Soe Tjen Marching
KALAU Komunis tidak diberantas di Indonesia, ia akan menyebar, menindas dan meranggas siapa saja yang tak sepaham dengan ideologi mereka, seperti yang terjadi di Tiongkok dan Vietnam. Apakah kita rela Negara kita menjadi demikian? Ini adalah pernyataan yang dilontarkan oleh sejumlah pelajar Indonesia yang saya temui di London beberapa bulan yang lalu.
Jangan salah sangka terlebih dulu. Para pelajar ini kebanyakan telah sadar akan manipulasi Orde Baru, dan bahkan mengritik kekejaman Pemerintah ini. Tapi, mereka hanya ingin membayangkan apa yang mungkin terjadi: bila PKI dibiarkan tumbuh dan berkembang, kata para pelajar ini, merekalah yang akan menyembelih dan menyiksa orang-orang tak berhalauan kiri. Bila Pramoedya tidak dijebloskan ke bui, dia akan melanjutkan antipatinya pada karya-karya yang dipandangnya kurang mencerminkan ideologi sosialis, dan para penulis Manikebu lah yang dibungkam atau dikirim ke pulau Buru.
Tetapi, gambaran yang disodorkan oleh mereka hanyalah satu kemungkinan yang berlawanan. Ada ribuan bahkan jutaan kemungkinan lainnya bila Kudeta Suharto tidak terjadi. Dan kemungkinan-kemungkinan ini jarang sekali disebutkan. Namun yang pasti adalah: jutaan rakyat Indonesia telah disembelih dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Bahkan banyak dari para korban ini bukanlah komunis atau orang kiri.
Bahaya laten komunism yang telah ditanamkan oleh indoktrinasi Suharto telah mengakar dalam, sehingga komunis pada masa Orde Baru disamakan dengan iblis yang siap menyerang siapa saja. Mereka yang tak beragama dan tak ber-Tuhan, adalah mahluk yang siap menerkam. Bahkan mereka seringkali tidak lagi dipandang sebagai manusia. Karena kecurigaan dan ketakutan itulah, banyak orang memaklumi segala kekejaman yang terjadi pada para komunis dan orang-orang kiri. Politik ketakutan yang dipraktikkan oleh Suharto begitu dahsyat dalam hal ini.
Rasa takut memang dapat menjadi efektif untuk mengontrol masa. Dalam ketakutan, kita biasanya akan lari untuk mendapat perlindungan. Dalam ketakutan, kita biasanya tidak lagi bisa rasional: satu-satunya yang kita kuatirkan adalah keselamatan kita. Dalam ketakutan, kita akan lebih mudah tunduk pada yang berkuasa, karena kita mempercayai bahwa mereka dapat melindungi kita. Dan terkadang, kita tidak lagi perduli apapun yang mereka lakukan, asalkan kita selamat. Karena ketakutan yang teramat sangat, dapat membuat seseorang bersandar pada dua pilihan: “Membunuh atau dibunuh”. Sebuah logika yang tumpul – namun masih meresap dalam para pelajar yang saya sebut di atas: bila tidak kita, maka haruslah para komunis yang musnah.
Ketakutan seringkali bermetamorfosa menjadi kekejaman. Binatang yang terancam bahaya dapat menjadi sangat agresif. Anjing yang baru saja mempunyai bayi biasanya jauh lebih garang, karena mereka juga merasa riskan pada periode ini: mereka bahkan dapat menyerang pemiliknya bila didekati secara tiba-tiba. Dan bila Anda diserang oleh anjing Anda sendiri, mungkin inilah pertanyaan yang mencuat: “Aku nggak berbuat apa-apa kok digigit? Padahal aku sayang sekali dengan anjing ini!”. Bila Anda masih bisa bertanya demikian, paling tidak Anda belum wafat. Kalau Anda sudah dibunuh dan dibuang mayatnya di kali, seperti jutaan manusia-manusia di tahun 1965, Anda tidak akan mempunyai kesempatan untuk bersuara sama sekali.
Sungguh, kita tidak perlu membawa-bawa nama “komunis” untuk menjadi kejam. Begitu juga, kita tidak perlu membawa-bawa nama “agama” untuk menjadi bermoral. Kekejaman dan kriminalitas dapat dilakukan dalam nama keduanya – penyerangan 11 September, pengeboman di Bali dan kereta bawah tanah London dilakukan dalam nama Islam. Di Amerika Serikat dan Britania, Islam seringkali mendapat stigma negatif, sehingga banyak umat yang tak bersalah terkena getah. Berapa banyaknya manusia-manusia yang telah ditahan dan disiksa di Guantanamo Bay tanpa proses pengadilan, dan ini jugalah yang telah terjadi pada jutaan manusia tak berdosa di tahun 1965. Karena George Bush juga menerapkan politik ketakutan. Sehingga banyak rakyat-pun percaya: Bila tidak kita, pastilah mereka.
Dalam kepercayaan seperti itu, memberi label tanpa pandang bulu menjadi lumrah. Komunis mempunyai satu wujud saja: kejam, anti Tuhan dan tak berperi kemanusiaan. Menghantam rata seperti ini, adalah cara untuk mengelabui masyarakat. Semakin menyeleweng and menipu label itu, semakin leluasa para penguasa untuk bergerak. Di Afrika Selatan, misalnya, pada tahun 1950-an sampai 1980-an, para aktifis yang menentang Apartheids akan dituduh sebagai komunis oleh pemerintah – sebuah cara yang mudah untuk memojokkan mereka.
Dan bila suatu saat Anda menjadi sasaran dari label ini, Anda mungkin akan terheran-heran dengan penggambaran tersebut. Di Australia, gambaran Indonesia yang agresif dan mengancam sempat berdengung sejak tahun 1950 sampai 1990-an. Dalam novel trilogi oleh John Marsden, penjajah berkulit coklat yang licik meraja-lela dan menguasai benua kangguru ini. Walau Marsden tidak menamai penjajah berkulit coklat ini, namun ciri-ciri mereka begitu mirip dengan orang Indonesia. Bayangan Indonesia yang demikian sempat menjadi alat propaganda pemerintah Australia di bawah John Howard. Sekarang, saudara sebangsa dan setanah air, inilah pertanyaan yang saya ajukan pada Anda: Apakah Anda pernah mempunyai rencana untuk menjajah Australia?
Memang, hidup itu membingungkan. Hal yang pasti dalam hidup adalah ketidak-pastian, yang terkadang meresahkan. Memberi label pada pihak lain dapat memberi kita rasa nyaman dari dunia yang perubahannya tak berhingga, dan membantu kita untuk melimpahkan apapun yang terjadi pada hidup kita, pada orang lain. Karena itulah, pihak penguasa seringkali menciptakan “Iblis”, sehingga mereka bisa lolos dari kesalahan mereka sendiri. Stigmatasi seperti ini masih tercermin dalam perayaan Kesaktian Pancasila. Ada masalah dalam Negara? Salahkan saja Komunis!***
Versi Bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Post tanggal 25 September 2008.