Ramai-ramai Menggadai Kedaulatan Politik Luar Negeri
Roysepta Abimanyu
MENYEBUT Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S), tanpa menyertakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), rupanya selalu membuat gatal telinga sastrawan Taufik Ismail. Atas desakkannya (dan tentunya segolongan orang semacam beliau), Departemen Pendidikan Nasional membatalkan kurikulum pengajaran sejarah tahun 2004 dan menarik buku-buku pelajaran sejarah. Taufik Ismail dikabarkan juga, telah menerbitkan sebuah buku yang isinya diperkirakan membeberkan “dosa-dosa” komunisme.
Belakangan, Nurmahmudi Ismail, walikota Depok, ikut serta dalam gerakan ini. Ia memelopori pembakaran buku-buku sejarah tersebut di wilayahnya.
Langkah-langkah politik yang dilakukan Taufik Ismail, Nurmahmudi Ismail, Bambang Soedibyo dan ratusan nama birokrat Kejaksaan Agung dan Pemerintah Daerah yang melakukan tindakan yang sama, menunjukkan sebuah reaksi balik atas upaya pelurusan sejarah yang dilakukan oleh beberapa orang di kalangan ahli sejarah. Bahkan, seorang pejabat Departemen Pendidikan Nasional, diperiksa dengan tuduhan kriminal karena “menggelapkan” kata PKI dari buku sejarah.
Rangkaian peristiwa tersebut menjadi penting untuk dibahas kembali pada bulan Oktober ini. Bukan hanya karena jumlah korban yang jatuh dalam pembantaian massal setelah 1 Oktober 1965. Ataupun membahas pelurusan sejarah dan topik seputar siapa yang salah dan benar dalam tanggal itu. Lebih dari itu, karena signifikansi dari reaksi yang muncul terhadap upaya pelurusan sejarah 1965. Mengapa begitu keras reaksi tersebut, di saat sudah berpuluh-puluh tahun “ancaman” komunisme tidak kunjung terbukti di berbagai belahan dunia? Mengapa sebuah versi sejarah yang relatif netral terhadap pihak-pihak yang berkonflik pada 1965, yang seharusnya menjadi versi ideal bagi sebuah negara yang menyatakan dirinya “netral terhadap kepentingan-kepentingan SARA,” malah diberangus?
Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tadi, ada baiknya bersama-sama kita mengulas beberapa fakta geopolitik yang terjadi setelah 1965, dalam konteks Perang Dingin maupun dalam konteks pertarungan antar kelas-kelas sosial dan antar kelompok-kelompok politik di Indonesia.
Dari Perjuangan Anti Kolonialisme ke “Kerjasama Pembangunan”
Tampaknya, dalam konteks “testing the water”, majalah Tempo edisi 1 Oktober 2007, terbit dengan isu utama mengenai keterlibatan DN Aidit dan PKI dalam peristiwa dini hari pada tanggal yang sama 42 tahun silam. Dalam edisi tersebut, Tempo juga memuat artikel Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI yang berkecimpung dalam pelurusan sejarah. Ia mengulas klarifikasi Soekarno melalui Pidato Nawaksara atas peristiwa tersebut, yang
menggarisbawahi tiga hal: keblingeran pimpinan PKI, Nekolim, dan oknum-oknum yang tidak benar.
Kesimpulan Asvi, pihak yang paling diuntungkan adalah pihak Barat yang membuat lembek kebijakan luar negeri Indonesia. Tentunya, yang termasuk dalam kebijakan luar negeri Indonesia adalah juga kepemimpinan Indonesia di dalam kecenderungan yang disebut oleh Soekarno sebagai New Emerging Forces (NEFO).
Pada tahun-tahun sebelum naiknya Soeharto, negeri-negeri yang bisa dikatakan sebagai NEFO berada dalam pengaruh kuat pemimpin-pemimpin yang bersandar kepada retorika anti-Barat. Sebagian besar adalah negeri-negeri Asia dan Afrika, yang baru merdeka dan mengalami revolusi pembebasan nasional. Meskipun kekuatan militernya tidak sebesar negara-negara NATO ataupun Pakta Warsawa, gaung manuver politik negeri-negeri NEFO dan pemimpin-pemimpinnya, cukup membuat elit Barat merasa terancam.
Ahmad Ben Bella, Presiden Aljazair tahun 1963-1965, mencatat hal tersebut dalam artikel yang memperingati 30 tahun kematian Che Guevara. Ben Bella bercerita tentang bagaimana negeri-negeri seperti Kuba, Aljazair, Mali, Mesir, dan Uganda bekerja sama membantu pemerintah-pemerintah revolusioner di Angola dan Kongo dalam menghadapi gerakan pro Barat dan Afrika Selatan. Di tahun-tahun yang sama, Soekarno mencoba mengintervensi kemerdekaan Malaysia yang dipimpin oleh kelompok-kelompok pro Barat sembari membantu gerilyawan komunis di utara semenanjung Malaka.
Asia Tenggara dan Afrika menjelang 1965, memang seperti ladang pergolakkan antara kelompok-kelompok pro Barat di satu pihak dan aliansi kelompok-kelompok nasionalis dan komunis di pihak lain. Situasi ini membuat Perang Dingin kurang lebih bermakna sebagai perang lanjutan antara rakyat negeri-negeri yang baru merdeka dengan
mantan penjajahnya.
Sebelum mengakhiri artikelnya, Ben Bella menggarisbawahi sebuah fakta. Setelah terbunuhnya President Kongo Patrice Lumumba, lonceng kematian seperti berdentang untuk rejim-rejim progresif. Satu demi satu mereka dikudeta atau presidennya dibunuh oleh pihak-pihak pro investasi Barat. Lumumba, N’Krumah, Nasser, Soekarno menghilang dari percaturan politik dunia. Ben Bella sendiri dikudeta oleh militer Aljazair pada tahun 1965.
Dari Progresif menjadi Reaksioner
Setelah dipimpin oleh rejim-rejim pro Barat, kebijakan luar negeri negara-negara NEFO dengan segera melunak. Indonesia adalah salah satu pionir yang mengedepankan konsep “Kerjasama Pembangunan” dengan Barat, untuk menggantikan garis konfrontasi yang dianut sebelumnya dalam GNB.
Solidaritas antar negeri-negeri yang baru merdeka ditinggalkan. Jakarta memilih membangun ASEAN yang merupakan kelanjutan dari South East Asian Treaty Organisation (SEATO), elemen pendukung kunci pemberontakan PRRI/PERMESTA. Tiga dekade selanjutnya ditegaskan oleh arus masuk investasi asing, terbentuknya “sindikat” negara-negara kreditor (IGGI), dan masa keemasan untuk rejim Soeharto beserta sekutu-sekutunya yang turut menyingkirkan Soekarno dan PKI.
Tanpa perlu banyak diceritakan lagi mengenai represi di bawah kediktatoran Orde Baru, ada baiknya melihat bahwa wacana publik yang progresif, revolusioner, internasionalis dalam bidang hubungan internasional dihancurkan, digantikan dengan pandangan-pandangan
yang reaksioner dan ilusif pada masa Orde Baru.
Pandangan-pandangan tersebut tentunya juga adalah buah dari kampanye anti komunis dan pembantaian massal gerakan rakyat paska Oktober 1965. Secara ke luar, Orde Baru lalu memutuskan berbagai hubungan kerjasama strategis dengan Cina dan Uni Sovyet, dan bersikap antipati terhadap gerakan-gerakan kemerdekaan seperti di Vietnam. Representasi dunia yang diusung oleh Orde Baru beserta para sekutunya adalah situasi dunia yang berada di bawah ancaman komunis dan perlindungan kebaikan hati negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, meskipun tetap mengkritik demokrasi liberal mereka dengan kacamata junta militer.
Representasi dunia yang demikian reaksioner, yang sangat anti komunis dan ketakutan akan demokrasi liberal, jugalah yang kemudian - bercampur dengan ekses chauvinisme pada masa Soekarno - melahirkan dogma-ilusi menghebat-hebatkan sistem “Demokrasi dan Ekonomi Pancasila” dibandingkan dengan “sistem komunis” dan “sistem liberal.” Di saat yang sama, jutaan anak usia sekolah dihadirkan untuk menelan satu-satunya perspektif global yang disediakan rejim. Bukan hanya anak-anak, dari mulai tingkat SMP hingga rekrutmen pegawai negeri, perspektif ini juga disuapkan ke semua penduduk yang terjangkau oleh pemerintah.
Meskipun demikian, hampir semua orang dewasa yang pernah mendapatkan “asupan”
ideologis ini tahu bahwa yang diberikan hanyalah omong kosong. Hasil dari represi pemerintah dan sensor diri di kalangan media, suka atau tidak suka, membuat mayoritas rakyat Indonesia menelan bulat-bulat perspektif reaksioner tersebut. Karena itu, menjadi wajar jika kemudian tidak banyak orang yang mempermasalahkan peran politik luar negeri Indonesia semasa Orde Baru, yang menyusut sebatas ASEAN dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan pada masa tertentu, OPEC.
Dengan perspektif yang sempit tersebut, politik luar negeri Indonesia lebih mengabdi kepada
strategi “containment” Amerika Serikat dan menanggalkan frase “bebas aktif”.
Akan tetapi, identitas “negara muslim terbesar di dunia” membuat Indonesia tetap aktif, dengan bentuk diplomasi terbatas dan pasukann perdamaian, dalam konflik-konflik yang melibatkan dunia Islam, seperti Palestina-Israel, Moro, dan Bosnia. Ini disebabkan karena representasi tersebut (sebagai negara muslim) telah menjadi “senjata” kelompok-kelompok politik keagamaan untuk menggerus pamor pemerintah yang berkuasa.
Dengan demikian, kebijakan luar negeri Indonesia seringkali memiliki dua wajah yang kontradiktif. Selain diharuskan ramah kepada kepentingan Barat, pada saat bersamaan harus juga tetap memuaskan kelompok-kelompok politik yang melandaskan pembangunan gerakannya pada sentimen anti “dekadensi Barat”.
Setelah berakhirnya Orde Baru, kebutuhan untuk memoles kebijakan Luar Negeri dengan wajah yang semakin “Islami” meningkat. Tentunya, secara esensi tetap bersahabat dengan kepentingan Barat (baca: investasi dan pinjaman asing). Sebagai contoh, Pemerintah Indonesia memang menolak penyerbuan ke Irak tahun 2003 dan sebelumnya menolak penyerbuan ke Afghanistan tahun 2001, namun tidak memiliki kebijakan apapun yang berhubungan dengan sikap tersebut. Indonesia malah meningkatkan kerjasama militer dengan Amerika Serikat sehubungan dengan “Perang Melawan Terorisme”, yang jelas-jelas menjadi pembungkus pendudukan di Irak dan Afghanistan.
Diskursus “Lanjutan” tentang Komunisme
Pertanyaan besar mengenai stigma komunis yang kembali dihembus-hembuskan oleh pejabat-pejabat pemerintah (militer, bupati, dan kejaksaan) adalah akan kemana ini berujung? Untuk sementara waktu, pertarungan ini seperti hendak membatasi interpretasi sejarah atas peristiwa Oktober 1965. Jika orang mulai bisa menerima keberadaan tafsir yang berbeda, maka akan banyak upaya penggalian kembali ingatan-ingatan sebelum dan sesudah 1965.
Kontroversi yang sebelumnya pernah terpancing oleh terbitnya buku Manai Sophiaan, "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai," akan kembali menyeruak dalam bentuk yang lebih besar. Cukup besar untuk bisa meruntuhkan semua legitimasi kekuasaan Orde Baru dan peran Angkatan ‘66.
Pertanyaan besar itu mungkin bisa diparafrasekan: Jangan-jangan stigmatisasi terhadap komunisme bertujuan untuk menutupi peran kelompok-kelompok tertentu yang “menggadaikan” kedaulatan politik luar negeri, dengan mendukung berkuasanya Soeharto dan Orde Baru? Meski terlalu spekulatif, tampaknya belum ada pertanyaan lain yang lebih menggoda.***