Kiri Baru di Cina

Coen Husain Pontoh


DUA pekan menjelang Kongres ke-17 Partai Komunis Cina, pada 15 Oktober 2007, pemerintah Cina menekan penerbit Jurnal pemikiran bergengsi Dushu (Readings), untuk tidak lagi menerbitkan jurnal tersebut.

Dushu adalah jurnal yang diasuh oleh Wang Hui, salah seorang yang dikenal sebagai tokoh aliran Kiri Baru (New Left) di Cina. Terbit pertama kali pada April 1979, di bawah Hui, Dushu muncul membahas beragam tema pemikiran seperti, filsafat Barat, teori sosial, dan pemikiran ekonomi. Nama-nama seperti Nietzsche, Heidegger, Cassirerr, Marcuse, Sartre, dan Freud, ramai dibincangkan. Tetapi, menariknya, Dushu tidak membahas tema seperti teori modernisasi atau ekonomi mazhab neo-klasik.
Tetapi, tulisan ini tidak akan mendiskusikan soal Dushu. Saya mau mengajak pembaca untuk berkenalan dengan gerakan Kiri Baru di Cina, saat ini.

Berbicara tentang Kiri Baru di Cina, mengandung banyak ironi. Istilah kiri itu sendiri adalah sesuatu yang nista. Bermula dari reformasi ekonomi yang dicanangkan Deng sejak akhir 1978, dan makin terkonsolidasikannya kekuatan faksi Deng, istilah kiri merupakan label yang dipancangkan pada era kegelapan sosialisme Cina di bawah Mao Zedong. Terutama, yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu seperti, lompatan jauh ke depan (great leap forward), revolusi kebudayaan (cultural revolution), dan kolektivisme (collectivism). Label Kiri di masa ini, disebut sebagai Kiri Lama.

Selain itu, istilah Kiri Baru tidak pertama-tama digunakan oleh Wang Hui atau Cui Zhi Yuan. Istilah ini justru pertama kali digunakan oleh lawan polemik mereka. Tujuannya untuk mendiskreditkan. Dengan menyebut Kiri Baru, dimaksudkan agar memori orang langsung terhubung dengan Kiri lama era Mao. Dan itu berarti, diskusi lebih lanjut tak ada gunanya.

Tetapi, makin lama cap Kiri Baru makin menjadi penanda bagi sebuah gerakan pemikiran yang menentang jalan reformasi ekonomi yang ditempuh Cina. Dan sebagai sebuah gerakan, Kiri Baru adalah koalisi longgar di antara beberapa intelektual yang berbasis di Beijing.

Suara Kiri Baru ini makin vokal dan menonjol, terutama setelah safari bersejarah Deng Xiaoping ke provinsi Senzhen pada 1992, yang mengukuhkan diadopsinya jalan Kapitalisme. Pengukuhan yang kemudian dipertegas oleh pewaris kekuasaan Deng, menyebabkan ekonomi negeri itu bertumbuh sangat pesat. Pertumbuhan pesat yang segera diikuti oleh pembelahan sosial yang sangat tajam dan merajalelanya korupsi, nepotisme, dan kerusakan lingkungan.

Bagi Kiri Baru, dampak buruk pertumbuhan itu adalah buah yang jatuh dari pohon reformasi ekonomi itu sendiri. Berangkat dari tesis ini, tujuan utama dari Kiri Baru, menurut Wang Hui adalah “to deconstruct the illusion of neo-liberalism in China.”


Diagnosa ini tentu saja merupakan antitesa dari diagnosa kalangan liberal yang melihat berbagai masalah sosial tersebut sebagai akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar dan kompetisi bebas secara penuh. Sehingga obat yang disuguhkan pun adalah “to expel political power from the market by deepening economic reform and by initiating political reform.”

Dengan semakin memburuknya masalah sosial dan lingkungan di Cina, suara Kiri Baru semakin mendapatkan tempatnya. Sebagaimana dikemukakan professor Wang Shaoquang dari Chinese University di Hongkong, jika enam atau tujuh tahun lalu universitas di Cina, hampir semuanya didominasi oleh kaum liberal, kini tidak lagi. Sebabnya, masyarakat telah berubah, ujar Wang lebih lanjut.

Kritik

Kritik utama kalangan Kiri Baru bisa ditarik dari rumusan singkat Wang Hui,

“…that globalization is not a neutral word describing a natural process. It is part of the growth of western capitalism, from the days of colonialism and imperialism.”

…..bahwa globalisasi bukanlah sebuah kata yang netral dalam menjelaskan sebuah proses yang bersifat alamiah. Ia adalah bagian dari pertumbuhan kapitalisme barat, sejak masa kolonialisme dan imperialisme.
Secara tematik, kritik Kiri Baru ini bisa diperas ke dalam beberapa tema:

Pertama, menolak ortodoksi ekonomi neoliberal. Saat ini, di lembaga-lembaga perguruan tinggi, komunitas bisnis dan media-media keuangan yang memiliki otonomi besar dari media-media cetak milik pemerintah Cina, paham ekonomi neoklasik menempati posisi arus utama. Dengan demikian, teori ekonomi neoklasik menjadi pilar utama dalam menopang gerak maju reformasi, dengan menyediakan fakta-fakta ilmiah sebagai pendukungnya.

Para anggota Kiri Baru seperti Yang Fan, Zuo Dapei, atau Han De Giang, aktif berkampanye melawan hegemoni aliran neoklasik dan neoliberalisme secara umum. Walaupun demikian, mereka hanya memiliki secuil kesepakatan mengenai teori apa yang seharusnya menggantikan posisi teori ekonomi neoklasik. Yang jelas, sebagian besar dari anggota Kiri Baru ini memiliki hubungan yang kompleks dengan teori Marxis dan tidak mengadvokasikannya untuk menjadi sebuah ortodoksi baru. Walaupun begitu, koalisi antara Kiri Baru dengan mereka yang mendaku sebagai Marxis, secara umum terus berkembang.

Kedua, Kritisisme atas pemindahan besar-besaran aset-aset negara ke tangan swasta. Seperti diketahui, pada tahun 1978, hampir seluruh aset-aset ekonomi Cina dikuasai oleh negara. Kondisi ini memungkinkan pemerintah Cina di bawah Mao, sanggup menciptakan struktur masyarakat yang egaliter sepanjang ribuan tahun sejarah Cina. Tapi kini, terutama setelah pertengahan 1990-an, sebagian besar aset-aset itu telah berpindah ke tangan swasta. Kondisi baru ini menjadikan struktur masyarakat Cina saat ini merupakan salah satu yang paling timpang di dunia.

Struktur ketimpangan yang terus memburuk ini, dengan tepat digambarkan oleh professor Wang Shaoguang,

“The early economic reform, were a positive-sum game, but by the late 1990, economic reform had become a zero-sum game.”

Pada awal reformasi ekonomi, situasinya adalah saling menguntungkan, tapi pada akhir 1990an, reformasi ekonomi telah melahirkan situasi yang saling mematikan.
Ketiga, Menentang konsesi-konsesi yang diberikan Cina sebagai angggota WTO. Bagi pemerintah Cina, menjadi anggota WTO dianggap akan memberikan keuntungan bagi percepatan dan keberlanjutan proses reformasi ekonomi. Tapi di mata Kiri Baru, keanggotaan Cina di WTO hanya merupakan strategi dari kalangan birokrasi dan kelas komprador, untuk memperkuat posisinya dalam struktur masyarakat Cina yang sangat timpang. Salah satu argumen spesifik Kiri Baru, adalah berkaitan dengan perlindungan dan pendewasaan “industri baru” di Cina. Jika pintu investasi asing dibuka lebar, demikian Kiri Baru, maka industri baru di Cina hanya memiliki sedikit pilihan: berkolaborasi dengan perusahaan asing atau jatuh tersungkur. Di samping itu, kebijakan pintu terbuka akan menyebabkan perkembangan teknologi canggih menjadi sangat sulit.

Keempat, Memikirkan kembali sejarah Cina kontemporer. Sejak reformasi digulirkan, rejim Deng melakukan evaluasi besar-besaran terhadap Sejarah Cina pasca 1949. Hasil evaluasi itu menyimpulkan, telah terjadi penyimpangan terhadap penerapan sosialisme berkarakter Cina. Akibatnya, Cina mengalami kemunduran serius di berbagai segi dan dalam beberapa kasus seperti, lompatan jauh ke depan, revolusi kebudayaan, dan sistem komune, menyebabkan horor kemanusiaan luar biasa.

Terhadap interpretasi sejarah pasca 1949 ini, Kiri Baru beranggapan justru di bawah Mao, standar kehidupan rakyat Cina meningkat, angka buta huruf menurun, dan tingkat kematian dini berhasil ditekan. Pertumbuhan ekonomi pun berlangsung cepat. Bahkan, beberapa dari aktivis Kiri Baru menilai pertumbuhan tinggi yang terjadi saat ini dasar-dasarnya telah dibangun pada era Mao. Lebih dari itu, menurut kalangan ini, masalah sosial kronis yang mendera Cina saat ini, solusinya adalah menerapkan kembali inovasi-inovasi organisasi dan kelembagaan yang diciptakan Mao seperti, sistem komune pedesaan, sistem pelayanan kesehatan umum, serta “the Angang Constitution” (yakni, serangkaian prinsip-prinsip manajemen yang diadopsi pada 1960, yang memberikan kesempatan besar pada buruh untuk berpartisipasi dalam manajemen).

Namun demikian, satu hal yang menjadi titik kritis bagi Kiri Baru ketika mengadvokasi era pasca 1949, adalah masalah Revolusi Kebudayaan. Para aktivis Kiri Baru mempunyai beragam tafsir mengenai isu ini. Sebagian menolak dikaitkan dengan isu tersebut, mengingat dampak negatif dari perilaku aparat Red Guard. Sebagian lain mengatakan, Revolusi Kebudayaan itu merupakan antisipasi Mao atas perilaku kader-kader tinggi partai, yang mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai pengikut jalan kapitalis. Bagi kalangan ini, apa yang kini terjadi di Cina merupakan bukti dari kebenaran tesis Mao, sekaligus kegagalan proyek Revolusi Kebudayaan.

Preskripsi

“We have to find an alternate way. This is the great mission of our generation,” ujar Wang Hui.

Mencari jalan alternatif dimaksud mengindikasikan dua hal:

Pertama, hingga kini belum ada satu solusi konkret dan berlaku sebagai model, yang ditawarkan oleh Kiri Baru. Kedua, dengan pernyataan itu, Kiri Baru tidak ingin memutar balik sejarah Cina kembali ke masa pasca 1949.

Kembali mengutip Wang Hui, “Cina terjebak dalam dua ekstrim: penyimpangan sosialisme dan kroni kapitalisme dimana, keduanya menyebabkan Cian terperosok dalam penderitaan.”

Walau demikian, Kiri Baru mengajukan beberapa prinsip sebagai pemandu. Pertama, secara politik Kiri Baru mempromosikan demokrasi substantif. Bagi mereka, demokrasi prosedural yang dipromosikan kalangan liberal jauh dari memadai. Demokrasi substantif dimaksud adalah distribusi kekayaan secara demokratis (democratic distribution of wealth), atau distribusi kekuasaan sosial secara demokratis (democratic distribution of social power).

Kedua, dalam bidang kebijakan, Kiri Baru merekomendasikan agar fokus pembangunan diarahkan pada yang mereka sebut San Nong atau Tiga Nong: Nong Min (petani), Nong Ye (pertanian), dan Nong Cun (komunitas pedesaan). Rekomendasi ini didasarkan pada fakta bahwa petani Cina, yang berjumlah sekitar 786 juta atau 70 persen dari populasi, hanya memperoleh 39 persen dari konsumsi domestik, dan hanya 19 persen darinya yang memiliki rekening pribadi. Sementara itu, lebih dari 50 juta penduduk hidup dalam garis kemiskinan atau bahkan berada di bawah rata-rata pendapatan tahunan pedesaan sebesar $355,-

Dengan fokus pada San Nong, demikian Cui Zhi Yuan, maka garis pembangunan Cina diubah menjadi transisi dari ekonomi yang berbasis pada investasi asing langsung ke ekonomi yang berbasis pertumbuhan organik dan didorong oleh investasi domestik. Perubahan ini dipercaya akan meningkatkan upah lokal dan standar hidup rakyat pedesaan Cina.***

Kepustakaan.

Enoch Caudwell, “China’s New Left,” http://www.chinastudygroup.org

Pankaj Mishra, “China’s New Left call for social alternative,” http://www.iht.com

Jehangir S. Pocha, “Letter From Beijing: China’s New Left,” http://www.thenation.com

Leslie Hook, “The Rise of China’s New Left,” Far Eastern Economic Review,” April 2007.