Achmad Ya'kub
BISNIS perkebunan adalah bisnis yang menggiurkan. Tak ada yang tidak kesengsem terjun dalam bisnis ini. Khususnya, bisnis perkebunan di negara-negara tropis dan sub-tropis, seperti Indonesia, Brasil, Argentina, serta negara-negara di kawasan Asia dan Amerika Latin lainnya.
Sebut saja, misalnya, pemodal nasional, keluarga besar PT H.M Sampoerna. Setelah menjual sahamnya kepada perusahaan rokok Phillip Moris yang berbasis di Amerika Serikat (AS), serta-merta di media nasional beredar kabar bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan untuk perkebunan tebu. Lihat juga, rencana investasi modal dari Swiss yang akan membuka perkebunan tanaman Jarak di Nusa Tenggara Timur, dengan nilai investasi Rp.1 triliun.
Hal yang sama juga terjadi di Brazil. Di negara goyang samba itu, perusahaan semacam Cargill, membeli pabrik gula perkebunan tebu di Cevasa di wilayah Ribeirão Preto, São Paulo.
Minat perusahaan-perusahaan besar terhadap perkebunan sawit, tebu, jarak, jagung dan kedelai, memang tidak segencar beberapa puluh tahun yang lalu. Tapi, tidak berarti volume ekspansi modal pada sektor perkebunan menurun. Bahkan, volume investasi tersebut mengikuti trend global. Hal ini semakin jelas setelah Presiden AS, George W. Bush, seperti diberitakan Herald Tribune (1/06/07), menyatakan, kebijakan baru Amerika adalah menerima target pengurangan gas emisi dunia.
Sikap baru pemerintah AS ini, tampak berbeda dengan sikap yang mereka tunjukkan pada tahun 2000. Ketika itu, AS menolak secara tegas apa yang diatur di protokol Kyoto, mengenai pemanasan global. Tetapi, isu perubahan iklim dan pemanasan global, makin gencar dikampanyekan, sehingga isu lingkungan mulai merambah ke ranah politik global dan mempengaruhi langsung ke ruang politik nasional. Terlebih soal energi yang berasal dari pertambangan seperti minyak, gas, dan batu bara yang kian berkurang dan berpengaruh langsung terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai menggintrodusir penggunaan nuklir dan ayat 4 menggulirkan istilah biofuel. Khusus mengenai hal ini, pemerintah menunjukkan persamaan dengan AS, yang menargetkan penggunaan agrofuel/biofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian di AS, tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007).
Gayung bersambut. Setiap daerah kemudian berlomba-lomba menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar. Padahal kita tahu, lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias petani gurem. Di lain pihak, setiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun 2006, hingga kini masih menjadi macan kertas. Apalagi, program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan hanya menjadi mimpi penghias tidur petani.
Kalau kita telusuri lagi dengan isu perubahan iklim dan agrofuel, siapa yang diuntungkan? Jawabnya tak lain adalah perusahaan-perusahaan besar. Sebut saja perusahaan-perusahaan seperti Unilever, Pepsi, Quaker, dan Monsanto. Di Indonesia, data yang ada menunjukkan, dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar, sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta. Sisanya dikelola oleh perkebunan kecil dan perkebunan milik negara.
Dalam usaha perkebunan sawit ini, terdapat sembilan perusahaan yang menjadi pemain utamanya yakni, PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, Hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit, dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007).
Dari gambaran ini, bisa disimpulkan, program-program yang digulirkan pemerintah jelas sekali keberpihakannya kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana, program agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan
disediakan hingga jutaan hektar bahkan, disiapkan juga Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan (hambatan non tariff dipangkas sedemikian rupa untuk menarik investasi langsung dari luar negeri). Lebih dari itu, departemen pertanian turut mencarikan lahan bagi swasta nasional yang selama ini dikenal bergerak di bidang pertambangan, hotel dan fabrikasi serta makanan seperti, PT. Medco. Medco menyatakan siap mendanai penanaman padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi). Untuk realisasi rencana tersebut, lahan yang dibutuhkan Medco seluas 10.000 ha.
Soalnya, apa manfaat dari kebijakan energi ini bagi petani dan rakyat miskin? Sejauh yang bisa ditelusuri, makin berkurangnya lahan pertanian, penggusuran lahan untuk perkebunan, pembabatan hutan gambut dan tropik untuk lahan sawit serta, kekerasan dalam mempertahankan atau reklaiming lahan. Disamping itu, saat ini juga kita mengalami lonjakan harga minyak goreng, harga beras yang naik turun, harga gula, susu dan terigu. Khsusus minyak goreng, bahan mentah berupa minyak sawit lebih menguntungkan dijual ke pasar internasional dari pada memenuhi kebutuhan nasional.
Inilah yang oleh Sritua Arif katakan, bahwa kita tengah berada dalam situasi ekonomi terjajah yang dicirikan oleh: (1) sebagai penyedia bahan baku bagi negara kaya;(2) sebagai pasar hasil produksi negara-negara kaya; cdan (3), sebagai tempat berputarnya uang surplus dari
perusahaan-perusahaan asing, yang kalau di Indonesia, kita sebut sebagai investasi.***
Achmad Ya’kub, Deputi Kajian Kebijakan dan Kampanye Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI).