Ignatius Wibowo
MUSUH kaum neoliberal adalah negara. Mereka memandang bahwa eksistensi negara itu kontradiktif bagi eksistensi pasar. Negara dipandang merusak mekanisme pasar, sehingga menimbulkan aneka macam distorsi. Milton Friedman, guru kaum neoliberal, memang tidak mau menghapus negara sama sekali. Tapi ia buru-buru mengatakan: “What the market does is to reduce greatly the range of issues that must be decided through political means, and thereby to minimize the extent to which government need participate directly in the game.” (Capitalism and Freedom, 15). Kampanye mereka selalu: negara harus sekecil-kecilnya, dan pasar seluas-luasnya.
Friedman, maupun Hayek, adalah anak zamannya. Ketika Perang Dingin memasuki fase yang paling panas, para ekonom blok kapitalis (Amerika Serikat) pada tahun 1960-an berusaha meyakinkan bahwa hanya ekonomi kapitalis saja yang paling benar dan paling sah. Tulisan-tulisan Friedman maupun Hayek pada dasarnya adalah serangan terhadap sistem ekonomi yang dijalankan di Uni Soviet, Eropa Timur, Cina, Korea Utara, dsb. “Ekonomi komando” diserang habis-habisan dengan menunjuk kepada penindasan, pelanggaran HAM, dan juga pada pada rendahnya kesejahteraan rakyat di negara-negara itu. Membaca buku Capitalism and Freedom semestinya harus dengan membayangkan apa yang terjadi di Uni Soviet, bukan dengan membayangkan Indonesia!
Dalam perkembangannya, teori neoliberal menjadi a-historis. Serta-merta dikatakan bahwa setiap cara melangsungkan ekonomi dengan sistem pasar, harus dan niscaya dilakukan dengan mengecilkan negara. Mereka lupa bahwa setiap era mempunyai masalahnya sendiri, dan bahwa setiap teori yang lahir dari sebuah era tidak bisa diterapkan begitu saja. Negara yang menindas seperti di Uni Soviet memang harus dilawan, tetapi negara di wilayah lain tidaklah berkelakuan seperti di Uni Soviet. Kampanye “emoh negara” sungguh perlu ketika negara menimbulkan penindasan dan pelanggaran HAM seperti itu.
Hilangnya paham warga negara
Tapi pemasungan negara yang diusung kaum neoliberal terlanjur dirayakan sebagai sebuah kebenaran abadi yang harus dianut oleh setiap orang di seluruh dunia. Demikianlah IMF dan World Bank di mana-mana mengabarkan bahwa harus terjadi pasar bebas, privatisasi dan deregulasi. Tapi ada sebuah dampak yang mengerikan: hilangnya paham “warganegara.” Sebagai gantinya dipakai paham “rakyat” yang berarti penghuni sebuah negara. Karena hanya ada rakyat, dan tidak ada warganegara, negara boleh tidak peduli dengan mereka (laissez faire). Rakyat harus mengurus dirinya sendiri, dengan terjun dalam arena pasar. Rakyat dipersilahkan untuk menjadi kaya, menjadi pandai, menjadi hebat, tetapi sekaligus juga dipersilahkan untuk menjadi miskin, menjadi bodoh, dan menjadi terpuruk-puruk. Kaya-miskin, pandai-bodoh, adalah urusan si rakyat.
Sebagai warganegara – demikian kata TH Marshall – dia memiliki tiga macam hak: politik, sosial dan sipil. Dia bisa menuntut bahwa kebebasannya terjamin, keamanannya terjaga, tetapi juga kesejahteraannya tidak terabaikan. Konsep warganegara menuntut bahwa negara tidak berpangku tangan terhadap warganegaranya. Dapat ditanyakan: untuk apa bernegara kalau negara tidak peduli? Para pengusung ideologi neoliberal (yang sebagian besar adalah kelompok orang yang beruntung) tentu saja setuju bahwa negara tidak peduli. Kebutuhan untuk menyusun organisasi yang disebut “negara” justru dibutuhkan oleh semua orang dalam rangka membangun kehidupan bersama yang saling peduli. Thomas Hobbes yang terkenal dengan teorinya tentang Leviathan juga tidak lupa akan makna bernegara seperti ini.
Semua adalah konsumen
Hilang konsep warganegara, sebagai gantinya dipakai konsep “konsumen.” Semua orang kini harus membeli produk. Rakyat dipersilahkan membeli produk-produk yang tersedia di pasar. Banyak hal memang bisa diserahkan kepada pasar dan rakyat membeli produk. Tapi celakanya rakyat juga harus membeli “produk pendidikan” dan “produk kesehatan,” dua hal yang tidak mungkin diserahkan kepada pasar. Kalau pendidikan dan kesehatan diserahkan kepada pasar, padahal kebutuhan dasar juga diserahkan kepada pasar, tentu tidak mungkin rakyat memenuhi pendidikan dan kesehatan. Itu sebabnya di banyak negara pendidikan dan kesehatan masih ditanggung (tidak dibantu!) oleh negara.
Hubungan “negara-warganegara” kini telah merosot menjadi “produsen-konsumen.” Negara melepaskan tanggung-jawabnya terhadap warganegara. Negara cukup menyediakan dan memberi fasilitas kepada para pengusaha swasta – lokal maupun global – untuk menghasilkan produk-produk yang bisa dibeli oleh rakyat sebagai konsumen. Hubungan jual-beli ini dijadikan pola yang paling utama dalam mengelola negara. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu. Di negara dengan penduduk 49% hidup di bawah garis kemiskinan, bagaimana pola ini bisa dipertahankan?
Negara pada akhirnya malah berfungsi sebagai pelindung para pengusaha itu! Dengan senang hati negara membiarkan dan memberi izin pengusaha swasta untuk mengelola pendidikan, kesehatan, dan bahkan juga keamanan (security). Mau pintar, mau sehat, mau aman, semua dipersilahkan pergi kepada pengusaha. Istilah outsourcing tepat dipakai di sini karena negara tidak mau mengurus hal-hal yang merepotkan. Tugas negara utama bergeser melindungi pengusaha atau segelintir dari warganegara, dengan membiarkan sebagian besar warganegara menjadi konsumen atau tidak menjadi konsumen. Bahkan kalau perlu menjual warganegara menjadi tenaga kerja murah perusahaan global.
Warganegara bukanlah konsumen. Debat tentang neoliberalisme sebaiknya tidak dibatasi pada soal efisiensi ekonomi. Fakta bahwa kita adalah warga sebuah organisasi yang disebut “negara” harus mendapatkan porsi yang jelas. Untuk apa berorganisasi kalau anggota tidak memperoleh manfaat apapun? Ini yang harus dijawab juga oleh capres-capres kita.***
I.Wibowo, editor buku “Neoliberalisme” (Yogyakarta, Cindelaras: 2003)