Elza Faiz
TUMBUH suburnya kekuatan kapitalis domestik di Indonesia, pada penghujung dekade 80-an, hanya dapat dinarasikan dengan menghubungkannya pada peran negara yang sangat dominan dan sentralistik. Tidak saja dengan monopoli langsung atas akses sumber daya ekonomi tetapi, juga posisinya yang sangat menentukan dalam pengaturan dan pengalokasiannya.
Jangan membayangkan bahwa sistem pengaturan dan pengalokasian akses sumber daya ekonomi itu dilakukan melalui prosedur yang fair, sebagaimana dibayangkan terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis liberal. Sebaliknya, prosedur alokasi sumberdaya itu dilakukan melalui jaringan patronase yang berpusat pada Soeharto. Jaringan patronase ini sendiri melibatkan para anggota keluarga Soeharto, klik politik petinggi negara, dan segelintir kapitalis Tionghoa.
Sistem kapitalisme negara sendiri, awalnya dibangun dengan mendominasi minyak, pertambangan dan sektor-sektor sumberdaya alam, infrastruktur, perbankan, dan perdagangan. Kapitalisme negara kemudian mencapai puncak selama tahun-tahun boom minyak 1978-1982, dimana koper-koper negara padat dengan petrodolar. Akan tetapi, dalam perkembangannya, sistem kapitalisme negara terpecah juga oleh krisis anjloknya harga minyak pada tahun 1981-1982 dan sekali lagi pada tahun 1986. Krisis anjloknya harga minyak secara dramatis tersebut, menggeser pilihan-pilihan bagi para pemain utama. Hal ini menjadi lampu kuning bagi muculnya kebutuhan untuk memobilisasi sumber-sumber dana investasi baru dari sektor swasta, dengan membangun industri-industri ekspor dan membangun basis-basis pemasukan baru. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya krisis ini juga mengakibatkan lembaga donor internasional melakukan desakan kepada pemerintah untuk menjalankan paket deregulasi ekonomi.
Namun, deregulasi yang awalnya dimaksudkan untuk memupus praktik-praktik monopoli negara atas berbagai sumber daya ekonomi dalam rangka menumbuhkan sebuah perekonomian yang lebih berorientasi kepada pasar liberal, gagal diwujudkan. Penyebabnya, karena para penikmat deregulasi adalah kaum oligarki itu sendiri. Bukannya meliberalkan pasar, yang terjadi justru melicinkan jalan bagi pemindahan monopoli negara atas akses sumberdaya ke tangan para oligarki. Pada titik inilah, ‘penjarahan sistematis’ yang dilakukan kelompok oligarki atas berbagai akses sumberdaya produktif yang sebelumnya berada di bawah kendali negara, kian merajalela.
Lebih dari sekedar menguasai akses ke berbagai sumberdaya ekonomi, kaum oligarki (dalam bahasa Vedi R. Hadiz, kelompok ini disebut sebagai predator), juga berupaya melakukan penguasaan terhadap lembaga-lembaga politik sebagai instrumen untuk menjamin langgengnya dominasi mereka. Karena itu, sejak dekade 1980-an, Golkar yang sebelumnya merukakan partai negara segera beralih sebagai kendaraan politik kaum oligarki. Mengingat partai ini kerap-kali memenangkan pemilu, tidak mengherankan kalau kaum oligarki juga memperoleh posisi di parlemen. Kondisi ini terus bertahan hingga akhirnya Indonesia terhempas badai krisis financial ditahun 1997. Segera sesudahnya, struktur bangunan ekonomi politik orde baru yang bertahan hingga tiga dekade, ikut dihempas badai. Puncaknya, pada 1998 rejim yang dipimpin oleh salah satu diktator paling kuat didunia, Soeharto, terjungkal dari kursi kekuasaannya.
Beriringan dengan peristiwa tersebut, sejumlah analis baik dalam maupun luar negeri, mulai melontarkan gagasan bahwa perjalanan Indonesia pasca Soeharto, akan menempuh trayek mulus untuk mencapai format politik demokratis dan ekonomi liberal. Namun, kenyataannya, meskipun struktur ekonomi-politik orde baru runtuh berkeping-keping, perubahan-perubahan yang terjadi hanyalah pada konteks, dan oleh karena itu, ia tidak mengubah basis material yang sesungguhnya. Sebab proses dominasi elite orde baru beserta kalangan oligarki, tidak saja terhadap politik dan ekonomi, tetapi juga terhadap civil society, pada dasarnya tetap berlangsung. Perbedaannya dengan masa lalu, terletak pada cara melanggengkan dominasinya. Jika pada masa lalu dominasi dilakukan dengan menggunakan instrumen otoritas sentral negara, kini dominasi itu dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.
Bersandar pada kajian Vedi di atas, maka pilpres (pemilihan presiden) dan pilkada (pemilihan kepala daerah) akan menjadi salah satu sasaran strategis bagi kaum oligarki kapitalis lama, yang dibesarkan Orde Baru, untuk mengonsolidasikan kekuatan politik dan monopoli ekonominya, dengan cara merebut jabatan puncak di eksekutif. Apalagi, dengan kebijakan yang hanya mengakui parpol sebagai satu-satunya pemegang kunci pencalonan, maka dengan kekuatan finansial yang dimilikinya, akan memudahkan kaum oligarki ini untuk memonopoli kontestasi pencalonan dengan membeli tiket pada parpol. Pada akhirnya, mereka juaah yang kembali menjadi penguasa-penguasa terdepan di negeri ini. Jika ini terjadi, jalan reformasi akan semakin terjal dan berliku sehingga, mimpi untuk menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi menjadi makin jauh panggang dari api.
Karena itu, untuk menghambat laju mereka dalam membangun kerajaan predatornya, sekaligus untuk melempangkan jalan reformasi, maka pilpres dan pilkada harus membuka pintu seluas-luasnya untuk kontestasi calon, termasuk pintu bagi calon independen, agar rakyat dari berbagai latar belakang dapat berkontestasi secara fair, adil dan demokratis. Dengan demikian, terbuka peluang lahirnya ‘nakhoda-nakhoda’ di daerah yang mampu menyelami bahasa dan kebutuhan rakyatnya.***
Elza Faiz adalah aktivis center for constitutional law studies, Yogyakarta.
Judul asli artikel ini, "Mewaspadai Laju Kelompok Oligarki Kapitalis Lama Di Panggung Elektoral," sebelumnya diposting di http:// imperiumelza.blogspot.com, 23 Maret, 2008.