Andreas Iswinarto
VANDHANA Shiva, seorang penulis-aktivis India terkemuka, pernah menyatakan “dengan menolak menandatangani Protokol Kyoto, Presiden Amerika Serikat George Bush, telah melakukan tindak terorisme ekologis pada sejumlah besar komunitas yang barangkali akan lenyap dari muka bumi karena pemanasan global. Sedangkan di Seattle, WTO dijuluki World Terrorist Organisations (Organisasi Teroris Dunia) oleh para demostran, sebab kebijakannya yang menyangkal hak kelangsungan hidup jutaan orang.”
Mempertahankan ‘gaya hidup’ Amerika lah yang menjadi dasar Presiden Bush dan juga pemerintahan Australia, untuk tetap bebal menolak menandatangi Protokol Kyoto. Protokol Kyoto sendiri adalah tindak lanjut dari Konvensi Perubahan Iklim, yang menetapkan target penurunan emisi sebesar 5 persen untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca. Mempertahankan ‘gaya hidup’ ini jugalah, yang menyebabkan rendahnya komitmen negara-negara maju untuk memecahkan persoalan genting ini.
Sesungguhnya di balik ‘gaya hidup’ Amerika ini, tersembunyi ketamakan dan keserakahan. Mahatma Gandhi memperingatkan “Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang tamak”.
Pemanasan Global Ancaman Bagi Perdamaian Dunia
Namun sebuah pukulan martil dihantamkan di dinding kebekuan ini oleh Panitia Nobel Swedia. Di tengah semakin menguatnya fakta-fakta perubahan iklim yang menyebabkan munculnya bencana ekologi di berbagai belahan dunia, Al Gore (mantan wakil presiden AS yang kini alih profesi sebagai pejuang lingkungan hidup) bersama dengan Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC (Panel Antar Negara untuk Perubahan Iklim) Perserikatan Bangsa-bangsa, dianugerahi penghargaan nobel perdamaian.
Penghargaan ini merupakan pengakuan atas kredibilitas IPCC yang menghimpun 2500 pakar dan peneliti dari 130 negara, berhadap-hadapan dengan berbagai lembaga kajian tandingan yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan Transnasional, terutama perusahaan perminyakan
Raksasa, untuk mematahkan temuan-temuan dan prediksi ilmiah di seputar isu perubahan iklim.
Di antaranya, Intergovernmental Panel on Climate Change Working menyatakan, tanpa ada upaya global mengurangi emisi diperkirakan 75-250 juta penduduk di berbagai wilayah benua Afrika akan menghadapi kelangkaan pasokan air pada tahun 2020. Sementara itu, kelaparan akan meluas di Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Sementara itu area pertanian akan mendapatkan hujan separuhnya di Afrika hingga 2020.
Khusus untuk Indonesia, IPCC menyebutkan akan menghadapi resiko besar akibat pemanasan global. Dimana pada tahun 2030, diprediksi akan terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 8-29 cm dari saat ini. Bila benar, Indonesia dikhawatirkan akan kehilangan sekitar 2000 pulau-pulau kecil. Penduduk Jakarta dan kota-kota di pesisir, akan kekurangan air bersih. Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yan kian tajam. Akibatnya, banjir akan sering terjadi, sekaligus kekeringan yang mencekik kehidupan.
Sementara terpilihnya Al Gore memberikan ujian baginya untuk membayar kemandulannya saat memegang jabatan wakil presiden Amerika Serikat. Sekaligus untuk menjadi martil bagi Gedung Putih (pemerintah Amerika Serikat) yang hingga kini menolak menandatangani Protokol Kyoto.
Nobel Perdamaian ini juga menegaskan bahwa perubahan iklim adalah ancaman besar bagi terwujudnya dunia yang damai. Negara-negara utara adalah negara-negara yang paling rakus mengkonsumsi energi, dan Amerika Serikat adalah yang terdepan dalam barisan itu.
Coba lihat. Penduduk Amerika, Kanada, dan Eropa yang hanya 20,1 persen dari total warga dunia mengkonsumsi 59,1 persen energi dunia sedangkan, warga Afrika dan Amerika Latin yang 21,4 persen dari populasi dunia hanya mengkonsumsi 10,3 persen.
Data 1990 menunjukkan, total emisi gas rumah kaca mencapai 13,7 Gt (gigaton), yang secara berturut-turut disumbang Amerika (36,1 persen), Rusia (17,4 persen), Jepang (8,5 persen), Jerman (7,4 persen), Inggris (4,2 persen), Kanada (3,3 persen), Italia (3,1 persen), Polandia (3 persen), Prancis (2,7 persen), dan Australia (2,1 persen)
Pesta Pora Para Serigala
Saat menerima penghargaan nobel perdamaian Al Gore menyatakan, kita menghadapi kedaruratan yang sangat serius. Ironisnya, Gore menyangkal krisis iklim sebagai isu politik yang paling genting saat ini. Ia lebih memandangnya sebagai tantangan spiritual untuk kemanusiaan. Nampaknya Gore ragu-ragu untuk mengakui fakta bahwa persoalan krisis iklim global adalah soal politik yang penyelesaiannya harus dilakukan di arena politik, di dalam pertarungan politik yang keras.
Lebih tegas, ini adalah soal ekonomi politik. Ini adalah soal penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Ini adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya (ekternalitas’ di antaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan). Ini adalah soal tatanan ekonomi yang tidak adil. Tatanan ekonomi dimana ketamakan adalah keutamaan, tatanan ekonomi dimana akumulasi kekayaan segelintir orang dicapai melalui penghisapan dan kesengsaraan mayoritas lainnya. Inilah sistem ekonomi yang sedang mendominasi panggung global hari ini bahkan, sejak jaman kolonialisme dan imperialisme klasik.
Hari ini sistim ini bernama Kapitalisme Neoliberal. Inilah sistem ekonomi, dan kelembagaan ekonomi politik yang bertumpu pada akumulasi modal tanpa batas. Sebuah sistem kepemerintahan nasional dan global yang dikendalikan oleh pasar.
Ini adalah HUKUM RIMBA. Ini adalah PESTA PORA PARA SERIGALA. Negara-negara selatan dan miskin dengan segala kekayaan alamnya dan mayoritas rakyatnya, adalah SANTAPANNYA. PESTA PORA PARA SERIGALA INI, tidak saja meninggalkan kemiskinan yang parah di kalangan mayoritas rakyat, utamanya di negara-negara selatan. Tetapi, juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah di tingkat lokal dan regional. Dan pada puncaknya, kini seluruh bumi dan peradabannya harus menghadapi ancaman bencana ekologi yang maha dasyat akibat perubahan iklim.
Negara-negara Maju/Utara, terutama Amerika Serikat, adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas pemanasan global. Sikap keras kepala untuk mempertahankan gaya hidup yang konsumtif, mewah dan boros adalah sebuah tindakan pengingkaran terhadap tanggung jawab tersebut. Bahwa kemakmuran yang mereka nikmati hari adalah hasil dari penghisapan dan pengerukan kekayaan alam negara-negara selatan sejak masa kolonialisme dan imperialisme klasik yang terus berlanjut hingga kini.
Sesungguhnya, merekalah yang berhutang kepada negara-negara Selatan. Yakni, hutang sosial dan ekologis yang diakumulasi negara-negara industri karena perampasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, pemiskinan rakyat, dan pemakaian ruang alam untuk menimbun limbah berbahaya di antaranya, gas-gas efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global.
Bentuk-bentuk pengingkaran ini di antaranya dilakukan dengan membuat kajian-kajian yang melemahkan dan menyangkal laporan-laporan ilmiah seperti yang dikeluarkan oleh IPCC, baik yang disponsori oleh korporasi trans/multinasional maupun oleh aktor-aktor di dalam pemerintahan. Pengingkaran-pengingkaran ini dilakukan juga melalui pemaksaan mekanisme-mekanisme perdagangan melalui WTO yang mensubordinasikan otoritas Perserikatan Bangsa-bangsa, serta ekspor teknologi kotor ke negara-negara selatan.
Pengingkaran-pengingkaran ini juga dilakukan dengan memberikan keleluasaan dan perlindungan kepada korporasi-korporasi trans/multinasional untuk menjalankan bisnisnya. Kini kekuasaan Korporasi Global telah menyaingi kekuasan ekonomi-ekonomi negara-negara.
Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 di antaranya adalah Korporasi Global. Oleh karena itu tanggung jawab dan regulasi juga harus dilekatkan kepada korporasi-korporasi ini.
Politik pengingkaran ini berlanjut dengan mengkambing hitamkan negara-negara industri baru seperti Cina, India, Meksiko, Brazil, sebagai penyebab utama pemanasan global. Politik kambing hitam ini juga ditujukan kepada negara-negara seperti Indonesia, yang belum lama ini dianugerahi gelar emitor ke-3 tertinggi emisi gas rumah kaca karena kebakaran lahan dan hutan. Politik kambing hitam ini juga bisa dilihat dengan mengalihkan tanggungjawab mereka untuk mengurangi emisi di negaranya dengan bantuan untuk penghutanan di negara berkembang atau melalui mekanisme perdagangan karbon.
Pada akhirnya alih-alih mengakui hutang ekologis, mereka menggunakan instrumen hutang luar negri dan investasi asing untuk melakukan kontrol, serta penaklukan terhadap kedaulatan ekonomi negara-negara selatan.
Mereka menafikan bahwa kucuran dana baik hutang luar negeri maupun kredit ekspor mereka ikut andil dalam mengkronstruksi ekonomi yang eksploitatif dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Termasuk di antaranya sistim bioful estate, industri pembangkit listrik tenaga nuklir, dan rekayasa genetik.
Jerat hutang luar negeri inilah yang akhirnya menjadikan penguasa di negara-negara berkembang, (m)BEBEK saja kepada kepentingan negara-negara utara. Di samping tentunya, mental untuk mengejar rente ekonomi yang menjanjikan dari proyek-proyek hutan dan proyek ‘perubahan’ iklim, yang tidak memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat yang hidupnya bertumpu pada hutan.
Begitulah, rezim yang kini berkuasa di negeri adalah juga undangan VVIP dan sekaligus tuan rumah pesta pora ini.***
Andreas Iswinarto, Sekjen Sarekat Hijau Indonesia.
Jerat hutang luar negeri inilah yang akhirnya menjadikan penguasa di negara-negara berkembang, (m)BEBEK saja kepada kepentingan negara-negara utara. Di samping tentunya, mental untuk mengejar rente ekonomi yang menjanjikan dari proyek-proyek hutan dan proyek ‘perubahan’ iklim, yang tidak memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat yang hidupnya bertumpu pada hutan.
Begitulah, rezim yang kini berkuasa di negeri adalah juga undangan VVIP dan sekaligus tuan rumah pesta pora ini.***
Andreas Iswinarto, Sekjen Sarekat Hijau Indonesia.