Pangan Tergantung Kebijakan?

Mohammed Ikhwan*


DALAM  beberapa dekade, Indonesia terus dilanda krisis pangan. Urusan perut rakyat akhirnya mulai diimpor besar-besaran sejak tahun 1994, saat kita tak mampu lagi memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Saat ini—setelah lebih dari dua dekade—negeri ini masih tetap jatuh di lubang yang sama.

Walau kekurangan pangan kerap mewarnai sejarah, perlu dicatat bahwa pasca 1994 adalah patokan waktu yang sangat signifikan. Pertama, Indonesia telah mencoba untuk meningkatkan produksi pangan dari sektor agraria setelah melangkah ke gerbang emas kemerdekaan. Setelah landreform yang 'tergagalkan' (1960-1965) kondisi kita jelas tidak memungkinkan berkonsentrasi di bidang pangan: karena keadaan ekonomi-politik yang tidak stabil hampir selama 19 tahun. Kedua, swasembada baru dicapai pada tahun 1984 setelah rejim Soeharto berkuasa 18 tahun, itupun tak berlangsung lama. Selanjutnya, era 1990-an sangat menarik untuk dikaji ulang, mengingat kejayaan neoliberalisme yang berlangsung pada saat itu. Deregulasi dilakukan di mana-mana, bersama dengan liberalisasi pertukaran barang dan kemajuan besar dari sektor privat. Hal-hal ini, terutama deregulasi dan liberalisasi, adalah fokus utama yang dianalisis Stiglitz dalam "The Roaring Nineties: A New History of the World's Most Prosperous Decade", (2003).

Kebijakan

Ketiga kredo Konsensus Washington tersebut akhirnya semakin mendominasi kebijakan di Indonesia—terutama pangan—sejak tahun 1990. Kita bisa lihat misalnya, saat Organisasi Perdagangan Dunia, WTO, muncul pada tahun 1994. Selanjutnya utang IMF, Bank Dunia dan ADB pun banyak mendistorsi kebijakan pangan (baca: sektor agraria). Deregulasi di bidang pangan makin deras dengan akses pasar yang makin dibuka, hambatan impor dikurangi, dan subsidi domestik perlahan-lahan dihapus.

Perkembangan nasional pasca-1994 sebenarnya lebih parah dari yang kita bayangkan. Banyak regulasi yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum—dan tentu tak mewujudkan keadilan sosial sebagai salah satu dasar negara. Banyak Undang-Undang (UU) maupun regulasi yang dihasilkan untuk mempermudah kuasa kapital atas sektor pangan. Yang termutakhir adalah UU Pangan (1996), UU Kehutanan (1999), UU Migas (2001), UU Perkebunan (2003), UU Sumber Daya Air (2004), dan UU Penanaman Modal (2007). Diikuti oleh Perpres 36/2005 yang direvisi menjadi Perpres 65/2006, beserta beberapa peraturan menteri yang mengatur pengurangan hambatan impor dan pembukaan akses pasar. Bea impor pernah dihajar habis-habisan hingga 0 persen (1998) untuk komoditas beras dan kedelai, dan komoditas lain dikurangi sampai sekitar 5 persen saja. Kesalahan ini diulangi lagi dengan Perpres Stabilisasi Pangan (2008) yang malah meliberalkan pangan dan pertanian, serta lebih menguntungkan pemilik kapital. Bahkan pada tahun 2007 sudah dibuat RUU Pertanahan, RUU Desa, RUU Lahan Pertanian Abadi yang semakin spasial-sektoral dan akan menggerogoti sektor pangan kita.

Implementasi kebijakan-kebijakan inilah yang berdampak besar pada krisis pangan (dan harga) saat ini. Hal ini memperlihatkan nihilnya state responsibility untuk melaksanakan state obligation kepada rakyatnya. Pangan adalah kebutuhan pokok, dan wajib diatur dalam instrumen kebijakan yang mengutamakan kedaulatan rakyat akan hal tersebut—bukan malah sebaliknya. Agenda neoliberal ini juga disebutkan Gunawan (2006) sebagai silent genocide terhadap rakyat Indonesia, yakni proses capital violence yang dilakukan melalui judicial violence.

Melalui proses ini, akhirnya sektor pangan dikuasai via monopoli atau oligopoli (kartel). Karena pangan dikontrol kapital, maka perusahaan multinasional dan produsen besar yang terus mengeruk untung. Di komoditas beras ada Bulog dan kroni-kroni produsen besarnya, kedelai ada Cargill, unggas ada Charoen Phokpand, gandum dikuasai Indofood dan Eastern Pearl, sawit dan minyak goreng dikuasai Sinar Mas, Astra, Salim, Asian Agri dan Wilmar. Tentunya struktur semacam ini juga eksis hingga ke pemain besar (pedagang, tengkulak) di tingkat propinsi dan kabupaten.

Kedaulatan Pangan

Tentunya memang tidak mungkin hanya kebijakan yang mempengaruhi krisis pangan dan harga pada saat ini. Namun setidaknya, Indonesia sebagai negara agraris memiliki sumber daya dan kekayaan alam yang sangat potensial. Jumlah rakyat pekerja di bidang pertanian adalah sekitar 40 persen dari total angkatan kerja, yang berarti sangat atraktif. Luas lahan yang bisa ditanami juga sangat besar, sekitar 180.817 km persegi. Persoalan mendasar selama ini adalah kurangnya lahan, karena mayoritas petani adalah gurem (kepemilikan kurang dari 0.3 hektar) yang berpengaruh pada produktivitas. Hal lain yang mendasar adalah proses pasca-produksi yang tidak atraktif (harga serta pasar domestk yang monopolistik dan oligopolistik sehingga keuntungan petani tidak ada atau sangat kurang), serta faktor impor yang terus-terusan membunuh petani.

Jadi, tak salah jika kebijakan dituding sebagai faktor terbesar yang mempengaruhi krisis pangan dan harga. Kebijakan pemerintah secara nasional tidak berbasis kerakyatan, sementara pemerintah daerah sibuk berpolitik. Kebijakan pangan yang fondasinya sudah salah, dengan implementasi buruk tentunya makin merugikan rakyat.

Fakta ini merupakan pukulan keras yang membuktikan kebijakan salah kaprah yang berkali-kali terus dipertahankan. Padahal yang dibutuhkan adalah pembenahan struktural, dengan mulai meredistribusi tanah kepada penggarap (landreform), pengaturan produksi hingga harga dan pasar domestik yang menguntungkan, yang mampu menjadi kebijakan yang memicu petani untuk berproduksi. Petani kita adalah pekerja keras, dan pertanian adalah warisan kebudayaan nasional yang luhur. Dengan kondisi harga yang relatif menguntungkan saat ini, tentu bisa menjadi momentum untuk menegakkan kedaulatan pangan. Pemerintah yang berpihak kepada rakyat (yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya), harusnya membuat pangan sebagai sektor yang atraktif, sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

----------------------
*Penulis adalah Ketua / Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI)