Muslimin Abdilla
DALAM artikelnya (lihat di sini), Fahmi Panimbang melontarkan dua gagasan kunci yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertama, gagasan tentang “negara adalah kita;” dan kedua, gagasan mengenai “deglobalisasi.”
Tetapi, pada kesempatan ini, saya tidak ingin masuk dalam perdebatan teoritis. Saya mau melangkah pada pertanyaan, “bagaimana perwujudan konkret dari gerakan perlawanan terhadap sistem ekonomi-pasar? Sejauh mana teori-teori besar itu bertemu dengan kebutuhan konkret massa?” Dari sana, saya ingin mengaitkannya pada gagasan yang dilontarkan Fahmi.
***
Sore itu, di minggu pertama September, sekitar 30-an orang anggota koperasi Cakra, Desa Sengon, Kecamatan Jombang berkumpul. Seperti sebelumnya, pertemuan rutin ini berlangsung riuh. Beberapa orang tampak mengantri sambil ngobrol. Tangannya menenteng buku simpanan anggota. Seorang pengurus koperasi terlihat sibuk mencatat setiap buku simpanan anggota. Di bagian lain dari ruang tamu salah seorang anggota yang digunakan untuk ruang pertemuan rutin tersebut, berlangsung kesibukan yang lain. Yakni, para anggota yang mau pinjam uang untuk modal dan keperluan mencicil hutang.
Setelah antrian selesai dan pencatatan yang dilakukan oleh pengurus rampung sudah, seluruh anggota kembali pada posisinya. Mereka duduk lesehan bersandar di dinding ruangan dan saling berhadap-hadapan. Sejurus kemudian, salah seorang pengurus membuka pertemuan. Dalam pertemuan kali ini, dia membuka diskusi tentang kekompakan yang harus terus dijaga antar anggota koperasi. Tema ini dipilih karena beberapa hari sebelumnya, ada suatu peristiwa dimana seorang anggota yang berdagang makanan kecil di sekolah SD kampung tersebut, tidak bisa ke pasar karena ban sepeda-nya kempes. Lalu dia minta tolong kepada seseorang yang juga menjadi anggota koperasi tetapi, orang tersebut tidak mau dengan alasan dia juga repot.
Tema ini kemudian didiskusikan. Beberapa orang memberi komentar: “sejak mula kita membuat koperasi ini, kita tidak hanya ingin berkumpul ketika kita butuh modal atau mau menyimpan. Diluar itu, jika ada anggota yang membutuhkan bantuan, harus juga kita bantu.” Yang lain berkata, “kita sudah berikrar bahwa kita harus kompak, dan kita sudah menyatakan bahwa kita sudah hidup susah. Kalau kita hadapi sendiri-sendiri, kita tidak akan bisa. Maka dari itu, kita harus saling bantu.”
Akhirnya, diskusi itu diakhiri dengan penegasan kembali bahwa diluar pertemuan-pun seluruh anggota koperasi juga harus saling bantu.
Pertemuan antar anggota koperasi ini dilakukan setiap bulan sekali di minggu pertama. Pendirian koperasi ini berangkat dari ketidakmampuan mereka mengakses modal ke bank resmi dengan bunga rendah. Selain itu, bagaimana terbebas dari jeratan rentenir yang menawarkan pinjaman yang sangat mudah dengan bunga dan sistem yang sangat mencekik. Rentenir ini, baik yang konvensional perorangan maupun yang berbentuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam) yang dilegalkan oleh pemerintah.
Koperasi ini didirikan oleh anggota kelompok Cakra, yang sebelumnya hanya sebuah kelompok sosial yang berfungsi jika ada persoalan sosial di kampung. Kelompok ini menjadi anggota sebuah organisasi aliansi (KRJB) di Jombang. Pada awal berdirinya, tidak seluruh anggota mengikuti koperasi ini. Pertama-tama hanya 12 orang dan dalam waktu satu tahun anggota sudah berkembang menjadi 32 orang. Perkembangan anggota ini terjadi karena setiap anggota mulai merasakan manfaat dari berkoperasi.
Gagasan dan pendirian koperasi tidak hanya terjadi di kelompok Cakra, desa Sengon Jombang. Sampai saat ini, ada sekitar 6 kelompok di Jombang, 7 kelompok di kediri dan 1 kelompok di Mojokerto yang mengembangkan gagasan berkoperasi dan mendirikan berkoperasi. Diharapkan, perlahan tapi pasti, kelompok-kelompok lain yang menjadi anggota organisasi aliansi di ketiga wilayah tersebut, bisa memiliki koperasi.
***
Disamping tujuan praktis di atas, gerakan berkoperasi juga dimaknai sebagai upaya membangun ikatan solidaritas antar anggota. Dengan ikatan ekonomi, ikatan solidaritas bisa dibangun secara lebih kongkrit. Jadi, disamping untuk memudahkan akses kredit dan mengurangi dampak rentenir, berkoperasi adalah dalam upaya membangun solidaritas antara anggota untuk saling membantu dalam mengembangkan usaha ekonomi-nya. Ikatan solidaritas ini pada kenyataannya, juga bisa dikembangkan untuk meraih tujuan gerakan yang lebih besar.
Tujuan lebih besar dalam berkoperasi adalah melakukan gerakan lokalisasi (deglobalisasi dalam bahasa Panimbang). Karena kegiatan berkoperasi ini dalam rangka membangun kekuatan ekonomi kelompok-kelompok kecil rakyat di kampung-kampung, dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya sendiri sendiri, dan dengan cara-cara yang disepakati oleh mereka sendiri serta menurut kekuatan yang mereka miliki.
Dengan dasar seperti itu, berkoperasi menjadi berbeda dengan koperasi-koperasi simpan pinjam (KSP) yang saat ini banyak berdiri yang disahkan oleh pemerintah. Kenyataannya, KSP-KSP ini adalah koperasi yang didirikan oleh orang-orang kaya yang memiliki modal besar. Tujuan berkoperasi bagi mereka adalah bagaimana uang yang mereka miliki bisa beranak pinak dengan cepat, legal (diresmikan pemerintah) tetapi, tidak sesulit menjadi bankir. KSP-KSP seperti inilah yang pada akhirnya menjadi rentenir legal, dan kebanyakan justru sangat liberal. Aneh memang....
Meskipun berangkat dari lingkungan yang sangat kecil, upaya ekonomi dengan berkoperasi, juga dimaknai dalam rangka melakukan perlawanan terhadap sistem ekonomi global yang sama sekali tidak berpihak pada mereka. Dengan berkoperasi, kaum segala kecil ini berusaha melakukan intervensi terhadap pasar, walaupun kecil.
Perlawanannya memang tidak sehingar-bingar teman-teman ketika berdemontrasi dijalanan. Tetapi, dengan langsung terlibat dalam lapangan ekonomi praktis (karena memang kebutuhannya praktis) dan dengan membuat sistem yang berbeda, berarti secara tidak langsung juga melakukan perlawanan yang sangat radikal. Sistem berbeda yang dimaksud di sini, di setiap koperasi yang didirikan selalu ditekankan bahwa sistem ekonomi dalam berkoperasi menurut versi kita pada intinya adalah kita sebagai produsen, sekaligus sebagai konsumen dan distributor; semua orang bisa terlibat dalam membuat keputusan secara adil. Sistem seperti ini, sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi yang saat ini menguasai dunia. Karena yang kecil tidak akan pernah bisa terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan di pasar.
Dengan model seperti ini, kita bisa tahu dimana posisi kita dalam pasar, karena kita sendiri juga bagian dari pasar itu. Tergantung bagaimana kita terlibat. Apakah di dalam pasar tersebut kita bisa berpartisipasi dalam membuat keputusan-keputusan atau hanya menjadi obyek keputusan. Seperti halnya ketika kita menyebutkan bahwa negara adalah kita. Dalam hal ini, negara dimaknai sebagai ruang pertarungan, dimana setiap orang bisa menjadi aktor dalam ruang pertarungan tersebut, termasuk rakyat kecil. Kita juga bisa menyebut bahwa pasar (modal) adalah ruang pertarungan, dimana kita saat ini menjadi salah satu bagiannya. Tergantung kita juga, apakah kita mampu atau tidak menjadi bagian dari pasar, atau apakah kita mampu melakukan intervensi terhadap pasar atau tidak, sehingga keputusan-keputusan di dalam pasar bisa berjalan secara adil.
Dengan berkoperasi, tentunya yang berbasis kelompok/komunitas, tidak melulu berbasis modal besar seperti KSP-KSP di atas, maka apa yang pernah diimpikan oleh bapak bangsa Hatta, tekanan globalisasi bisa diredam dan rakyat bisa benar-benar berdaulat secara ekonomi.***
Muslimin Abdilla, Perkumpulan ALHA-RAKA dan Penggerak KRJB, Jombang, Jawa Timur.