Martin Manurung
Dalam Rapat Kerja dengan Anggota Panitia Ad Hoc II dan IV Dewan Perwakilan Daerah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi 2007 diperkirakan sebesar 6,2 persen, atau meleset dari target pemerintah dalam APBN-P 2007 yaitu 6,3 persen.
Bagi masyarakat awam, selisih 0,1 persen itu mungkin tak menarik perhatian. Akan tetapi, bila dilihat dari dampak perubahan pertumbuhan ekonomi terhadap perekonomian, angka 0,1 persen itu membawa akibat yang cukup memprihatinkan.
Dari sisi ketenagakerjaan, hal itu berarti ada sekitar seratus ribu orang pada angkatan kerja baru yang akan bergabung dengan sekitar 40 juta penganggur yang ada saat ini. Hal itu, belum lagi ditambah dengan 22.120 orang yang kehilangan pekerjaan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai dengan triwulan III 2007.
Belum lagi bila dibandingkan dengan inflasi yang masih berada di kisaran 6,4 sampai 6,5 persen. Artinya, pertambahan pendapatan masih belum dapat mengimbangi laju kenaikan harga-harga. Akibatnya, terjadi penurunan nilai riil dari pendapatan yang kita terima. Contohnya, bila anda menerima gaji satu juta rupiah perbulan, maka semakin sedikit pilihan yang dapat anda beli dengan nilai tersebut.
Melesetnya target itu sebenarnya telah dapat diperkirakan. APBN-P 2007 dan juga APBN 2008 disusun dengan target yang terlalu optimistis. Misalnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar sepuluh persen justru ditengah kemandekan sektor riil yang saat ini terjadi. Seharusnya, apabila pemerintah berani menargetkan pertumbuhan investasi sebesar tersebut, maka pemerintah harus melakukan banyak langkah terobosan dalam penciptaan pasar (market creation), pengaturan pasar (market regulation) dan stabilisasi pasar (market stabilisation).
Namun demikian, apa yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa target pertumbuhan investasi itu hanya sebatas jargon dan bahkan pemerintah cenderung melulu mengandalkan ‘mekanisme pasar’ untuk mengundang investasi. Akibatnya, alih-alih investasi baru masuk, justru industri yang telah ada harus gulung tikar atau angkat kaki mencari rente yang lebih besar ke negeri lain.
Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menunjukkan bahwa pada tahun ini, jumlah rata-rata orang yang terkena PHK pada tiap kasus meningkat dari tujuh orang perkasus pada tahun lalu, menjadi 351 orang perkasus di tahun ini.
Hal itu bermakna terjadi peningkatan kasus PHK massal. Jenis PHK ini umumnya terjadi karena beberapa hal, antara lain penutupan perusahaan, kerugian selama sedikitnya dua tahun berturut-turut, dan upaya efisiensi. Artinya, sektor industri secara umum bukan hanya belum ‘pulih’ dari keterpurukan, melainkan masih mengalami gejala penurunan (sunset).
Pertanyaannya, setelah sepuluh tahun krisis ekonomi, apakah pemerintah menyadari bahwa kita tengah mengalami perangkap pertumbuhan rendah? Perangkap itu disebabkan hilangnya output secara permanen akibat ambruknya suatu perekonomian.
Kita tak akan pernah keluar dari perangkap pertumbuhan rendah apabila kebijakan ekonomi yang dijalankan masih business as usual. Bila ingin tahu seperti apakah tabiat business as usual itu, tengoklah film Titanic yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet. Digambarkan dalam film itu bahwa ketika kapal raksasa itu akan tenggelam, Captain Smith memerintahkan para pemusik tetap beraksi ditengah hiruk pikuk penumpang menuju sekoci agar seakan-akan sedang tak terjadi apa-apa.
Laksana Captain Smith, rejim pemerintahan saat ini pun melontarkan berbagai target dan pernyataan yang bombastis untuk sekadar mendongkrak citra dan membuai rakyat dengan berbagai bualan seakan-akan kita berada pada jalur yang benar (on the right track).
Tabiat ini harus segera dihentikan. Kapal Titanic boleh tenggelam, akan tetapi negeri ini harus segera diselamatkan.