ISTILAH neoliberalisme adalah kisah salah kaprah. Dan mungkin salah kaprah itulah yang sedang mendera kita dalam perdebatan luas di hari-hari ini. Apa yang terjadi dalam perdebatan tentang neoliberalisme hari-hari ini untuk kesekian kali menunjukkan gejala ganjil berikut. Kehidupan publik kita rupanya ditandai secara mendalam oleh sikap anti-intelektual. Maka ketika meledak perdebatan tentang suatu ideologi, dan ideologi pada dirinya selalu membutuhkan pemahaman intelektual, tidak siaplah kita.
Seperti yang terjadi hari-hari ini, akibatnya tidak mudah pula melakukan penjernihan mengenai arti neoliberalisme. Sebab, cuaca perdebatan telah menjadi keruh dengan salah kaprah. Saya masih ingat, gejala itu pula yang melanda perdebatan tentang ideologi “akhir sejarah” di negeri ini di sekitar munculnya buku The End of History karya Francis Fukuyama (1992). Pemahaman intelektual memang tak mudah, dan beban menjernihkan dengan bahasa sederhana mudah terpelanting ke penyederhanaan perkara. Lalu, mesti mulai dari mana penjelasan tentang neoliberalisme?
Salah kaprah
Istilah neoliberalisme dalam pengertian yang kini dipakai tidak berasal dari paket kebijakan yang disebut Konsensus Washington. Ia telah dipakai untuk menyebut watak rezim Augusto Pinochet yang berkuasa di Cile tahun 1973-1990, yaitu watak ideologis hasil kolusi kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem. Ketika rezim kediktatoran mulai surut di kawasan Amerika Latin, neoliberalisme dipakai untuk menyebut ideologi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrem.
Tetapi, apa yang ekstrem hingga kebijakan ekonomi pasar-bebas ekstrem disebut neoliberal? Jawabannya tidak terletak pada ilmu ekonomi, tetapi pada sebuah pandangan tentang kaitan antara manusia dan masyarakat. Lugasnya, suatu filsafat politik. Mungkin tidak ada pemikir lebih serius yang meletakkan dasar untuk pandangan ini daripada Friedrich von Hayek (1899-1992).
Secara ringkas, beginilah kira-kira garis gagasannya. Setiap usaha membentuk dan mengatur tatanan (order) melalui otoritas seperti pemerintah terpusat selalu mengandung risiko pembatasan kebebasan setiap warga, atau justru memunculkan perbudakan. Istilah ‘tatanan’ itu dapat Anda ganti dengan kata ‘bangsa Indonesia’, sebab akhirnya Indonesia adalah tatanan politik. Bagi Hayek, alternatifnya adalah tatanan yang tidak dibentuk melalui otoritas atau rencana apapun, tetapi tatanan dibiarkan terbentuk secara alamiah sebagai hasil ekuilibrium (perimbangan) tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan dirinya. Dari sinilah berakar tuntutan peran minimal atau bahkan nol dari pemerintah dalam pembentukan tatanan.
Dalam rumusan harafiah Hayek: “Tatanan dapat terbentuk dengan sendirinya dari tindakan-tindakan bebas yang oleh para pelakunya tidak dimaksudkan secara sadar untuk membentuk tatanan” (1967). Tanpa diselidiki dengan cermat, gagasan itu mengandung tanda faktual. Tak ada anak pergi ke sekolah, buruh bekerja di pabrik, ataupun seorang akuntan mengerjakan pembukuan perusahaan, untuk secara sengaja membentuk tatatan (misalnya membentuk Indonesia sebagai bangsa). Namun, satu selidik kecil sudah cukup menunjukkan, antara “berlaksa-laksa tindakan bebas setiap orang” dan “terbentuknya Indonesia sebagai bangsa” terbentang jurang sangat dalam yang butuh jembatan. Artinya, berlaksa-laksa tindakan bebas tiap orang tidak dengan sendirinya membentuk tatanan.
Apa jembatan itu? Di sinilah gagasan Hayek menjelma menjadi program ekonomi, dengan mendorong ekonomi-pasar menuju posisinya yang ekstrem. Apa yang ekstrem? Liberalisme-klasik menggagas kegiatan ekonomi digerakkan bukan oleh komando tetapi oleh harga (price) dalam dinamika perimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand). Gagasan Hayek mau memakai mekanisme itu bukan hanya untuk mengatur kegiatan ekonomi, tetapi untuk mengorganisasikan seluruh kegiatan dalam semesta hidup masyarakat – baik ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan, maupun barang/jasa
publik lain.
Dari agenda itulah kemudian istilah liberalisme memperoleh tambahan kata ‘neo’ (baru) di depannya. Sekali lagi, istilah neoliberalisme dalam pengertian sekarang awalnya bukan soal ekonomi melainkan filsafat. Hanya dalam proses selanjutnya, model ekonomi liberal (dalam rupa pengejaran kepentingan-diri melalui signal harga) dipakai sebagai alat koordinasi untuk mengatur semua kegiatan dalam tananan kehidupan masyarakat.
Kalau dalam liberalisme-klasik manusia itu makhluk ekonomi (homo economicus) hanya (sekali lagi ‘hanya’) dalam kegiatan ekonomi, pada agenda neoliberalisme manusia diperlakukan sebagai makhluk ekonomi dalam bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Bukankah itu seperti fundamentalisme agama yang berambisi mengatur seluruh bidang kehidupan dengan doktrin agama tertentu? Itulah mengapa di tahap ketika telah terpelanting menjadi “proyek mengatur seluruh bidang kehidupan dengan dalil harga”, agenda neoliberal mirip fundamentalisme agama. Yang satu mau melakukannya dengan doktrin agama, sedangkan yang lain dengan dalil harga. Maka, daripada memakai kata ‘neoliberal’, mungkin istilah ‘fundamentalisme pasar’ lebih tepat dipakai ketika soalnya menyangkut urusan kebijakan ekonomi.
Tanpa pokok di atas dipahami lebih dulu, rupanya akan sangat sulit memahami apa yang neoliberal dan apa yang tidak. Apa implikasnya?
Dampak domino
Sekali lagi, neoliberalisme bukan pertama-tama perkara ekonomi, tetapi proyek mengatur ulang hubungan manusia dan masyarakat. Tentu saja proyek itu pada gilirannya menuntut pengaturan ulang bidang kegiatan politik, hukum, budaya, hubungan kerja, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya tentu bidang pendidikan, kesehatan, dan prasarana publik lain.
Itulah mengapa agenda neoliberal menuntut agar bidang-bidang seperti pendidikan atau kesehatan publik ditata ulang dengan langkah privatitasi. Namun di sini kita perlu hati-hati. Dalam agenda neoliberal, privatisasi bukan hanya sebagai taktik sementara, yang dalam ilmu ekonomi dapat dibenarkan sebagai strategi menyuntikkan insentif untuk menggerakkan produktivitas. Dalam proyek neoliberal, privatitasi dilihat sebagai kondisi akhir yang hendak dicapai. Lugasnya, privatisasi bukan hanya sarana, tetapi tujuan.
Dengan itu bisa dikatakan, tidak setiap privatitasi, liberalisasi, dan deregulasi adalah bentuk neoliberalisme, tetapi neoliberalisme memang punya tujuan agar berbagai bidang kegiatan dalam masyarakat digerakkan oleh motif pengejaran kepentingan diri privat. Itulah mengapa etos publik, solidaritas sosial, tindakan afirmatif terhadap kelompok yang miskin dan tersingkir adalah omong kosong besar bagi agenda neoliberal.
Pada perkembangan mutakhir, istilah neoliberal juga punya pengertian baru. Ini juga bukan perkara yang mudah dijelaskan. Dalam bidang ekonomi, arti ‘ekonomi’ semakin kehilangan maksud awalnya, yaitu kesejahteraan bersama. Bagaimana itu terjadi? Andai Anda punya uang 10 milyar. Tentu uang itu bisa dipakai untuk apapun. Andaikan ada dua pilihan: untuk membangun pabrik bagi produksi sepatu untuk dijual, atau untuk bermain valas? Andaikan bermain valas membuat uang Anda berlipat-ganda secara jauh lebih cepat daripada membangun pabrik. Paham neoliberal bilang tidak ada yang salah dengan itu. Sebabnya bukan karena laba itu buruk, tetapi karena kebebasan tiap orang mengejar kepentingan dirinya adalah dogma keramat. Sekali lagi, soalnya bukan murni ekonomi.
Itulah mengapa munculnya transaksi uang maya (virtual) secara kolosal dalam beberapa dasawarsa terakhir ini dianggap melekat pada agenda neoliberal. Dari situ lalu neoliberalisme punya arti virtualisasi ekonomi. Lalu de-industrialisasi terjadi, pertanian ditinggalkan, dan ekonomi riil terbengkelai, karena lalu ekonomi dan ilmu ekonomi sibuk dengan urusan dagang uang. Bisa saja namanya derivatif, lindung nilai, sekuritas, atau juga futures.
Lalu, di mana tempat pemerintah dalam agenda neoliberal? Jawabannya dapat dibuat lugas. Tidak ada ideologi yang diterapkan secara murni, tidak juga neoliberalisme. Itulah mengapa ironinya agenda neoliberal justru lebih sering menuntut tangan besi pemerintah, misalnya dalam pemberangusan serikat-serikat buruh. Pinochet di Cile atau Thatcher di Inggris melakukannya dengan menghancurkan kekuatan serikat buruh. Pokok ini sangat penting bagi cuaca perdebatan hari-hari ini. Adanya peran pemerintah samasekali bukan dengan sendirinya berarti paket kebijakan tidak berciri neoliberal. Sangat biasa paket
kebijakan melibatkan peran pemerintah yang besar, namun tetap saja berciri neoliberal.
Kalau istilah neoliberalisme membingungkan, mungkin ada baiknya diganti dengan istilah ‘fundamentalisme pasar’, supaya lebih mudah dimengerti dalam konteks ketika fundamentalisme agama juga sedang ganas. Dan, cara paling sederhana untuk memahami fundamentalisme pasar bukan terletak pada apakah paket kebijakan melibatkan peran pemerintah. Itu kurang relevan! Ada dua cara sederhana. Pertama, silahkan cermati apakah semakin banyak bidang kehidupan dalam tata hidup bersama (di luar bidang ekonomi) mengalami komersialisasi, dari bidang pendidikan sampai kesehatan, dari hukum sampai prasarana publik. Kedua, apakah kegiatan ekonomi semakin dikuasai oleh dagang uang, dan bukan oleh transaksi barang/jasa riil.
Seandainya penjelasan sederhana ini berguna, silahkan pakai. Tetapi bila tidak, ada satu hal yang semoga boleh saya haturkan: saya menulis ini bukan karena ingin menjadi menteri, apalagi wakil presiden.
B. Herry-Priyono, Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Artikl ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, 28 Mei 2009, h. 6.