir. Namun tak pernah sepenuhnya jelas mengapa fundamentalisme pasar punya implikasi begitu besar pada proyek cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa. Pada hemat saya, penjelasannya jauh lebih tersembunyi daripada perdebatan kubu pro-pasar dan kubu anti-pasar yang sering kita dengar. Mirip seperti fundamentalisme agama berambisi menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang hidup pribadi dan bermasyarakat, begitu pula fundamentalisme pasar berambisi menjadikan mekanisme pasar bukan hanya sebagai prinsip pengatur kinerja bidang ekonomi, tetapi sebagai satu-satunya prinsip pengatur seluruh bidang kehidupan dalam semesta tatanan bermasyarakat.
Namun kedua fundamentalisme itu beroperasi dengan modus kinerja berbeda. Jika fundamentalisme agama beroperasi dengan melakukan totalisasi cara kerja seluruh bidang kehidupan masyarakat atas dasar doktrin agama, fundamentalisme pasar ingin menciptakan tatanan masyarakat (social order) melalui anarki pengejaran kepentingan-diri tiap orang atas dasar prinsip harga (price). Dengan kata lain, fundamentalisme agama adalah bentuk totalitarianisme, sedangkan fundamentalisme pasar merupakan bentuk anarkisme. Bagaimana mungkin cita-cita membentuk tatanan dilakukan melalui anarki?
Mungkin tak ada pemikir paling serius yang mendasari anarkisme pasar ini daripada Friedrich von Hayek. Setiap tindakan membentuk dan mengatur tatanan (order) melalui otoritas mempunyai risiko membatasi kebebasan tiap warga, atau bahkan mengakibatkan perbudakan. Alternatifnya adalah tatanan yang tidak dibentuk melalui otoritas atau rencana apapun, tetapi tatanan itu dibiarkan terbentuk secara alamiah sebagai hasil ekuilibrium (perimbangan) tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan-diri. Terbentuknya tatanan tidak perlu dikejar dengan intensionalitas dan kesengajaan, sebab dengan sendirinya ‘tatanan’ (order) akan muncul sebagai hasil dari ekulibrium berlaksa-laksa tindakan kebebasan setiap orang. Sekali lagi, terbentuknya tatanan tidak perlu direncanakan (planned) ataupun dikejar dengan sengaja (intentionally pursued), sebab tatanan itu akan terbentuk sebagai hasil-sampingan dari begitu banyak tindakan bebas. Dalam bahasa Hayek: “Tatanan dapat terbentuk dengan sendirinya dari tindakan-tindakan yang oleh para pelakunya tidak dimaksudkan secara sadar untuk membentuk tatanan”.
Juga seandainya tidak dilancarkan di atas bangunan teoretik se-sadar itu, cara para fundamentalis pasar melihat proyek membentuk Indonesia sebagai bangsa berisi turunan dari argumen seperti di atas. Silahkan mengganti kata ‘tatanan’ dengan kata ‘bangsa Indonesia’, sebab akhirnya ‘bangsa Indonesia’ adalah tatanan politik (political order). Di waktu lain, silahkan juga mengganti kata ‘tatanan’ dengan istilah ‘kesejahteraan bersama’ (common welfare), sebab kesejahteraan bersama pada akhirnya merupakan tatanan moral (moral order). Maka, cara berpikir fundamentalis pasar dapat diringkas sebagai berikut: bangsa Indonesia bisa terbentuk dengan sendirinya dari interaksi berlaksa-laksa tindakan para warga-negaranya yang tak dimaksudkan sebagai tindakan sengaja untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa.
Tanpa diselidiki dengan cermat, gagasan itu seperti mengandung tanda faktual, sebab memang sangat jarang tindakan sehari-hari kita secara sengaja kita maksudkan sebagai cara membentuk bangsa Indonesia. Tidak ada seorang anak yang pergi belajar di sekolah, atau seorang akuntan yang mengerjakan pembukuan perusahaan, atau juga seorang buruh yang pergi bekerja di pabrik melakukan semua itu untuk secara sengaja membentuk Indonesia sebagai bangsa. Tetapi, satu selidik kecil saja telah cukup untuk menunjukkan bahwa antara “berlaksa-laksa tindakan setiap orang” dan “terbentuknya Indonesia sebagai bangsa” terbentang jurang sedemikian dalam yang membutuhkan jembatan. Lugasnya, keseluruhan tindakan bebas setiap orang tidak dengan sendirinya membentuk Indonesia sebagai bangsa. Maka pertanyaannya: apakah jembatan itu?
Dalam dogma fundamentalisme pasar, jurang yang begitu dalam itu hanya dapat dijembatani oleh dalil harga (price) yang akan menciptakan perimbangan (ekuilibrium) dan pada akhirnya akan melahirkan tatanan (Indonesia). Namun tentu saja soal teoretik abstrak ini segera menjelma menjadi gejala yang ganas, sebab konsep ‘harga’ pasar pada akhirnya menyangkut urusan kemampuan daya-beli warga (purchasing power). Itu sama dengan agenda untuk menciptakan ‘kewarganegaan’ (citizenship) melalui rute penciptaan ‘konsumen’ (consumership). Prinsip kewarganegaaan adalah hak dan kewajiban politik, sedangkan prinsip konsumen adalah daya-beli. Dari sini penyingkiran warga-negara yang berdaya-beli rendah (kaum miskin) segera terjadi. Dengan kata lain, cita-cita membentuk tatanan (Indonesia) melalui rute ketidaksengajaan anarkisme pasar punya konsekuensi yang tidak kurang ganas dibandingkan penyingkiran melalui fundamentalisme agama.
Justru karena itu, peran ‘kesengajaan’ dalam membentuk Indonesia sebagai bangsa pada akhirnya perlu ditegaskan dalam rupa kebijakan publik (public policy). Penggerak kebijakan publik tersebut tidak lain adalah pemerintah. Dari pokok ini, bolehlah diajukan argumen sederhana bahwa agenda nasionalis (yaitu agenda membentuk Indonesia sebagai bangsa) pada akhirnya berisi gerakan kesengajaan melalui berbagai kebijakan publik itu.
Dalam cuaca ideologis dua dogma besar itulah agenda nasionalis Indonesia dewasa ini terdampar. Sudut-pandang fundamentalisme agama kira-kira punya posisinya begini: Indonesia hanya dapat dibentuk dengan sengaja berdasarkan doktrin agama. Sedangkan dari sudut-pandang fundamentalisme pasar, Indonesia tak perlu dibentuk dengan sengaja atau terencana, sebab Indonesia justru tidak akan terbentuk sebagai bangsa; biarlah setiap warga mengejar kepentingan-dirinya, maka Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya sebagai bangsa.
Jika proyek Indonesia berdasarkan doktrin agama tidak punya dasar apapun, doktrin fundamentalisme pasar menyisakan pertanyaan besar: apakah memang bangsa Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya dari anarkisme pasar?
bersambung.....