Coen Husain Pontoh
Untuk memahami secara utuh proyek Anggaran Partisipatif, yang diusung oleh Partai Buruh Brazil, walaupun ringkas, kita mesti menengok kondisi ekonomi-politik Brazil keseluruhan. Tanpa penelaahan terhadapnya, pembicaraan kita soal Anggaran Partisipatif menjadi kehilangan konteks dan ruh perjuangannya.
Seperti dikemukakan Michael Schellenberger dan Kevin Danaher, Brazil, lebih dari negara-negara lain di Selatan, adalah tempat dimana dua visi pembangunan berkompetisi dengan sangat ketat. Yang pertama adalah visi dominan yang diusung dan dipromosikan oleh Bank Dunia, IMF, dan perusahaan-perusahaan transnasional, yang memaksakan diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas, negara yang fokus pada kepentingan kapital, dan peminggiran kelas pekerja. Visi dominan itu kini kita kenal sebagai neoliberal.
Visi dominan ini, mendapatkan perlawanan yang keras dari model pembangunan berorientasi rakyat, yang diusung oleh kelompok-kelompok komunitas, aosiasi-asosiasi petani, serikat buruh, organisasi perempuan, dan kelompok-kelompok lingkungan.
Pertarungan kedua visi pembangunan ini, tak lain untuk memperebutkan kelimpahan sumber-daya alam dan manusia di Brazil. Negeri yang telah enam kali memenangkan trofi piala dunia sepakbola itu, memang terkenal karena potensi ekonominya yang luar biasa, yang jika dikelola sedemikian baiknya, bisa mensejajarkan dirinya dengan negara-negara maju di Utara. Produk domestik bruto Brazil, misalnya, beberapa kali lipat lebih besar dibandingkan dengan negara-negara kaya lain di Selatan seperti, Arab Saudi dan Afrika Selatan. Secara ekonomi, kemampuannya hampir dua kali lebih besar dari India. Lihat saja, Brazil adalah negara penghasil kopi, kacang kedele, jagung, cokelat, jus lemon, produk-produk hewani dan kayu terbesar di dunia.
Tetapi, diadopsinya model pembangunan kapitalistik-neoliberal, menjadikan Brazil sebagai salah satu negara dengan struktur masyarakat paling timpang di dunia. Bahkan, seperti dikatakan Schellenberger dan Danaher, ketimpangan struktur masyarakat Brazil ini mengalahkan ketimpangan struktur masyarakat India, yang selama ini menjadi contoh dalam buku-buku teks yang diajarkan di sekolah formal. Sebagai contoh, ujar keduanya, 20 persen penduduk terkaya India, mengontrol kekayaan lima kali lebih besar dari 20 persen penduduk termiskin. Bandingkan dengan Brazil, dimana 20 persen penduduk terkaya mengontrol kekayaan 26 kali lebih besar dari 20 persen penduduk termiskin.
Selain itu, di Brazil, jika anak-anak orang kaya memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah swasta di Eropa, maka anak-anak miskinnya memperoleh pendidikannya di jalanan.
Potret kaya-miskin yang menyolok ini, bisa dideretkan lebih panjang lagi. Misalnya, ketika para elite – yang umumnya berkulit putih – membelanjakan uangnya untuk membeli vila-vila nan megah dan berlibur ke luar negeri, hampir setengah dari 155 juta populasinya hidup dalam kelaparan. Data pemerintah Brazil pada 1995, menyebutkan, satu persen dari penduduk terkaya menerima pendapatan nasional lebih besar dari 50 persen penduduk miskin.
Karena ketimpangan sosial yang sangat mengerikan itu, Brazil diberi nama julukan yang indah tapi tragis, Belinda. Nama ini merupakan gabungan dari nama dua negara dengan performa yang sangat kontras: Belgia yang kecil dan kaya-raya dan India yang besar tapi melarat. Julukan sebagai Belinda ini, diakui oleh Jutahy Magalhaes, mantan menteri kesejahteraan sosial.
“Kami adalah negara yang paling maju dan pada saat yang sama adalah negara termiskin. Kami mengekspor teknologi dan membuat satelit tapi, kami tetap gagal mengobati penyakit sosial warisan abad pertengahan,” ujarnya.
Mengapa Brazil yang kaya sumber-daya alam dan manusia itu, muncul sebagai negara dengan struktur sosial yang timpang? Mengapa pemerintah melanggengkan kebijakan “social apartheid” tersebut?
Menurut analisis Partai Buruh Brazil, hal itu terjadi karena pemerintah Brazil tunduk pada visi dominan yang dikawal oleh IMF, Bank Dunia, dan perusahaan-perusahaan transnasional. Dengan demikian, fokus utama pemerintah adalah melindungi dan melayani kepentingan oligarki, sembari menghancurkan kebijakan publik. Ketundukan pada visi pembangunan yang kapitalistik-neoliberal itu, menurut Maria Clara Couto Soares, makin menjadi-jadi sejak awal 1980an. Saat ketika Brazil terjerambab pada jebakan utang luar negeri, yang mendongkrak posisi negeri Samba itu sebagai pengutang terbesar di dunia.
Di sinilah celakanya. Untuk keluar dari jeratan utang luar negeri, pemerintah bukannya memutuskan hubungannya dengan IMF, Bank Dunia dan perusahaan-perusahaan transnasional, malahan semakin tergantung pada lembaga-lembaga itu. Dan serangkaian pertemuan pun digelar pada 1981. Hasilnya, pemerintah menandatangani resep-resep ekonomi orthodox seperti, kebijakan untuk mengurangi permintaan domestik dan merangsang pertumbuhan surplus perdagangan, guna menjamin kelancaran pembayaran utang luar negeri.
Hasilnya, sebuah lingkaran setan ketergantungan yang tak berujung. Untuk bisa bebas dari jeratan utang, Brazil harus terus berutang; untuk bebas dari pengawasan IMF, Brazil harus mau menerima resep-resep yang diberikan IMF.
Demikianlah, kebijakan yang diwariskan oleh rejim kediktatoran militer itu, tetap berlanjut hingga muncul pemerintahan hasil pemilu. Seorang Fernando Henrique Cardoso, teoritisi aliran ketergantungan, ketika terpilih sebagai presiden Brazil pada 1994, gagal memutus lingkaran setan ketergantungan itu. Ia bahkan menjadi presiden Brazil yang paling setia dan paling aktif menjalankan resep-resep kebijakan neoliberal.
Lebih dari itu, Lula Da Silva dari Partai Buruh, ketika terpilih sebagai presiden menggantikan Cardoso, juga tak berhasil membalik arah strategi pembangunan Brazil. Hingga kini, visi dominan itu tak terusik keberadaannya. Seperti dikatakan Joao Pedro Stedile, dari serikat tani pedesaan tak bertanah (MST), dengan pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen per tahun saat ini, 75 persennya diekspor dan 52 persennya dikontrol oleh 200 perusahaan dimana masing-masing perusahaan itu memiliki jaringan dengan bank-bank asing, kapital internasional, dan kelompok-kelompok bisnis besar di Brazil.
Dalam konteks sosial-ekonomi-politik seperti itulah, kebijakan Anggaran Partisipatif ini diluncurkan oleh Partai Buruh. Maka tidaklah heran, jika Michael Lowy, mengatakan, “di luar masalah teknis dan legal yang kompleks, Anggaran Partisipatif sejatinya adalah sebuah pertarungan politik antara ideologi neoliberal dari kelas dominan dan sebuah alternatif politik yang melayani kebutuhan kelas pekerja.”****
Kepustakaan:
Joao Pedro Stedile, ”Class Struggle in Brazil: The Perspective of the MST,” Socialist Register, 2008.
Kevin Danaher & Michael Schellenberger (ed.), “Fighting for the Soul of Brazil,” Monthly Review Press, New York, NY, 1995.
Michael Lowy, “A ‘Red Government’ in the Sout of Brazil-Brazilian Workers’ Party wins gubernatorial election in state of Rio Grande do Sul,” Monthly Review, Nov. 2000.
Sue Branford & Bernardo Kucinski, “Brazil Carnival of the Oppressed Lula and The Brazilian Workers’ Party," The Latin American Bureau,” UK, 1995.