Upah, Dalam Kemiskinan Industri

Dominggus Oktavianus

"Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya?"
- Pidato Soekarno (Pancasila), 1 Juni 1945.

KENYATAAN  setelah puluhan tahun merdeka, kemiskinan tidak hanya bertambah dalam angka tapi, juga dalam wujud turunnya kualitas hidup rakyat. Penyebabnya, selain perilaku korup, adalah kapital yang dibiarkan merajalela oleh negara, dalam hal ini, pemerintah berkuasa. Orde baru menyediakan syarat, reformasi melempangkan jalannya.
Kapital dari luar maupun dalam negeri, bebas melakukan apa saja, termasuk bebas saling bersaing. Dan sudah diketahui, kapital luar negeri yang lebih unggul, dan kemudian merajalela lagi. Dalam kekalahannya, kapital domestik tidak sepenuhnya mati, tapi terkondisikan menjadi tergantung (dependent) terhadap asing. Tergantung dalam hal permodalan, bahan baku, teknologi, sampai dengan pasar. Sehingga, kemiskinan bangsa ini lahir dari dua lapis eksploitasi, oleh kapital domestik dan asing, dengan sebagian besar hasilnya terakumulasi ke luar negeri.

Nilai tambah dan nilai upah

Ilustrasi dari pola ketergantungan tersebut, bisa ditemukan pada kondisi struktur industri yang paralel dengan kondisi perburuhan. Pertama, hasil kerja buruh di industri bahan mentah (pertambangan/ekstraktif, perkebunan, kelautan, kehutanan) dijual ke luar negeri, berbuah nilai tambah yang kecil—akibat tanpa melalui proses pengolahan. Sebaliknya, pengolahan di luar negeri dengan dukungan teknologinya, dan kemudian, pemasaran kembali ke negeri ini, menghasilkan nilai tambah yang besar bagi mereka.

Kedua, hasil rakitan buruh di industri barang-barang impor setengah jadi (garmen, elektronik, otomotif, dll) dipasarkan ke dalam dan luar negeri, dengan nilai tambah yang kecil, karena umumnya bersifat alih-daya (outsource) dari perusahaan induk di luar negeri.

Ketiga, hasil kerja buruh di sektor industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi (tekstil, makanan-minuman, kerajinan tangan, dll). Umumnya berskala kecil dan menengah dengan sejumlah ketergantungan lain, bila tidak ingin dibilang kalah, dalam hal modal, teknologi, serta ketergantungan sebagian bahan baku pendukung dari luar negeri.

Ketergantungan ini berakibat pada rendahnya nilai tambah yang dihasilkan dari tiap-tiap industri, sehingga berdampak lebih lanjut pada rendahnya nilai upah yang diterima oleh buruh. Ada penyebab lain rendahnya upah, yaitu sekitar tiga puluh persen ongkos perusahaan yang harus dikeluarkan untuk membayar kebutuhan aparatus, formal dan nonformal (dikenal dengan biaya siluman). Namun, konteks ini berada pada fokus pembahasan yang berbeda (korupsi).

Nilai upah dan kemiskinan

Seperti sudah disimpulkan, lemahnya industri berdampak pada miskinnya buruh. Bulan Januari baru lalu, pemerintahan daerah di seluruh Indonesia, memberlakukan upah minimum tahun 2008, di masing-masing wilayah kekuasaannya. Angka terendah adalah 547.000 rupiah (Jawa Tengah), dan angka tertinggi masih di sekitar plafon kritis bagi buruh atau pekerja, yaitu 1.105.500 rupiah (Papua) . Dengan angka ini pun mayoritas dari 40 juta UKM (yang mempekerjakan 3 – 100 orang) sudah terengah-engah membayar, seperti sedang kelelep lumpur Lapindo.

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tahun 2007 berikut ini menggambarkan komposisi penghasilan buruh. Sektor formal menyerap tenaga kerja sejumlah 36.103.441. Dari jumlah tersebut, sebanyak 34.519.842, atau sekitar 80% tenaga kerja, memperoleh upah bulanan antara 200 ribu sampai 2 juta rupiah. Dengan asumsi tiap pekerja menanggung empat orang dalam keluarga, maka setiap anggota keluarga hidup dengan dua ribu hingga tujuh belas ribu rupiah per hari (masuk standar miskin versi Bank Dunia). Di luar itu terdapat pekerja di sektor informal dengan prosentase yang tak jauh berbeda.

Upah layak dan kemandirian ekonomi


Upah layak adalah upah yang mencupi kebutuhan hidup layak, yaitu cukup sandang, pangan, perumahan, ditambah pendidikan, kesehatan, dan berkreasi, sebagai kebutuhan pokok manusia modern sekarang. Harus diakui, penghitungan standar upah sekarang sekedar agar buruh bertahan hidup dan mampu bekerja keesokan harinya.

Upah di satu sisi, dengan harga barang dan jasa kebutuhan pokok di sisi lain, merupakan sepasang instrumen yang menentukan kesejahteraan buruh. Wewenang dan kekuasaan untuk mengatur instrumen ini, keduanya ada di tangan negara. Hanya negara yang bisa diandalkan untuk menaikkan upah, menurunkan harga barang, serta menyediakan pelayanan sosial yang murah dan berkualitas. Tidak bisa oleh pasar, atau kapital (khususnya asing) yang dibiarkan merajalela.

Bagaimana negara mengatur instrumen kesejahteraan buruh tersebut? Syarat awal adalah perubahan pargadigma, dari yang menganggap globalisasi adalah segala-galanya, menjadi pengembangan dan maksimalisasi potensi yang dimiliki bangsa ini.

Pertama, pandangan bahwa upah sebagai keunggulan komparatif untuk menarik investor sudah harus ditinggalkan. Selain tertinggal dari perkembangan ekonomi global, pandangan ini juga hakekatnya telah merendahkan martabat bangsa dan kemanusiaan secara umum. Kedua, industri yang menyokong program kemandirian ekonomi nasional (tidak bergantung pada asing), baik besar, kecil dan menengah, didukung melalui regulasi, insentif, subsidi, permodalan, sampai dengan pasar. Nilai upah tinggi harus sejalan dengan industri yang sehat. Ketiga, untuk mencapai hal tersebut, kedaulatan atas sumber daya ekonomi harus dipastikan, seperti nasionalisasi industri pertambangan, dan pemutihan utang luar negeri.***


Dominggus Oktavianus, Ketua Pengurus Pusat Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (PP FNPBI), Ketua Bidang Politik dan Demokratisasi PAPERNAS.