Michele T. Ford: “LSM berperan penting dalam pembangunan kembali gerakan buruh Indonesia”

Beberapa waktu yang lalu, kami telah menurunkan wawancara tentang hubungan antara LSM dan gerakan buruh, dengan Eli Salomo (lihat di sini). Dan, seperti yang telah kami utarakan, sebagai tanggapan terhadap pemikiran Salomo, berikut ini adalah wawancara dengan Michele T. Ford, dosen Universitas Sidney, Australia. Ford menulis disertasi tentang peran LSM dalam gerakan buruh berjudul “NGO as Outside Intellectual: A History of Non Govermental Organizations’ Role in The Indonesian Labour Movement.”

Berikut ini petikan wawancaranya:

Sedane (S): Bagaimana Anda melihat kemunculan LSM dalam konteks Indonesia secara umum?

Michele T. Ford (MTF): Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) muncul di Indonesia karena ekses pembangunan dan perkembangan di tingkat global dimana NGO makin berperan. Lalu LSM makin terlibat dalam masalah sosial dan politik, termasuk masalah perburuhan, oleh karena tekanan internasional (serta dana internasional) memberikannya ruang gerak yang lebih besar dibandingkan ruang gerak organisasi non-pemerintah lainnya (terutama ormas seperti SB) pada dasawarsa 1980-90an.

S: Kenapa akhirnya LSM di Indonesia saat ini mendapat citra berada di luar gerakan sosial?

MTF: Sebenarnya sudah lama ada gesekan di antara fungsi LSM sebagai salah satu motor ‘masyarakat sipil’ Indonesia dan fungsinya sebagai penyalur dana dan penata agenda. Seperti dikemukakan Hetifah Sjaifudin dalam artikel yang diterbitkan di majalah Inside Indonesia tahun kemarin, aktivis LSM itu pasti menghadapi dilema, karena kepentingan donor dan dampaknya pada obyektif/program suatu LSM sulit dihindari; karena kesempatan pribadi kadang-kadang sulit dipisahkan dari pekerjaan sehari-hari sebuah LSM; dan karena ikatan LSM dengan NGO dan para penyandang dana luar negeri lainnya menimbulkan kesenjangan ekonomi/status di dalam kalangan ‘masyarakat sipil’ sendiri diantara kelompok yang mempunyai backing luar dan yang tidak.

Kelihatan ada krisis dalam citra LSM Indonesia setelah Reformasi. Dengan adanya begitu banyak uang dari luar yang dapat ‘diperjuangkan’, jumlah LSM meningkat dengan cepat, dan tidak semuanya bisa (ataupun mau) memakai kesempatan yang ada dengan baik. Akan tetapi kita harus hati-hati juga kalau mau mencitrakan LSM sebagai ‘penjahat’ dalam kondisi seperti ini. Mungkin memang ada yang menyalahgunakan kesempatan, tetapi ada pula yang niatnya baik, tetapi persiapannya kurang. Hal ini terlihat sekali sekarang di Aceh, yang sedang dibanjiri oleh dana luar. Prasarana untuk menangani ‘tsunami kedua’ ini sama sekali belum mantap, maka LSM-LSM lokal maupun NGO internasional sulit mencapai tujuan. Pada skala yang lebih kecil, hal ini juga dirasakan di seluruh Indonesia setelah jatuhnya Suharto.

Kalau di bidang perburuhan, ‘banjir dana’ pasca Reformasi agak kurang dibandingkan misalnya ‘banjir dana’ untuk good governance dan sebagainya, tetapi dengan adanya program jaringan sosial dan sebagainya, memang ada ‘LSM perburuhan’ baru yang sempat muncul demi uang. Ada juga berbagai LSM yang sebelumnya cukup peduli dengan buruh yang mengalihkan perhatiannya pada masalah demokratisasi pada umumnya. Tetapi, tetap ada LSM yang ‘setia’ pada buruh, serta LSM ‘baru tapi lama’ seperti TURC, yang dibentuk oleh mantan aktivis LBH Jakarta yang sudah lama membuktikan kesetiaannya pada buruh.

Untuk saya, orang yang mencitrakan semua LSM perburuhan sebagai pelemah gerakan buruh yang tidak punya pegangan ideologis (ataupun menganut ideologi konservatif) terlalu ekstrim. Memang, semua LSM (serta organisasi lain termasuk SB) harus kita pantau secara kritis, tetapi pernyataan umum tentang suatu jenis organisasi berbahaya karena kurang mempertimbangkan perbedaan-perbedaan di antara organisasi tersebut. Dalam disertasi S3 saya, saya cukup kritis terhadap peranan LSM dalam gerakan buruh (dan kebanyakan aktivis LSM yang saya wawancarai saat itu juga telah cukup melakukan introspeksi tentang perannya), tetapi saya juga mendata perannya yang cukup signifikan dalam proses pembangunan kembali gerakan buruh Indonesia.

S: Anda berpendapat bahwa pemosisian kaum intelektual seperti LSM perburuhan di luar gerakan adalah implikasi dari aturan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Tapi belakangan resistansi serikat buruh terhadap LSM adalah terutama pada masalah kepercayaan (trust) dan keterbukaan keuangan. Bagaimana Anda mengomentari ini?

MTF: Sebenarnya ada dua masalah yang terkait tetapi berbeda. Pertama, ada masalah ‘praktis’ seperti kepercayaan dan keterbukaan keuangan, yang sangat tergantung pada tindakan LSM masing-masing dan hubungan LSM masing-masing dengan ‘kelompok sasarannya’. Kedua, ada masalah ‘konseptual’ tentang apa itu gerakan buruh, ide-ide mana yang membentuk konsep gerakan buruh di Indonesia dan sebagainya.

Masalah konseptual inilah yang merupakan fokus utama dalam disertasi saya. Menurut penelitian saya, bukannya HIP yang paling berpengaruh melainkan perdebatan yang terjadi di Eropa pada awal abad ke-20 di antara para Leninis dan para Sosial Demokrat. Perdebatan tersebut terfokus pada peranan intelektual dalam gerakan buruh. Seperti kita ketahui menurut para Leninis, partai politik (yaitu intelektual) harus menjadi pelopor dalam gerakan revolusioner, dan SB berperan sebagai ‘alat’ partai (karena menurut mereka tanpa masukan dari orang intelektual, SB cenderung sangat konservatif).

Berbeda dengan para Leninis, para Sosial Demokrat mendukung ‘evolusi’, bukan ‘revolusi’. Menurut mereka fungsi utama SB selain memperjuangkan hak normatif adalah untuk mempersiapkan wakil para buruh untuk berpartisipasi di lingkup politik formal (yaitu parlemen) supaya mereka dapat mendorong ‘evolusi’ ke sistem politis-ekonomis yang lebih pro-buruh tanpa adanya revolusi (yang mereka anggap pasti akan merugikan buruh). Mereka tidak menolak keterlibatan intelektual kelas menengah dalam gerakan buruh, tetapi menurut mereka SB itu secara mutlak “dari, oleh dan untuk” buruh. Mereka pun tidak keberatan kalau SB mempunyai hubungan dengan parpol. Akan tetapi, menurut mereka SB tidak boleh dikontrol oleh parpol (menjadi onderbouwnya).

Perdebatan ini diangkat di Indonesia oleh para intelektual perburuhan pada awal abad ke-20, dan tetap diperdebatkan dengan antusias sampai dengan lahirnya Orde Baru. Yang menarik tentang pembentukan sistem HIP bukannya bahwa Moertopo dkk menolak pengertian Leninis yang cukup berpengaruh pada zaman Sukarno, melainkan bahwa sistem HIP tetap terpengaruh oleh perdebatan Leninis-Sosial Demokrat. Bedanya di antara posisi Moertopo dkk dan posisi Sosial Demokrat terletak dalam pengertiannya tentang tujuan politis SB dan peranan intelektual dalam gerakan buruh. Seperti halnya dengan para Sosial Demokrat, secara teoritis, pendukung HIP mengangkat konsep SB “dari, oleh dan untuk” buruh dan menolak hubungan onderbouw di antara partai dan SB (meskipun dalam praktek SPSI merupakan onderbouw Golkar). Akan tetapi, bagi para Sosial Demokrat SB merupakan ‘ladang persiapan’ untuk para wakil buruh di parlemen, sedangkan bagi para pendukung HIP, SB merupakan alat untuk ‘mengikutsertakan’ buruh dalam proses pembangunan demi kepentingan semua warga negara Indonesia karena menurut pengertian korporatis konservatif Orde Baru, tidak ada perbedaan kepentingan di antara buruh dan warga negara lainnya, dan tidak ada perbedaan kepentingan diantara warga negara dan pemerintah. Anehnya, pada saat yang sama, meskipun Orde Baru menjunjung tinggi konsep ‘karyawan’ yang tidak membedakan buruh dengan orang lain yang melakukan ‘karya’, pada zaman Orde Baru SB tidak boleh mengorganisir pegawai negeri, dan buruh kerah biru sangat dibedakan sekali dengan orang ‘profesional’.

Aktivis SB lama yang tetap sempat bergerak pada awal tahun 70an, rata-rata menganut pengertian sosial demokrat ataupun pengertian SB yang berdasarkan filsafat agama (Kristen ataupun Islam). Menurut Vedi Hadiz, pertama-pertama para aktivis SB ini berharap dapat mempengaruhi pembentukan sistem hubungan industrial baru. Hal ini sangat tercermin dalam tulisan-tulisan tahun 1970an dimana konsep korporatis Ali Moertopo (yang terfokus pada kewajiban buruh akan pembangunan) tercampur dengan konsep sosial demokrat tentang SB sebagai alat perjuangan hak buruh yang bersifat “dari, oleh dan untuk” buruh. Makin lama makin jelas bahwa pengertian sosial demokrat tentang SB yang betul-betul mewakili buruh (ala pemahaman evolusi) makin disingkirkan oleh para penguasa. Gerakan buruh alternatif yang dimotori oleh aktivis LSM yang peduli akan masalah HAM serta beberapa aktivis SB lama menolak praktek HIP (serta keterlibatan pemerintah melalui Golkar dalam masalah intern SPSI), tetapi tetap berpendapat bahwa SB harus menghindari pengaruh dari kaum intelektual. Unsur gerakan buruh yang menganut paham ‘radikal’ tidak menolak pengaruh kaum intelektual atau hubungan langsung diantara parpol dan SB, tetapi paham tersebut tetap merupakan paham minoritas (yang cukup membahayakan penganutnya) pada tahun-tahun 1990an dan awal 2000an.

Setelah Reformasi, masalah keterlibatan SB dalam politik formal serta peranan ‘non-buruh’ dalam gerakan buruh makin hangat, karena bukan hanya kaum ‘radikal’ lagi yang berani mengakui dukungannya untuk keterlibatan buruh dalam politik formal. Partainya Muchtar Pakpahan merupakan contoh yang paling menonjol, tetapi patut diingat juga bahwa ada upaya dari para aktivis SB lama (pra-Suharto) termasuk Wilhelmus Bhoka dan Trimurti untuk mendirikan partai buruh sebelum Pemilu tahun 1999. Upaya tersebut tidak disambut dengan baik oleh gerakan buruh pada umumnya.

Ada banyak orang yang tetap terpengaruh oleh pengertian zaman Orde Baru bahwa SB tidak boleh berpolitik. Pada waktu yang sama, lebih banyak orang lagi masih sangat dipengaruhi oleh pengertian konservatif akan posisi Sosial Demokrat bahwa SB harus “dari, oleh dan untuk” buruh. Menurut mereka, bukannya hanya bahwa SB tidak boleh ‘diperalat’ oleh parpol, melainkan bahwa keterlibatan intelektual dalam gerakan buruh secara individualpun merupakan sesuatu yang harus dihindari. Pendekatan ini cukup menyimpang dari praktek di negara-negara lain dimana SB mempekerjakan ‘ahli’ kelas menengah seperti pengacara, peneliti dan sebagainya. Bukannya berarti Indonesia harus mengikuti praktek luar, tetapi kalau SB ‘tidak boleh’ memakai keahlian orang kelas menengah, berarti sulit untuk SB diluar bidang yang bersifat ‘kerah putih’ (seperti bank, asuransi dls) untuk berfungsi dengan maksimal.

Menurut pendapat saya, pengertian konservatif akan posisi Sosial Demokrat bahwa SB harus “dari, oleh dan untuk” buruh – dipadukan dengan pendapat bahwa gerakan buruh identik dengan gerakan SB – sangat mempengaruhi sikap terhadap keterlibatan organisasi non-SB kelas menengah (seperti LSM perburuhan dan partai politik) dalam gerakan buruh. Seolah-olah organisasi non-SB kelas menengah tersebut dianggap sebagai ‘intelektual kolektif’ ala partai Leninis. Argumen saya bukan bahwa SB dapat diganti oleh LSM atau organisasi kelas menengah lain, melainkan bahwa analisa kita akan lebih tajam kalau kita mengakui dan memperhitungkan semua organisasi yang berperan dalam sebuah gerakan buruh. Oleh karena itu, menurut saya, peran pihak internasional (SB dan non-SB) serta pihak lokal non-SB patut diperhitungkan dalam analisa gerakan buruh Indonesia.

S: Bagaimana dengan masalah ‘praktis’…

MTF: Masalah ‘praktis’ seperti rasa saling percaya dan transparansi. Masalah seperti ini memang sangat mewarnai hubungan LSM-SB saat ini. Sering ada ketidakcocokan diantara kata-kata dan tindakan LSM tentang transparansi, demokrasi dan sebagainya yang harus dibenahi. Akan tetapi, seperti saya kemukakan dalam tulisan tentang akuntabilitas dan demokrasi SB Indonesia baru-baru ini, sebenarnya ada juga banyak SB yang belum ‘memenuhi syarat’. Tekanan yang dialami LSM perburuhan dari para penyandang dana dan sebagainya juga banyak dialami SB saat ini karena iuran belum memadai dan banyak SB di Indonesia sangat tergantung pada dana dan bantuan lain dari luar (misalnya dari SB internasional).

Lagipula, kecenderungan oligarki yang hampir mutlak di LSM Indonesia kini juga terdapat di banyak SB, yang memiliki mekanisme pemilihan yang belum bisa jalan dengan baik karena kekurangan orang yang mempunyai pengalaman yang cukup ataupun karena budaya ‘tokoh’ yang masih kuat. Menurut saya, lebih baik kalau LSM dan SB bekerja sama dan saling memberi masukan supaya bisa lebih transparan dan demokratis, karena LSM masih bisa ‘dipakai’ SB untuk memperkuat gerakan SB. Lebih baik memusuhi musuh yang sebenarnya daripada memusuhi kawan. Apalagi pembedaan ‘kelas buruh’ dan ‘kelas menengah’ cukup artifisial karena banyak orang ‘kelas menengah’ juga merupakan ‘orang gajian’ baik di sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Contoh yang sangat patut diingat disini adalah upaya pada tahun 1990an untuk mendirikan SB untuk ‘pekerja LSM’.

S: Apa peran LSM perburuhan pasca-reformasi? Apakah ada perubahan posisi dan peran mereka?

MTF: Perannya cukup berubah karena adanya kebebasan berserikat. Selain melakukan advokasi, mengadakan penelitian, menyediakan bantuan hukum dan mengadakan kegiatan pendidikan (kerjaan yang biasanya dikerjakan oleh LSM perburuhan di negara-negara lainnya), pada zaman Suharto berberapa LSM cukup aktif mengorganisasikan buruh langsung. Sekarang jelas bahwa SB sedang (dan memang harus) mengambil alih dalam hal pengorganisasian. Akan tetapi menurut pendapat saya, sampai sekarang LSM tetap punya peran di bidang advokasi, bantuan hukum, penelitian dan pendidikan.

S: Ada anggapan bahwa pendidikan yang dulu dilakukan LSM saat ini mestinya harus mutlak dilakukan oleh serikat buruh. Bagaimana pendapat Anda?

MTF: Menurut pendapat saya, pendidikan tidak harus mutlak diadakan oleh SB. Bisa saja LSM ‘dipekerjakan’ sebuah SB untuk mengadakan pendidikan ataupun menyediakan kursus yang dapat diakses oleh anggota SB manapun.

S: Tampaknya saat ini kuantitas LSM perburuhan kian sedikit. Bagaimana dengan pengamatan Anda?

MTF: Seperti saya katakan tadi, memang ada beberapa LSM yang tidak terfokus pada buruh lagi. Mayoritas di kalangan ini adalah LSM HAM yang dulu melihat hak buruh sebagai fokus perjuangan yang strategis, yang mungkin lebih gampang diperjuangkan daripada hak-hak lainnya pada zaman Suharto. Ada juga yang muncul pada awal reformasi yang kecewa dengan ‘ladang kering’ perburuhan yang tidak begitu seksi dan tidak dibanjiri uang seperti beberapa ‘ladang’ lainnya. Tetapi menurut pengamatan saya, lebih baik kalau ada sejumlah kecil LSM yang sungguh berpihak kepada buruh daripada ada LSM yang oportunis belaka.

Penguatan dan pemberdayaan (empowerment) yang dilakukan LSM tanpa disadari merupakan manipulasi. Maksudnya, aktivis berlomba-lomba memberikan penyadaran pada masyarakat bahwa mereka harus mandiri dan berdaya. Di sini tampak bahwa kewajiban-kewajiban negara dilupakan…Banyak fungsi negara yang diambil LSM sehingga terjadi disorientasi: seakan-akan bukanlah kewajiban negara. Ini merupakan salah satu efek peran LSM selama ini. Di bidang perburuhan apa contoh pengambilalihan peran negara oleh LSM? Apa komentar Anda?

Masalah ‘pemberdayaan’ memang masalah yang menarik. Sebenarnya, saya paling tidak suka dengan istilah ‘pemberdayaan’ karena istilah tersebut terlalu gampang dipakai dan tidak menunjukkan dengan jelas apa yang akan atau sudah dilakukan dan apa yang dicapai. Akan tetapi saya tidak setuju bahwa semua upaya penguatan dan pemberdayaan yang dilakukan LSM merupakan manipulasi. Ada pula cukup banyak contoh dimana upaya tersebut memancing ‘sasarannya’ untuk berpikir lebih kritis baik tentang LSM itu sendiri maupun tentang negara, dan lain sebagainya.

Kalau soal ‘melupakan negara’, saya setuju sekali bahwa ada kecenderungan di tingkat internasional, dimana NGO makin diharapkan mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya merupakan tugas pemerintah. Tetapi saya kurang setuju bahwa LSM mengambilalih peran negara di bidang perburuhan. Yang harus kita ingat, kepentingan pemerintah (apalagi dalam suasana global yang neo-liberal) belum tentu sama dengan kepentingan buruh. Dengan kata lain, kalau memang negara yang mutlak bertugas untuk melindungi buruh, SB pun tidak diperlukan. Seperti dikemukakan Doug Kammen di bawah rezim Suharto pun para buruh terlalu mengharapkan ‘perlindungan’ dari negara. Dan Orde Baru pun banyak berjanji bahwa buruh akan dilindungi. Sekarang, zaman sudah berubah, tetapi di negara manapun buruh tetap menipu diri kalau mengharapkan perlindungan dari negara tanpa adanya kekuatan kolektif yang mampu memaksakan pemerintah untuk menganggapi tuntutan buruh akan haknya.

S: Menurut beberapa pengamat tradisi keserikatburuhan politik yang dulu pernah dilakukan (SOBSI) sudah hancur. Semua serikat buruh, termasuk di Indonesia, didorong untuk berorientasi pada ekonomi yang lepas dari perjuangan politik… Bagaimana merefleksikan fenomena ini? Apakah perlu memunculkan kembali tradisi keserikatburuhan politik? Jika ya, bagaimana hal itu dilakukan?

MTF: Sebenarnya bukan hanya SOBSI yang menganut tradisi keserikatburuhan politik. Pada waktu itu secara langsung atau tidak langsung hampir semua SB aktif di bidang politik. Kalau menurut hemat saya, orientasi ekonomi SB sedunia dapat dimengerti sebagai hasil ‘kemenangan’ pihak Sosial Demokrat dalam perdebatannya dengan para Leninis ditambah dengan kejayaan filsafat konservatif di tingkat internasional. Justru kesempatan terbaik untuk SB di bidang politik sedang terdapat di negara-negara pasca-kolonial seperti Indonesia, dimana sistem politik belum terlalu ‘beku’ secara institusional.

Saya setuju sekali bahwa SB harus mengangkat kembali perjuangan politiknya. Tetapi prosesnya tidak gampang. Yang jelas, sampai sekarang, bukan hanya SB sosial demokrat melainkan juga SB radikal di Indonesia belum berhasil membentuk ‘kendaraan politik’ yang mantap. Sampai sekarang baik PBN maupun PRD belum berhasil meraih dukungan para buruh sedangkan partai besar seperti PDIP (yang suka sekali menyebut-nyebut ‘wong cilik’) sangat tidak memperdulikan para buruh.

Maka pertanyaan tentang cara memunculkan kembali tradisi keserikatburuhan yang bersifat politis sangat penting sekali. Dalam edisi Inside Indonesia pertama untuk tahun 2006 (yang bertema perburuhan) ada perbedaan pendapat tentang strategi yang harus dipakai. Menurut Olle Tornquist dalam artikelnya “Workers in Politics”, SB harus terjun sesegera mungkin ke dalam politik formal. Untuk mencapai tujuan ini, katanya aktivis buruh yang ‘sok sempurna’ harus berubah pikirannya dan membuat aliansi dengan kekuatan sosial lain dan memadukan tuntutan buruh dengan tuntutan sosial yang sangat beraneka-ragam. Fauzi Abdullah kurang setuju waktu ditanya tentang SB dan politik formal. Menurut Fauzi, dalam sebuah wawancara yang kami judulkan “Beyond the Factory”, belum saatnya SB terlibat dalam politik formal karena kekuatan intern SB dan jaringannya dengan kekuatan sosial lain harus dibangun dulu. Saya sendiri kurang tahu strategi mana yang lebih mungkin berhasil.

S: Menurut Anda apakah problem internal gerakan serikat buruh Indonesia saat ini?

MTF: Dalam gerakan serikat buruh, pertama-tama kita harus mengakui bahwa kemajuan sejak tahun 1998 luar biasa pesatnya. Karena itu sebaiknya jangan heran kalau tetap ada yang belum ‘sempurna’. Kalau menurut saya, proses intern SB sebaiknya dijadikan prioritas. Jangan sampai ada anggota yang mau bergabung dengan SB, tapi SB belum bisa menampung aspirasinya dengan baik karena proses intern belum berjalan dengan maksimal. Yang saya lihat dalam tahun terakhir ini sudah cukup banyak SB yang betul-betul berusaha untuk memperbaiki proses-proses pokok seperti pendataan anggota, pengumpulan iuran, demokrasi intern dsb.

Pada saat yang sama, persaingan yang tidak sehat di antara berbagai SB juga patut dihilangkan. Contohnya sederhana saja: jarang sekali saya mendengar orang SB memuji SB lain. Ini sesuatu yang cukup menyedihkan. Seharusnya SB bisa saling belajar dari kelebihan masing-masing.

S: Ada aggapan bahwa isu upah sektoral akan memecah-belah buruh. Menurut Anda? Bukankah isu upah mendorong serikat buruh terus terjebak pada kerja-kerja keserikat-buruhan ekonomi? Apakah ada aspek politik dalam perjuangan buruh pada peningkatan upah mereka?

MTF: Di satu pihak, kalau perjuangan SB macet di isu upah saja, ya tentu, aspek perjuangan buruh yang lain cenderung diabaikan. Di pihak lain, kalau buruh belum bisa mengisi perut, sulit untuk meyakinkan mereka bahwa rapat lebih penting daripada lembur. Kalau soal upah sektoral, masalah ‘aristokrasi’ buruh merupakan halangan pemersatuan buruh di mana-mana. Di pihak lain, jelas sudah ada perbedaan di antara gaji anggota SB kerah biru dan gaji anggota SB kerah putih. Mungkin lebih penting untuk mengingat bahwa buruh tidak hanya dipekerjakan di sektor manufaktur daripada terlalu pusing memikirkan masalah upah sektoral.

S: Kembali ke soal relasi LSM dan serikat buruh. Pada kenyataannya relasi itu masih ada dan terjadi. Menurut pengamatan Anda belakangan ini biasanya dalam bentuk apa relasi itu? Bagaimana pola relasi LSM-serikat di negara-negara lain (Eropa, Australia, AS)?

MTF: LSM perburuhan di negara ‘barat’ biasanya lebih terfokus pada SB di negara ‘berkembang’ daripada SB di negara sendiri. Sebenarnya sebagian besar LSM perburuhan internasional didanai oleh SB ataupun yayasan politik di negara barat.

S: Faktor apa yang membuat LSM tetap bekerja sama dengan serikat padahal kebutuhan serikat buruh sudah berubah?

MTF: Kalau SB betul-betul tidak memerlukan LSM, pasti LSM perburuhan akan mati dengan sendirinya. Kalau masih ada kerja sama berarti SB masih memerlukan mereka. Hal ini dibuktikan olah banyaknya SB yang tetap ikut kegiatan yang diadakan LSM, entah diskusi, seperti yang ada di Praxis dan LIPS (yang sebenarnya semacam LSM juga), klinik hukum, atau pelatihan.

S: Apakah anda setuju dengan tren sekarang ini bahwa LSM perburuhan dan intelektual-intelektual yang bukan buruh harus tetap berada di luar gerakan buruh agar serikat bisa berdiri sendiri?

MTF: Saya sangat tidak setuju. Menurut pendapat saya, gerakan buruh bukan berarti gerakan serikat buruh, tetapi gerakan semua orang yang ikut berjuang. Contohnya saya sendiri – saya ‘intelektual’ yang bekerja di universitas, tetapi saya juga anggota serikat buruh (National Tertiary Education Union). Apa bedanya kalau saya ikut berjuang (baik sebagai intelektual maupun sebagai anggota gerakan serikat buruh) atau kalau intelektual lain yang ikut berjuang (misalnya Bung Fauzi Abdullah)? Menurut saya, sama saja. Yang penting berpihak.

S: Sepakatkah Anda dengan pernyataan bahwa semua serikat buruh berkarakter gerakan dan setiap LSM tak berideologi dan tak jelas?

MTF: Menurut pendapat saya, ini pernyataan yang tolol. Seperti saya katakan tadi, kita tidak bisa membuat generalisasi. Kita harus melihat karakter organisasi satu demi satu.

S: Apa pelajaran penting yang harus diambil dari pengalaman relasi LSM dan serikat buruh selama ini?

MTF: Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman relasi LSM dan SB selama ini. Yang paling mendasar menurut saya menyangkut masalah kelas dan komposisi gerakan buruh. Perbedaan diantara orang LSM yang mayoritasnya berasal dari kelas menengah dan buruh kerah biru masih jauh di Indonesia dan sulit dijembatani. Tetapi sebenarnya perbedaan yang sama (ataupun lebih jauh lagi) terdapat di antara buruh kerah putih dan buruh kerah biru. Sejarah telah membuktikan bahwa orang kelas menengah sangat berperan dalam gerakan buruh di berbagai negara termasuk Rusia, Eropa Barat, Inggris dan Amerika Serikat.

Wacana tentang gerakan buruh yang berpatokan pada ‘buruh’ dalam arti sempit patut dipertanyakan. Jangan-jangan peninggalan zaman Suharto, yaitu pendefinisian buruh sebagai pekerja kasar di sektor swasta serta konsep SB yang ekonomistis, tetap menjadi patokan untuk gerakan buruh di Indonesia sekarang. Menurut saya, wacana beberapa SB ‘radikal’ tentang LSM perburuhan yang cenderung berdasarkan generalisasi yang enak di mulut itu, justru mendukung lestarinya konsep-konsep Orde Baru yang merupakan halangan besar akan perkembangan gerakan buruh yang kuat.***