26 DESEMBER 2004. Matahari bersinar dengan terangnya. Hari itu indah sekali, sehingga tak ada yang mengira bencana maha dahsyat bakal melanda. Dan seperti yang telah kita ketahui, propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) diluluhlantakkan oleh badai tsunami.
Gelombang tsunami yang disusul beberapa gempa bumi berikutnya, membuat kita sadar bahwa kita hidup di jalur gempa. Banyak ahli lalu menyerukan, pentingnya memasukkan manajemen bencana dalam perencanaan pembangunan. Sebuah peraturan tentang penanganan bencana dipandang mendesak. Ironisnya, ketika para pakar tersebut tengah sibuk mengumpulkan data dan menggodok RUU yang kini telah jadi UU Penanganan Bencana, pulau Sumatera juga tengah menantikan resiko bencana akibat kegiatan industri yakni, pertambangan. Saat investasi tambang berbondong-bondong memasuki pulau Sumatera, tidak banyak perhatian diberikan walaupun resiko lingkungan dan sosial sektor ini telah dikenal lama sejak sebelum tsunami.
Investasi Tambang di Pantai Barat Sumatera
Bersamaan hiruk-pikuk pembangunan kembali Aceh, di barisan yang lain derap investasi tambang di belahan barat Pulau Sumatera juga melaju kencang. Penandanya adalah banyaknya kuasa pertambangan (KP) baru yang dikeluarkan. Begitu pun konsesi-konsesi lama seperti Martabe (Oxiana Resources), Meluak dan Anjing Hitam (Herald Resources). Pungkut (Oropa Mining) juga bergairah menambah investasinya untuk melaju ke konstruksi dan produksi, sejak pasar mineral dunia tumbuh pesat dua tahun terakhir.
Di Sumatera Barat, lima dari sekian KP baru dimiliki oleh junior miner yang baru memulai debutnya di Australia Stock Exchange (ASX) tahun lalu yaitu, Coziron Resources. Ia mendapatkan KP ekpslorasi pasir besi di Rawang Gadang dan Kunyit, timbal dan seng di Lubuk Gadang, batubara di Inderapura, serta emas-tembaga di Singkarak. Hampir semuanya di sekitar Padang dan Solok. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) propinsi Sumatera Barat, menyebutkan, perusahaan Cina juga telah mendapatkan Surat Ijin Penambangan Daerah (SIPD) untuk pasir besi seluas 100 ha di Solok.
Junior miner lain yang kini mengapling propinsi tapak tsunami adalah East Asia Mineral dari Vancouver (Kanada). Perusahaan ini memiliki sejumlah KP di propinsi NAD, meliputi KP Takengon, Miwah, Barisan 1 dan 2, dan Tangse di wilayah tengah hingga pantai Barat Aceh. Bersamaan derap rekonstruksi Aceh, proyek-proyek tersebut tanpa perhatian banyak lembaga masyarakat sipil, giat mengeksplorasi emas, perak dan tembaga.
Tidak hanya di Sumut, Sumbar, dan Aceh tapi, juga Lampung dan Jambi. Proyek-proyek baru di jalur volkanik Sumatera singgah di dua propinsi ini. Finders Resources, junior miner lain dari Kanada, mengeksplorasi kawasan yang dinamai Ojolali (Lampung) serta satu KP di Jambi. KP Ojolali meliputi wilayah seluas 3.450 hektar. Di Lampung sebenarnya tidak hanya KP Ojolali tapi, juga konsesi setingkat Kontrak Karya milik Mekhatarra Mining di Way Linggo, serta KP milik Apollo Gold bernama Napal Gold project.
Hingga kini, paradigma mengelola resiko di sektor pertambangan masih jauh dari aman. Ini ditunjukkan oleh kerapnya terjadi dampak lingkungan dan sosial di seputar industri pertambangan. Longsornya timbunan batuan limbah atau terowongan, pecahnya pipa tailing, atau tumpah maupun ditumpahkannya merkuri ke badan air atau ke udara, sudah jamak terjadi. Pertambangan juga memiliki resiko sosial-ekonomi yang sering tidak ditangani seperti, hilangnya mata pencaharian warga setempat, jatuh miskinnya mereka ketika lahan pertaniannya diserobot, sumber air bersihnya dikotori hingga harus mencari sumber air yang jauh dari kampungnya.
Pertanyaan penting yang diajukan, akan seperti apa tambang-tambang baru itu dikelola? Tanpa perubahan drastis di sektor ini serta tanpa pengawasan ketat untuk penataan regulasi lingkungan oleh korporasi, korban-korban baru akan berjatuhan. Mulai dari korban penggusuran, pencemaran, kehilangan mata pencaharian hingga kekerasan.
Tipuan klasik pertumbuhan dan laba
Ketika masyarakat dan lingkungan terus-menerus menjadi korban, ini menyiratkan minim dan sempitnya pemaknaan manajemen dalam industri pertambangan. Sebabnya, perusahaan menempatkan soal-soal lingkungan dan sosial sebagai eksternalitas. Efisiensi hanya dinilai dari besarnya laba dan rendahnya biaya, bukan dari kemampuan mengelola dengan baik semua resiko yang ditimbulkan. Itulah ironi perekonomian kita hari ini. Meskipun perusahaan melakukan perusakan lingkungan besar-besaran, selama masih mampu membayar dividen kepada pemegang saham dan bunga bank, ia tetap mendapat nilai positif dari pasar.
Manipulasi atas pemaknaan efisiensi, melegitimasi pasar untuk menuntut dihilangkannya insentif-insentif bagi publik dan lingkungan serta menggantikannya dengan keleluasaan makin besar kepada perusahaan. Ini dapat dilihat dari inisiatif perusahaan-perusahaan pertambangan untuk mengamandemen Undang-undang Kehutanan, agar boleh melakukan penambangan terbuka di hutan lindung, mengeluarkan limbah tambang (tailing) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) serta, diberlakukannya pembuangan tailing ke laut. Jika semua tuntutan tersebut dipenuhi, perusahaan akan semakin leluasa menghancurkan sisa-sisa hutan yang ada dan membuang limbah ke badan-badan air.
Ilusi ini terus-menerus dipupuk dalam praktek ekonomi yang salah mendefiniskan pertumbuhan. Mestinya, bukan pertumbuhan jika ia menghancurkan pondasinya sendiri, yaitu alam. Bukan pertumbuhan yang utuh jika hanya terjadi di akumulasi kapital perusahaan tambang, bank-bank kreditor, serta industri-industri jasa kontraktor, konsultan, dan suplier. Sementara, di sisi lainnya, terjadi pemusnahan sumber daya, penurunan keragaman spesies, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan memang terjadi tapi, hanya di negara-negara maju. Sementara, di negara-negara sumber bahan mentah yang terjadi adalah bencana.
Ring of Fire
Selain resiko-resiko intrinsik yang sudah melekat dengan karakter industri tambang, ada resiko yang datangnya dari luar. Semua proyek tambang lama dan baru di atas, berada di kawasan yang oleh para geolog dinamai Sumateran Fault Zone, suatu wilayah pegunungan vulkanik yang kaya cadangan mineral yang terbentang dari ujung utara hingga selatan Pulau Sumatera. Meskipun kaya cadangan mineral namun, kawasan yang juga jalur pegunungan berapi “ring of fire” ini rawan gempa dan letusan gunung. Karenanya, akan muncul kerentanan yang tinggi bila dilakukan operasi pertambangan raksasa.
Kita jelas tidak berharap datangnya lagi tsunami dan gempa dahsyat seperti di Pangandaran, Aceh, Jogjakarta, Padang, lalu Solok. Tapi, para penentu kebijakan mesti sadar, ribuan orang di pulau Sumatera hidup di kawasan yang rawan terjadi bencana. Sudah semestinya tindakan yang diambil adalah mengurangi derajat kerusakan jika terjadi bencana berikutnya. Termasuk di dalamnya, bagaimana cara membangun dan berinvestasi yang tidak menambah kerentanan manusia terhadap bencana alam. Resultante dari kerawanan terhadap bencana alam lawan resiko intrinsic pertambangan, bisa menjadi bencana besar bila terjadi gempa atau letusan gunung.
Gempa di Solok awal tahun ini menyebabkan permukaan air danau meluap setinggi 10 meter dan membanjiri kawasan sekitarnya. Akan seperti apa kejadiannya, jika yang meluap adalah tailing dam? Kecelakaan demikian terjadi belum lama berselang di Filipina, tepatnya di pulau Rapu-rapu tahun lalu. Badai dan gelombang laut menyebabkan retaknya tailing dam yang lalu memuntahkan limbah tailing ke pemukiman dan kawasan pertanian penduduk pulau.
Sementara itu, Komite Internasional untuk Dam Raksasa (ICOLD) juga mencatat telah terjadi 221 kecelakaan tailing dam akibat faktor alam (gempa, cuaca buruk) dan human error di seluruh dunia. Laporan ini mengindikasikan rentannya faktor keamanan dalam industri pertambangan dari gejala-gejala alam luar biasa. Mereka terbukti belum andal menangani resiko-resiko tersebut.
Akuntabilitas
Resiko lain yang mesti diperhitungkan penyelenggara negara adalah akuntabilitas perusahaan. Seringkali perusahaan tambang tidak dapat mempertanggungjawabkan dampak yang telah disebabkannya. Dalam kasus luapan lumpur panas di Sidoarjo, kita menyaksikan bagaimana saham Lapindo diupayakan dijual ke berbagai pihak lain untuk menghapus beban penanganan semburan Lumpur kepada pihak pembeli. Meskipun upaya ini sempat digagalkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) namun, belakangan pemerintah juga harus berepot ria menalangi dana kompensasi dan rehabilitasi luapan Lumpur sebesar 900 milyar rupiah.
Pemerintah harus menjamin jangan sampai perusahaan meninggalkan tambangnya dengan mewariskan pencemaran. Satu contoh pewarisan pencemaran untuk masyarakat lokal akibat lemahnya akuntabilitas perusahaan, terjadi di Rawas Gold project di Kabupaten Musi Rawas oleh junior miner pemiliknya, Laverton Gold NL. Laverton meninggalkan bencana lingkungan untuk masyarakat Muara Tiku. Pada tahun 1998-1999 Laverton dilanda masalah keuangan dan menawarkan konsesi Rawas ke berbagai perusahaan, antara lain DRD Gold (Afsel). Namun DRD kemudian membatalkan pembelian Rawas project. Sejak itu tidak diketahui siapa pemilik Rawas project karena Laverton sudah tidak bisa dilacak keberadaannya dan statusnya di ASX sudah delisted sejak 2006.
Jika begini, siapa yang akan mempertanggungjawabkan pencemaran sungai Tiku, sumber air warga setempat? Pemerintah Daerah merasa tidak pernah memberikan ijin kepada Laverton, sedang Pemerintah Pusat berdalih sekarang sudah era otonomi daerah. Lagi-lagi masyarakat lokal yang harus memecahkan sendiri masalah yang tak pernah dibuatnya. Dengan raibnya perusahaan, hilang pula kemungkinan menjerat Laverton atas kerusakan lingkungan dan pemiskinan masyarakat. Walaupun kita semua paham kemungkinan itu di sini sangat sangat kecil.
Dari pengalaman itu penting bagi pemerintah menuntut perusahaan menyediakan dana jaminan (bond) untuk setiap jenis resiko yang dapat muncul dari proyek sebelum proyek itu sendiri dimulai. Tujuannya, untuk memastikan akuntabilitas dari korporasi dan menghindari tindakan melarikan diri lewat spin-off, jika terjadi bencana atau kecelakaan yang membuatnya harus membayar biaya pemulihan. Tanpa adanya jaminan itu posisi pemerintah dan rakyat lemah terhadap perusahaan. Persis seperti posisi korban lumpur panas yang harus menerima ganti rugi sebesar perusahaan mampu membayar.
Meskipun opsi ini terasa sulit diwujudkan, mengingat untuk membayar royalti 1 persen untuk hutan yang dibabatnya saja perusahaan tambang enggan, pemerintah perlu mendorong kebijakan ini. Salah satu manfaatnya, ketika terjadi bencana pemerintah tidak perlu pusing dan repot melindungi perusahaan dan justru berposisi berhadap-hadapan dengan warganya sendiri yang jadi korban.
Kita memang hidup di negara kepulauan yang sangat rawan bencana alam. Tapi jangan dilupakan, bencana juga sedang mengintip dibalik investasi asing yang berbondong-bondong ingin berebut kapling di republik ini.***
Adi Widyanto, Mining & Environment Advisor, CUSO Lao PDR.