Die Linke Merambah Barat Jerman

Saiful Haq

JANUARI 2008 adalah bulan yang menggembirakan bagi Die Linke atau The Left Party. Partai ini adalah partai baru di Jerman yang pada pemilu federal Jerman 2005 lalu langsung menyabet 54 dari 614 kursi di Bundestag (parlemen Jerman). Di awal tahun ini, mereka kembali mengejutkan publik Jerman saat bertarung ke wilayah barat yakni negara bagian Hessen dan Niedersachsen (Lower Saxony) dengan perolehan suara melewati ambang batas minimum 5 persen sebagai tiket ke parlemen.

Lima persen suara yang diraih Die Linke di negara bagian Hessen – yang secara tradisional merupakan basis untuk CDU (partai kristen demokrat) membuat mereka berhak atas enam kursi di parlemen. CDU sendiri yang pada pemilu 2003 mendapatkan suara 48,8 persen mengalami kemunduran drastis sebesar 12 persen. Sementara di negara bagian Lower Saxony, Die Linke berhak atas 11 kursi di parlemen dari perolehan suara 7,1 persen. Lagi-lagi ini adalah peningkatan yang cukup signifikan mengingat pada tahun 2003 (saat masih memakai nama PDS), Die Linke hanya mendapatkan setengah persen suara saja.

Die Linke, Aliansi Kiri Strategis Timur – Barat

Die Linke atau dalam bahasa Inggris berarti The Left, adalah partai kiri yang berdiri pada bulan Juni 2007. Partai ini adalah aliansi politik antara Partei des Demokratischen Sozialismus atau PDS (Partai Demokratik Sosialis) yang merupakan partai berkuasa ketika Republik Demokratik Jerman (DDR) masih berdiri, dengan Wahlgemeinschaft Arbeit und Soziale Gerechtigkeit atau WASG (Aliansi Elektoral untuk Pekerja dan Keadilan Sosial) yang merupakan asosiasi beberapa serikat buruh di bagian barat Jerman.

Perjalanan PDS yang tertatih-tatih, begitu pula kekecewaan WASG kepada PSD (Partai Sosial Demokrat) merupakan ilham lahirnya Die Linke. Pada pemilu perdana di tahun 1990 setelah penyatuan kembali Jerman, PDS hanya mendapatkan suara 2,4 persen, begitupula pada pemilu selanjutnya di tahun 1994. Empat tahun setelahnya PDS sempat meraup 5,1 persen suara di parlemen namun selang empat tahun berikutnya mereka terpaksa hengkang karena perolehan suara yang jatuh hingga 4 persen. Hal ini membuat PDS mengambil kebijakan untuk melonggarkan platform lama berhaluan Marxist Leninis menjadi partai yang lebih terbuka untuk isu-isu seperti demokrasi, militerisme, pendidikan dan kebijakan ekonomi.

Kanselir Jerman Gerhard Schroder, seorang kader SPD yang berhaluan sosial demokrat, pada tahun 2003 meluncurkan paket Legislasi 2010. Paket ini berisi program untuk mengubah jaring pengaman sosial, pengurangan subsidi, privatisasi, serta menghilangkan subsidi pendidikan tinggi yang selama ini gratis di Jerman. Ini menjadi blunder politik bagi SPD. Di tahun itu juga, seratus ribu orang turun ke jalan untuk menolak Agenda Legislasi 2010 ala Schroder. Demonstrasi ini gencar dilakukan kaum buruh, mahasiswa, kelompok sayap kiri dan kaum pengangguran di Jerman. SPD pun kemudian mulai goyah. Dukungan yang kuat dari kelompok buruh pun terpecah. Salah satu pemimpin SPD paling berpengaruh yang juga mantan menteri keuangan federal tahun 1999, Oskar Lafontaine, mengundurkan diri dari SPD dan kemudian membentuk WASG. Sejak pengunduran diri Lafontaine, SPD kehilangan 200.000 pendukungnya sepanjang tahun 2004.

Melalui diskusi yang panjang selama tahun 2005, terlebih setelah kekalahan WASG dan PDS di North Rhine-Westphalia pada pemilu negara bagian itu, maka menjelang pemilu federal 2005, PDS dan WASG menyepakati untuk berkoalisi. Secara mengejutkan, sebanyak 54 kursi di Bundestag mereka dapatkan dari hasil koalisi tersebut. Aliansi ini kembali membawa hasil ketika pada pemilu di Bremen mereka mendapatkan suara 13%, melampaui FDP (Partai Liberal) dan die Grune (Partai Hijau). Kemenangan inilah yang membawa PDS dan WASG mengukuhkan aliansi ini dengan nama baru Die Linke-PDS (LPDS) pada bulan Juni 2007.

Demokratik Sosialis, antara Sosial Demokrat dan Melemahnya Partai Konservatif

SPD sebagai partai yang mengklaim ideologi sosial demokrat ternyata menemui masalah mendasar dalam koalisi di parlemen federal Jerman. Kompromi kebijakan di parlemen kemudian membuat sayap radikal kiri di tubuh SPD merasa tidak diakomodir. Inilah yang kemudian menyebabkan Fontaine mengundurkan diri dan membangun WASG yang beraliran demokratik sosialis. Sementara PDS yang tertatih-tatih dengan Marxist Leninis-nya mencoba melonggarkan klaim ideologinya dengan meredefinisikan konsep class struggle dan marxisme-nya yang mengadopsi konsep-konsep baru seperti kemordekaan dan hak asasi manusia. Penampakan radikal membuat PDS juga sulit masuk ke parlemen federal Jerman. Ini mengingatkan kita pada masa setelah kubu demokratik sosialis split dari Komunis Internasional, yang diikuti dengan splitnya kubu sosial demokrat.

Di Jerman sendiri, kembalinya Die Linke-PDS ke panggung politik nasional merupakan fenomena tersendiri. Banyak yang menyebut Die Linke sebagai partai berhaluan libertarian sosialis, sementara sebagian lain menyebutnya kaum sosial demokrat. Namun platform sosial demokrat telah diklaim SPD, dengan program utama Social Democracy dan Social Economy Market. Menariknya, penampilan SPD di parlemen justru semakin mengarah kepada kompromi terhadap sistem ekonomi pasar liberal dan demokrasi liberal. Momentum inilah yang dipakai oleh die Linke untuk maju mempromosikan demokratik sosialisme, platform anti kapitalisme, anti privatisasi dan pendidikan gratis serta menaikkan pajak penghasilan untuk orang-orang kaya Jerman.

Sambutan publik sendiri bisa dikatakan cukup baik. Hal ini tidak lepas dari kegelisahan kaum muda dan publik Jerman terhadap pencabutan kebijakan pendidikan tinggi gratis bagi masyarakat, begitu pula pengurangan belanja sosial di anggaran nasional. Belum lagi masalah pengangguran yang sekarang membelit bagian timur Jerman yang menyebabkan migrasi besar-besaran dari timur ke barat.

Duet maut Shroder yang berpengalaman dalam membangun kembali SPD pasca perang dunia kedua, serta Gregor Gysi, seorang intelektual Jerman ternama dari PDS adalah kunci keberhasilan Die Linke-PDS. Mereka berhasil menjaga dukungan publik eks DDR di timur yang merasakan dampak kesulitan ekonomi setelah penyatuan Jerman.


Konsistensi Die Linke sebagai oposisi kecil di parlemen dipakai untuk kampanye kepada publik. Die Linke sangat konsisten dalam memperjuangkan pendidikan gratis dan reformasi pajak. Selain itu 50 persen pimpinan partai dijabat oleh perempuan yang menunjukkan secara konsisten komitmen Die Linke pada keterwakilan perempuan.

Sementara itu CDU (partai kristen demokrat) mulai mengendor. Basis CDU banyak dicuri oleh SPD (sosial demokrat). CDU semakin lama banyak menerima kritik, terutama yang berkaitan dengan isu imigran asing dan beberapa program mereka yang berbau nasionalis, dimana program ini sepintas mirip dengan beberapa program NPD (nasionalis) yang dilarang ikut pemilu karena merupakan sisa peninggalan NAZI. Kemunduran ini dimanfaatkan dengan baik oleh SPD dan die Linke. Tidak seperti partai kiri lainnya, die Linke dengan terbuka menyatakan dukungan dan berpartisipasi aktif dalam isu regionalisasi Uni Eropa. Komitmen mereka dalam mendukung UE ditegaskan sebagai upaya jaring pengaman sosial untuk masyarakat eropa, mendukung segala upaya menentang bentuk militerisme di eropa serta mendukung UE dalam usaha reformasi PBB.

Basis utama die Linke adalah kaum buruh dan pemuda serta masyarakat miskin. Di Jerman kaum buruh banyak yang memilih pada posisi independen. Hal ini menyebabkan partai-partai di Jerman yang berbeda ideologi tapi memiliki kemiripan program politik banyak mendapatkan dukungan kaum buruh. Perpindahan suara buruh yang dulunya merapat dari CDU ke SPD, kini mengalami perubahan. Setelah kurang puas dengan kebijakan SPD, mereka kemudian melirik die Linke sebagai partai alternatif. Pada pemilu di Hessen misalnya, organisasi buruh Nokia yang tadinya merapat ke SPD kini memindahkan dukungan politiknya ke die Linke. Begitupun dengan kelompok perempuan yang tadinya merapat ke die Grune (partai hijau) kini mulai melirik konsistensi die Linke dalam memperjuangkan kaum perempuan.

Die Linke punya masa depan yang cerah, namun salah satu kendala terbesar adalah penampakan yang terlalu radikal. Ketakutan akan kembalinya ultra nasionalisme merupakan isu yang bisa saja menjatuhkan die Linke di masa mendatang. Die Linke sedikit tertolong dengan ambang batas minimum 5% untuk masuk ke parlemen, namun pengalaman PDS pada tahun 2002 setidaknya mengajarkan die Linke untuk berhati-hati agar tidak ditendang keluar dari gedung parlemen.

Satu hal yang menarik, ternyata ambang batas 5 persen dalam sistem pemilu Jerman memungkinkan keluarnya ide-ide politik baru, energi politik yang baru dan tentu saja harapan-harapan baru yang bisa muncul di Jerman. Jika melihat ambang batas 15 persen suara minimum pada sistem pemilu Indoenesia, memikirkannya saja sudah membuat putus asa, bagaimana mau melihat harapan baru yang akan muncul? Jawabannya adalah tarikan nafas yang panjang entah berpikir atau putus asa.