UPDATE (28/8/07): Pandangan terbaru dan cukup sistematis dari Stiglitz tentang Indonesia, silakan lihat link ini: Joseph Stiglitz: Indonesia needs a new agenda (AsiaViews, Edition: 30/IV/August/2007).
ADA yang menarik dalam dialog antara Joseph Stiglitz dan Boediono dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini.
Joseph Stiglitz adalah ekonom asal Amerika Serikat (AS) yang memperoleh gelar Doktor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 1967. Ia meraih anugerah Nobel ekonomi 2001 atas karyanya menggali ketidaksimetrisan informasi (asymmetric information) sebagai satu dari sekian penyebab kegagalan pasar (market failures).
Boediono juga adalah ekonom dan guru besar di Universitas Gajah Mada. Ia pun memiliki gelar Doktor dari Wharton School, University of Pennsylvania pada 1979. Kini, ia menjadi Menteri Koordinator Perekonomian RI.
Pertemuan keduanya menarik ketika menyinggung tentang pengaruh ideologi dalam pengambilan kebijakan. Menurut Boediono, pemerintah Indonesia bersikap pragmatis. “Kami hampir tidak peduli pada label-label ideologi. Menjadi tidak produktif jika kita mencari jawaban atas persoalan riil melalui perdebatan ideologis,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Stiglitz menukas bahwa pragmatisme tidak dapat dilepaskan dari konteks ideologi, karena ia menyajikan pandangan mendasar tentang bagaimana peran pemerintah seharusnya. Dengan kata lain, Stiglitz hendak mengatakan bahwa kebijakan tak mungkin bersifat ‘netral’.
Sejak 1980-an, ilmu ekonomi sering menyatakan dirinya bagian dari positivisme. Dengan menggunakan ramuan matematika dan statistika dalam ekonometrika, ilmu ekonomi hendak mengemukakan bahwa kajiannya bersifat ‘bebas nilai’.
Padahal, segala bidang ilmu tak dapat lepas dari akar-akar filsafat, termasuk ilmu ekonomi. Sistematika filosofis itulah yang disebut sebagai ideologi; yaitu seperangkat gagasan yang menentukan cara pandang, alat analisis dan pengambilan kesimpulan terhadap suatu masalah. Ideologi yang berbeda akan berujung pada kesimpulan dan pilihan kebijakan yang berbeda. Karena itu, tak heran bila Stiglitz langsung ‘mengkoreksi’ Boediono bahwa mau tak mau pemerintah harus bersikap ideologis dalam mengambil kebijakan, sehingga dapat memilih pemihakan yang jelas serta berperan efektif dan tegas.
Pengalaman Stiglitz ketika menjadi ketua dewan penasehat ekonomi AS di masa Presiden Clinton, dapat menjadi rujukan. Clinton mewarisi perekonomian yang lesu dan tingkat pengangguran yang tinggi dari Ronald Reagan akibat kebijakan neoliberalis-nya selama dua caturwarsa. Ketika Stiglitz dipanggil oleh Clinton menjadi penasehat ekonominya, bandul kebijakan ekonomi AS pun berubah. Peran pemerintah yang selama kepemimpinan Reagan dipangkas luar biasa, kembali ditingkatkan. Menurut Stiglitz, adagium ‘the best government governs less’ (pemerintah yang terbaik memerintah sedikit) tak tepat. Ia berpendapat, pemerintah yang baik tak harus besar atau kecil, melainkan efektif. Terhadap tudingan kaum neoliberal yang berkata swasta lebih penting daripada pemerintah, Stiglitz menjawab, “Bagaimanapun, pemerintah memiliki legitimasi publik dan kekuasaan sah yang tidak dimiliki oleh swasta,” ujarnya dalam esai berjudul “Redefining the Role of the State: What Should It Do? How Should It Do It? And How Should These Decisions be Made?” (1998).
Menurut Stiglitz, peran pemerintah haruslah aktif untuk mengkoreksi kegagalan pasar. Terutama dalam menghadapi globalisasi neoliberal saat ini, Stiglitz merekomendasikan agar negara, khususnya negara-negara berkembang, berperan aktif agar manfaat ekonomi tidak melulu kembali ke negara-negara maju dan untuk melindungi orang-orang yang kalah dan tersingkirkan di arena global. Pemerintah tak boleh hanya manut pada pasar.
Berkat resep-resepnya, AS pada masa Clinton dapat bangkit. Ekonomi kembali tumbuh. Pengangguran dan kesenjangan ekonomi diperkecil. Selama sepuluh tahun AS menikmati masa-masa keemasan ekonomi yang gemilang. Tak heran, berkat kesuksesan itu, Clinton dapat lepas dari pemakzulan (impeachment) yang digelontorkan lawan politiknya atas isu seksual dengan Monica Lewinsky.
Kembali ke dialog Stiglitz-Boediono. Sungguh ironis bahwa Boediono yang menjadi menteri di negeri Pancasila yang masih belum sepenuhnya sembuh dari krisis ekonomi, justru berpandangan lebih liberal daripada Stiglitz yang berasal dari negeri kampiun liberalisme.***