Upah Minimum dan Pembangunan Manusia

Indrasari Tjandraningsih

PERSENTASE rata-rata kenaikan UMP (Upah Minimum Provinsi) bukan 10.28% tetapi 11.45%. Pengusaha mengaku makin menjerit dengan kenaikan upah itu. Kontan, Rabu 28 November 2007

Bulan November adalah bulan kala energi serikat pemerintah dan pengusaha, dikerahkan untuk berunding guna menetapkan besarnya kenaikan upah minimum. Karena upah merupakan kebutuhan dasar bagi buruh dan menentukan kesejahteraannya, tentu buruh akan meminta kenaikan yang signifikan. Sebaliknya, bagi pengusaha, karena upah merupakan bagian biaya produksi yang harus dikeluarkan maka kenaikannya diusahakan tidak terlalu signifikan.
Persoalan kenaikan upah minimum (UM), selalu merupakan isu sensitif bagi para pihak yang terkait. Upah minimum sangat sering menjadi ganjalan dan mewarnai dinamika hubungan industrial di Indonesia. Dalam arus besar penciptaan iklim investasi yang bersahabat bagi dunia usaha, kenaikan UM setiap tahun dianggap sebagai penghambat masuknya investasi. Bagi dunia usaha, upah yang naik setiap tahun, dianggap tidak strategis, mengurangi kepastian usaha serta melemahkan daya saing. Argumen terakhir ini sering disandingkan dengan negara-negara pesaing Indonesia seperti Kamboja dan Vietnam, yang menaikkan upah secara berkala setidaknya setiap 2 atau 3 tahun sekali.

Berbagai studi yang dilakukan lembaga-lembaga ekonomi prestisius di dalam maupun di luar negeri, yang berkepentingan terhadap masuknya investasi asing, selalu meletakkan masalah upah dan masalah perburuhan secara umum dalam deretan faktor-faktor penghambat investasi. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa daftar penghambat investasi yang selalu muncul dalam urutan pertama adalah masalah yang berkaitan dengan kepemerintahan, dalam hal ini, korupsi dan kepastian hukum.

Ketika pengusaha menjerit karena kenaikan upah minimum, jeritan itu seperti menegaskan demikian seriusnya masalah upah. Jauh lebih serius dibanding persoalan-persoalan penghambat investasi utama lainnya. Tetapi, jeritan itu juga bisa diartikan betapa tak berdayanya pengusaha dalam menghadapi pemerintah dan aparatnya dan memilih menghadapi buruh. Bukti-bukti anekdotal tentang hal ini sudah banyak ditemukan, ketika pengusaha nasional maupun asing menyatakan bahwa sesungguhnya upah buruh di Indonesia masih bisa dinaikkan lebih dari upah minimum. Dengan catatan, berbagai beban biaya yang tidak relevan dengan usaha dapat dihilangkan. jika biaya yang tidak relevan itu tak dapat dikurangi, maka jalan termudah yang diambil adalah mengutik biaya buruh.

Bukti yang lebih sistematis ditemukan melalui penelitian AKATIGA baru-baru ini terhadap pengusaha tekstil dan garmen di Bandung. Hasil survei memperlihatkan, hambatan usaha terbesar adalah tingginya biaya pungutan pemerintah, legal maupun ilegal yang mencapai 9.3 persen dari total biaya produksi. Survei ini juga menunjukkan, makin kecil perusahaan makin tinggi besarnya pungutan yang harus dibayar. Pungutan-pungutan tersebut tidak dapat dihindari karena pilihannya hanya hidup atau mati. Artinya, bila pungutan tak dilayani kegiatan usaha justru akan terganggu karena akan muncul hambatan yang berasal dari dipersulitnya berbagai perijinan yang diperlukan.

Menghadapi situasi itu dan demi menjaga kelangsungan usaha, hal yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan penyesuaian-penyesuaian di komponen biaya buruh. Dua cara terpopuler yang dilakukan adalah rasionalisasi tenaga kerja dan menunda pembayaran upah minimum secara legal maupun ilegal. Dan itulah yang terjadi.

Situasi tersebut menunjukkan, kesejahteraan buruh belum atau tidak dianggap sebagai faktor penting untuk mendorong daya saing dalam kompetisi global. Besaran nilai UM yang belum mencapai besaran nilai kebutuhan hidup layak menunjukkan, buruh di Indonesia masih hidup dalam taraf subsisten dan kebutuhan reproduksi tenaga kerja untuk menghasilkan produktivitas kerja masih akan sangat terbatas. Lebih jauh, besaran UM dan berbagai cara untuk menekan biaya upah, juga mencerminkan sikap pengabaian terhadap penghargaan sumber daya manusia.

Kondisi ini kian menegaskan, bahwa sumber daya manusia dan investasi terhadapnya bukan prioritas dalam pembangunan. Ini menjelaskan, mengapa Indonesia makin tertinggal dari negara-negara lain hampir di semua lini. Dalam Indeks Pembangunan Manusia yang diluncurkan baru-baru ini, Indonesia menempati peringkat 107 jauh di bawah Singapura yang berada di urutan 25, Brunei 30, Malaysia 78, Thailand 78, Filipina 90 (lihat di sini)

Pada akhirnya, masalah UM tidak sesederhana soal besarnya prosentase kenaikannya setiap tahun. Hal yang lebih mendasar, bagaimana buruh secara khusus dan sumber daya manusia secara umum, dipandang dalam proses produksi dan bagaimana ia diletakkan dalam keseluruhan strategi pembangunan yang diambil pemerintah Indonesia.***