Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati
…..that even in the storm we find some light
(Looking through the eyes of Love-
Melissa Manchester)
….bahwa di tengah badai sekalipun
selalu akan kita
temukan berkas-berkas cahaya
SECARA umum, gerakan buruh di Indonesia diyakini telah atau tengah tidur panjang. Keyakinan ini diamini, baik oleh elemen dan pendukung gerakan maupun - dan terutama - oleh kalangan yang berada di luar gerakan. Bahkan, untuk sementara kalangan, gerakan buruh dianggap tidak lagi relevan dan tidak memiliki harapan.
Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah. Secara sistematis dan obyektif, memang muncul fakta-fakta yang melahirkan dan menguatkan pandangan tersebut. Sejak Orde Baru (Orba) berkuasa, politik perburuhan didominasi oleh warna korporatis, dengan kebijakan-kebijakan perburuhan yang represif untuk mengendalikan serikat buruh. Hasilnya adalah serikat buruh kuning yang jinak. Meskipun ada dinamika yang memunculkan riak-riak yang berbeda di permukaan tapi, secara umum, hampir sepanjang Orba, praktis tak ada yang dapat disebut sebagai gerakan buruh.
Namun, pengamatan yang sedikit lebih mendalam memperlihatkan, justru dalam tekanan bibit-bibit gerakan terus disemai dan tumbuh dan merupakan penyumbang bagi bergeliatnya gerakan buruh di masa-masa setelahnya hingga kini.
Setelah Orde Baru tumbang, pintu kebebasan berserikat dibuka lebar. Kebebasan itu dirayakan dengan bermunculannya serikat buruh dalam jumlah yang mencengangkan. Tapi, perayaan itu juga diikuti dengan perpecahan dan persaingan antar serikat. Selain itu, kebebasan berserikat juga tidak menambah jumlah buruh yang berserikat.
Meskipun demikian, sejak paruh kedua dekade pertama orde reformasi, mulai muncul tunas-tunas bagi kebangkitan kembali gerakan buruh. Tunas-tunas baru ini bertumbuh di tengah situasi yang sangat didominasi oleh kekuatan modal, yang hampir sepenuhnya menentukan berapa luas ruang gerak yang dapat dimiliki oleh buruh. Dalam situasi sedemikian, menarik untuk memahami jaringan perburuhan sebagai salah satu strategi memperjuangkan kepentingan buruh dalam konteks gerakan buruh di Indonesia. Tulisan ini, ingin memotret pergerakan dan aktivitas para pelaku gerakan, melalui kegiatan berjaringan yang dilakukan, dengan mengambil rentang waktu 1980 hingga 2006.
Strategi Jaringan
Dinamika, bentuk aksi, dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan faktor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain, tidak ada faktor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.
Kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, yang bertumpu pada investasi asing dan didukung oleh pengendalian serikat buruh, adalah kerangka dominan yang membingkai ruang gerak gerakan buruh selama Orde Baru (Orba) berkuasa hingga senjakalanya. Ketika rezim Orba berganti, tumpuan pada investasi asing semakin besar, meskipun pengendalian terhadap serikat buruh oleh negara praktis tidak ada. Tetapi, kebebasan berserikat ini secara sistematis dilemahkan oleh modal, dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan kata lain, modal merupakan penentu utama, bila tidak satu-satunya, setting arena gerakan buruh di Indonesia sejak awalnya.
Mencermati perkembangan situasi perburuhan selama empat periode, berikut ini adalah ciri-ciri yang muncul:
Periode 80-90
Periode ini ditandai oleh iklim serikat buruh (SB) tunggal. Jaringan perburuhan hanya beranggotakan serikat buruh dan dibentuk oleh sebagian serikat buruh lapangan pekerjaan (SBLP) yang menolak unitarisme dari FBSI menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), yang selanjutnya menghapus otoritas dan kewenangan SBLP dalam mengurus anggotanya dan mengalihkannya ke pengurus pusat SPSI. Aksi jaringan SBLP menghasilkan dikembalikannya kewenangan sektor dan metode pendidikan untuk penguatan basis di tingkat pabrik, sebagai ujung tombak kekuatan serikat. Keluaran dari metode pendidikan tersebut, adalah aktivis-aktivis tingkat basis yang kritis terhadap SPSI dan pemerintah, yang kelak menjadi tokoh serikat buruh alternatif.
Di masa ini, dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan militer secara legal melakukan intervensi dan terlibat dalam kasus perselisihan perburuhan. Penempatan militer pensiun maupun aktif dalam jajaran manajemen maupun pengurus serikat, merupakan hal yang jamak. Semua ini menandai rezim perburuhan yang sangat represif tetapi, sekaligus memunculkan tokoh-tokoh perlawanan dari SPSI, yang kemudian menjadi motor jaringan untuk melawan keterlibatan militer dalam urusan perburuhan.
Akhir periode ini juga ditandai oleh munculnya LSM perburuhan, yang melakukan pembelaan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja buruk, terutama buruh pabrik-pabrik padat karya yang menghasilkan garmen dan sepatu untuk pasar ekspor. Selain melakukan pembelaan, LSM perburuhan juga melakukan pendidikan organisasi dan hak-hak buruh kepada para buruh di tingkat pabrik.
Periode 90-97
Periode ini ditandai oleh SB tunggal federatif dan dibukanya kebebasan untuk mendirikan SB tingkat basis, meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah. Dimotori LSM, terbentuk jaringan perburuhan dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan 25/1997. Di masa ini pula, lahir dua serikat buruh alternatif yang juga dimotori oleh LSM. Sangat jelas dalam periode ini, LSM memegang peran penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh. Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi, akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas dengan kinerja SPSI.
Intervensi militer dalam urusan perburuhan yang kian meresahkan, menjadi isu utama yang diangkat oleh jaringan perburuhan yang dimotori LSM tersebut. Iklim perlindungan HAM di tingkat internasional, berhembus pula di Indonesia. Momentum ini segera ditangkap oleh beberapa tokoh LSM perburuhan dengan membentuk SB alternatif. Pendirian SBSI dan pendeklarasiannya yang dihadiri oleh LSM perburuhan dan kelompok-kelompok buruh dampingan LSM dari Jawa dan Sumatera Utara, menunjukkan sentralnya peran LSM dalam gerakan buruh di periode ini.
Kasus Marsinah tahun 1993 yang menghebohkan, yang menjadi bukti intervensi militer, melahirkan berbagai jaringan LSM dan mahasiswa untuk menggalang solidaritas dan memprotes keras kasus tersebut. Tekanan jaringan terhadap kasus ini cukup efektif, juga karena didukung oleh media massa.
Aksi buruh paling fenomenal adalah yang dimotori ketua SBSI, yang mantan aktivis LSM, Mohtar Pakpahan, terjadi di Medan tahun 1994. Aksi ini berhasil mengerahkan ribuan buruh untuk menuntut besaran upah minimum.
LSM pula yang menjadi roh gerakan menolak UU Ketenagakerjaan tahun 25/97, di akhir senjakala Orde Baru. 12 LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan), secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan UU tersebut. Aksi itu ditandai dengan dikeluarkannya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa UU itu harus ditolak. Dalam pandangan KPHP, UU tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan UU 25/97 juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh.
Dalam periode ini, pemerintah memberlakukan kebijakan upah minimum dan untuk selanjutnya, tuntutan upah minimum menjadi agenda aksi pokok dalam aksi-aksi buruh, disamping agenda menolak kebijakan-kebijakan lain yang merugikan buruh.
LSM juga membentuk jaringan untuk mengangkat isu perempuan dalam perburuhan, yang selama ini selalu terpisah. Jaringan ini beranggotakan aktivis perempuan LSM, yang mengurus isu perempuan dan kelompok-kelompok buruh perempuan. Mereka berusaha memasukkan isu perempuan dalam jaringan LSM dan buruh yang menangani isu buruh secara umum. Kegiatan jaringan untuk isu buruh perempuan ini, berhasil memasukkan gagasan tentang persoalan kesehatan reproduksi dan K3 dalam RUU PPK dan PHI, melalui jaringan yang beranggotakan LSM dan buruh untuk isu buruh yang lebih umum. Sayangnya, karena jaringan tersebut bubar, tak ada kelanjutan gagasan itu untuk diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam kaitannya dengan pengangkatan isu perempuan, dibentuk jaringan buruh dan LSM yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk mengurus organisasi buruh.
Peran penting yang dimainkan LSM dan pertautan hubungan yang intensif di antara LSM dengan kelompok buruh, mengalami pasang surut dan menghasilkan hubungan yang bersifat ‘benci tapi rindu.’ Beberapa pertemuan dilakukan di antara keduanya maupun internal masing-masing, membahas soal bagaimana sebaiknya peran LSM: menjadi serikat atau menjadi pendukung serikat. Perdebatan mengenai hal ini ternyata cukup tajam dan mampu menyebabkan perpecahan dalam jaringan. Di kalangan buruh, LSM acap dianggap sebagai penjual buruh kepada para donor. Tapi, pada saat yang sama, berbagai kebutuhan dana kelompok buruh dipenuhi melalui jaringannya dengan LSM yang mempunyai hubungan dan akses langsung kepada donor. Perdebatan ini tetap berlangsung di masa-masa setelahnya bahkan hingga saat ini (lihat, misalnya indoprogress.blogspot.com/2007/10 dan /2008/03/).
Periode 1998-2003
Periode ini ditandai dengan keragaman serikat buruh sebagai hasil dari kebebasan berserikat. Segera muncul puluhan serikat dan secara garis besar terdapat empat kelompok serikat buruh yakni, kelompok SPSI, kelompok pecahan SPSI, kelompok SB lama di masa tahun 60an, kelompok serikat yang tak ada latar belakang serikat buruh dan kelompok SB dukungan atau bentukan LSM.
Lima tahun pertama masa kebebasan berserikat, memperlihatkan situasi yang memprihatinkan. Serikat buruh yang menjadi elemen utama gerakan, selain sangat banyak ternyata juga rentan perpecahan. SPSI, misalnya, mengalami perpecahan yang intensif. Tiga kelompok serikat lain juga tak kebal terhadap perpecahan yang parah dan merisaukan.
Di tengah bermunculannya serikat, jaringan perburuhan yang dimotori LSM dan kelompok serikat buruh independen serta kelompok serikat pecahan SPSI, tetap aktif berdampingan dengan kegiatan jaringan buruh yang dimotori dan beranggotakan para aktivis serikat pekerja kelompok pecahan SPSI dan serikat yang baru sama sekali. Jaringan-jaringan tersebut dibentuk untuk merespon peraturan mengenai pesangon dan proses kebijakan perumusan paket 3 UU Perburuhan dengan strategi masing-masing. Jaringan untuk menolak perubahan ketentuan pesangon, sebagaimana dicantumkan dalam keputusan menteri No.78 tahun 2001 dan No.111 tahun 2001, dibentuk oleh SB dan LSM dengan melakukan tekanan melalui aksi massa yang dilakukan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Aksi penolakan ini kemudian tidak berlanjut, karena perhatian dialihkan kepada isu RUU PPI dan PPK yang kelak menjadi UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI.
Jaringan yang digerakkan oleh LSM, melakukan serangkaian kegiatan advokasi dengan konferensi pers, diskusi-diskusi pembahasan RUU, rapat dengar pendapat dengan parlemen yang dilengkapi dengan aksi massa, dan permintaan peninjauan kembali UU 13/2003. Jaringan serikat kelompok pecahan SPSI, mengambil strategi yang mirip dengan strategi jaringan LSM, tetapi tanpa aksi massa dan wakil-wakil mereka dipilih oleh parlemen untuk membahas RUU 13/2003 dan 04/2004. Jaringan kelompok ini juga mendapatkan fasilitas dari pemerintah, dalam berbagai bentuk antara lain penggunaan gedung Depnaker untuk mengadakan pertemuan-pertemuannya.
Jaringan lain yang muncul masa ini, adalah jaringan yang dibentuk untuk mendesak pemerintah agar secara resmi 1 Mei diakui sebagai hari buruh dan diperingati secara reguler. Jaringan ini mendesakkan tuntutannya melalui aksi-aksi massa yang diorganisir dengan rapi dan memperluas anggota jaringan dengan merangkul media massa, mahasiswa, aktivis etnis Cina dan LSM miskin kota, dan melakukan aksinya di setiap peringatan 1 Mei. Hingga kini, 1 Mei memang dapat diperingati oleh buruh dengan berbagai aksi dan kegiatan.
Muncul pula jaringan yang difasilitasi oleh donor, antara lain jaringan untuk memantau pelaksanaan Code of Conduct dengan anggota para aktivis serikat dan LSM perburuhan.
Di periode ini, peran LSM sebagai penggerak jaringan menyurut dibandingkan periode sebelumnya. Sebaliknya, serikat mulai memimpin dan mengambil inisiatif. Tampaknya, ini semacam konsekuensi logis dari munculnya organisasi-organisasi buruh karena iklim kebebasan berserikat. Dan secara alamiah, hal ini juga merupakan hasil dari proses pendidikan dan pengkaderan yang dilakukan oleh para aktivis perburuhan sebelumnya.
Periode 2004-2006
Situasi kebijakan yang memberlakukan praktek buruh kontrak dan outsourcing melalui UU 13/2003, menjadi agenda utama jaringan-jaringan buruh, yang di masa ini lebih banyak digerakkan oleh serikat. Strategi aksi massa untuk menolak praktek hubungan kerja yang sangat merugikan buruh itu, dilakukan oleh berbagai jaringan buruh, tidak saja di Jakarta tetapi juga di kota-kota lain. Peringatan 1 Mei, menjadi saat yang selalu digunakan untuk mengangkat isu ini. Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sektor, termasuk sektor jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan.
Masa ini juga ditandai oleh keberadaan serikat yang semakin solid, setidaknya dengan dilakukannya aksi massa yang menggabungkan hampir semua kelompok serikat buruh. Satu aksi besar yang sangat berhasil yang dilakukan pada 1 Mei 2006, harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh kita. Aksi itu berhasil membatalkan rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003. Aksi ini seperti mengulang keberhasilan aksi jaringan yang menolak UU 25/1997.
Dengan melihat jaringan-jaringan yang pernah ada dalam periode ini, bisa dikatakan, dibandingkan dengan periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang terbentuk makin menyusut. Dalam jaringan-jaringan di periode ini, peran SB makin besar sementara peran LSM makin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara isu perempuan masih tetap menjadi isu pinggiran, dan sulit untuk bersinergi dengan isu yang dominan.
Namun demikian, perkembangan terakhir menunjukkan hal yang menggembirakan yakni, mulai terjadinya kristalisasi kekuatan serikat di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. SB terus belajar bahwa perpecahan bersifat kontraproduktif terhadap gerakan dan kepentingan buruh, dan bahwa hanya pihak ‘musuh’ yang akan diuntungkan dari perpecahan itu. Kristalisasi serikat itu adalah hasil dari kesadaran berjaringan bahwa aksi bersama lebih kuat pengaruhnya ketimbang aksi individual. ***
Indrasari Tjandraningsih dan Rina Herawati, adalah peneliti di AKATIGA-Pusat Analisis Sosial Bandung.
Artikel ini adalah ringkasan dari hasil penelitian Maret 2008.