Militer dalam Suprastruktur Ideologi (Bag. 1 dari 2)

Willy Aditya

BUBARNYA  kekuatan Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin menjadi penanda berakhirnya perang dingin yang beraroma konflik ideologi di antara blok Barat (liberalisme-kapitalisme) dengan blok Timur (komunisme-sosialisme). Banyak pandangan yang mengatakan the end of ideology atau pertentangan ideologi tidak signifikan lagi dalam kehidupan dunia sekarang. Amerika Serikat sebagai negara menang perang mendeklarasikan doktrin unilateralisme sebagai pendekatan internasional.

Konflik ideologi bisa saja mereda di antara negara-negara besar dunia, namun perkakas atau instrumen ideologi tentu saja masih bekerja untuk menyangga masyarakat. Salah satu dari instrumen ideologi yang menyangka sekaligus memastikannya berjalan adalah militer. Para pemikir-pemikir besar mencurahkan perhatiannya pada persoalan bagaimanakah bentuk pola hubungan ideologi dan militer dalam masyarakat? Soal hubungan antara otoritas, pengaruh, dan kekuasaan menjadi suatu kajian yang secara terus-menurus diperdalam karena tidak ada resep atau teori yang sama untuk realitas yang majemuk.

Secara historis ideologi lahir pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan pengetahuan tentang gagasan yang tidak bebas nilai. Karena keberpihakan inilah, ideologi kemudian dirujuk sebagai the comprehensive of view sebagai cara pandang terhadap masalah yang ilmiah. Sebagai hasil dialektika filsafat, ideologi kemudian memunculkan suatu konsep dominaninasi atas realitas yang ada.

Kaum strukturalis meletakan militer dalam ranah yang disebut sebagai suprastruktur ideologi (bangunan atas sebuah struktur masyarakat). Pandang tersebut berangkat dari tinjauan determinisme ekonomi. Sementara basis struktur (infrastruktur: kekuatan produksi, alat produksi, dan hubungan produksi) merupakan fondasi bagi supra struktur yang terdiri dari dua gugus yaitu nilai dan pelembagaan dari nilai. Intelektual menjalankan fungsi hegemoni dengan mereproduksi nilai-nilai yang melanggengkan kekuasaan dengan segala mantra ilmu pengetahuan. Sementara militer secara institusional melanjutkan dalam dominasi kehidupan keseharian dan menjaga kekuasaan untuk tetap survive.

Pertanyaan mendasar yang selalu hadir, apakah determinisme ekonomi masih berlaku mutlak dalam realitas kekinian? Determinisme ekonomi dengan kasat mata dapat terpotret dalam gambaran Fredric Jameson tentang globalisasi sebagai “the becoming of cultural of economic and the becoming economic of cultural”. Globalisasi atau neoliberalisme digambarkan sebagai paket ideologi yang bermuataan nilai-nilai politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Globalisasi bukanlah mahluk dan organisme baru melainkan komodifikasi dari ekspansi modal yang utuh dalam termilogi lampau dimaknai sebagai neo kolonialisme dan imperialisme.

Joseph S. Nye, Jr juga memaparkan dua jenis kekuasaan dalam globalisasi diimpamakan seperti carrot and stick atau dalam bahasa politiknya hard power dan soft power. “Jika kau nakal dan membangkang, maka akan kugunakan tongkatku untuk memukulmu, tapi jika kau seorang kelinci yang manis dan penurut, maka kugunakan wortel untuk membuatmu tetap berada dalam lingkaran kekuasaanku!”

Begitulah pendekatan kelas dominan dan negara super power dalam penyelesaian konflik dunia yang terjadi seperti Afganistan, Iraq, dan Darfur. Kelas dominan menegakan hegemoni-nya melalui demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara untuk mendaratkan hegemoni menjadi dominasi kekuasaan melancarkan perang melalui instritusi militer sebagai wujud penguasaan teritori dan perebutan sumber daya alam.

Amy Goodman dalam Perang Demi Uang, menggambarkan supra struktur dalam negara liberal didominasi oleh oligarki. Dalam kasus Amerika Serikat ini terjadi pada sekelompok orang dari industri minyak yang mengambil alih kepemimpinan politik. Kelompok ini melakukan pembajakan militer dan menduduki sebagian besar kawasan penghasil minyak dunia. Mereka memperkaya diri sebanyak-banyaknya dan memastikan keberlanjutan kendali atas minyak dunia. Demi bertahan hidup, biasanya anggota oligarki perlu mengakhiri kebebasan sipil, menggambarkan penambahan kekayaan sebagai tugas patriotik, dan mengandalkan kerjasama pers yang bersikap seperti budak.

Jika kelas dominan menempatkan militer sebagai alat penjaga dan sekaligus pemukul modal, posisi ini jauh berbeda dengan tradisi revolusioner yang merepresentasikan perlawanan dalam menggulingkan kelas dominan. Praktek ini dilakukan oleh Mao Tse Tung dalam revolusi Tiongkok yang secara tegas mengatakan bahwa kekuasaan senjata harus tunduk dibawah komando partai. Sikap tersebut diletakkan dalam rangka revolusi, dimana seseorang mutlak harus memobilisasi massa untuk melakukan perjuangan politik dalam segala bentuk, dengan demikian mendidik, membesarkan hati dan mengorganisir, mengembangkan partai dan organisasi politik massa (untuk membangun 'tentara politis massa'. Sementara dalam beberapa hal, kondisinya sangat bervariasi dimana political officer juga membangun kekuatan bersenjata rakyat revolusioner yang memicu perjuangan bersenjata dan organisasi massa membentuk basis kekuatan tentara rakyat.

Kedua, persektif liberal maupun revolusioner bersepakat bahwa militer semata-mata hanya alat kekuasaan yang keberadaannya mutlak berada dibawah otoritas yang lebih tinggi yaitu politik. Pandangan liberalisme meletakan supremasi sipil di atas militer dalam kerangka pertahanan nasional dimana kedudukan institusi militer merupakan sub-ordinasi dari otoritas pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui kontestasi elektoral (civilian supremacy upon the military). Konsep supremasi sipil atas militer melekat dalam pengertian demokrasi dimana militer sebagai aktor yang memonopoli kekerasan secara formal dan legal.

Lima puluh tahun lebih Indonesia merdeka sebagai pencapai suatu negara dalam mengusir kolonialisme. Sepanjang kurun waktu itulah Indonesia sudah berulang kali berganti sistem kepolitikan dan pemerintahan. Sebagai suatu negara merdeka warisan kolonial Belanda, proyek bersama menjadi suatu bangsa selalu pasang-surut, setelah terinterupsinya program Bung Karno melalui nation and chacter building sampai sekarang Indonesia sebagai nation belumlah klimak. Sistem kepolitikan Indonesia pada masa setelah kemerdekaan begitu dinamisnya dan maju dalam pemisahan respublika (polis) dan resprivata (oicos) dalam tatanan bernegara. Indonesia sekarang dalam gugus pengetahuan dan ruang praktek kepolitikan sangat kerdil dan cendrung degradatif

--bersambung