Budiman Sudjatmiko
TEKS proklamasi kemerdekaan sudah dibacakan 62 tahun lalu oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. "Tidak ada yang luar biasa" pada peristiwa 17 Agustus 1945 itu, kecuali telah dinyatakan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa kita telah merdeka.
Dengan merdeka, terjadi pengambilalihan kekuasaan. Ia tidak ditunjukkan dengan kejadian luar biasa, misalnya, ada upacara sertijab (serah terima jabatan) yang dramatis dari penguasa Jepang yang kalah dari sekutu kepada Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Kehendak merdeka
Namun, sesederhana apa pun peristiwa proklamasi itu, inilah yang oleh Jl Austin, filsuf bahasa dari Inggris, dalam buku How to Do Things with Words, disebut act of speech. Ini sama seperti mengucapkan "terima kasih." Tak ada tindakan apa pun untuk menunjukkan bahwa seseorang berterima kasih, kecuali mengucapkan kata "terima kasih" itu sendiri.
Demikian juga dengan teks proklamasi. Bahwa suatu bangsa menyatakan merdeka dan mengambil alih kekuasaan, tak ada tindakan lain selain mengeluarkan pernyataan itu sendiri, maka merdekalah bangsa itu.
Sebagai act of speech, membacakan teks proklamasi yang singkat, merupakan tindakan sederhana meski sarat makna dan sakral sehingga (kecuali para separatis) nyaris tak ada pemimpin di Indonesia yang berpikir untuk mengkhianati apa yang eksplisit terkandung dari teks proklamasi itu. Ia terlalu sederhana namun sakral. Semacam credo atau syahadat sebuah bangsa.
Namun, kini orang cenderung lupa, sebagai bangsa sebenarnya kita memiliki dokumen lain yang terkait "kehendak merdeka", selain proklamasi kemerdekaan. Inilah deklarasi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang oleh Bung Karno dikatakan telah "memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam perkembangan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" (Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II).
Namun, dalam perjalanannya, berbeda nasib antara teks proklamasi dan isi teks deklarasi. Tidak seperti terhadap proklamasi, banyak pemimpin kita (politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) kerap mengkhianati deklarasi kemerdekaan yang menjadi "suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita" itu.
Banyak dari mereka setelah terpilih sebagai pemimpin rupanya lebih sering gagal "untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial" (Alinea IV Pembukaan UUD 1945).
Deklarasi yang Ideologis
Berbeda dengan teks deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang jelas mengatakan tak ada sesuatu pun yang berhak merebut hak setiap orang untuk mengejar kebahagiaan pribadinya, maka teks deklarasi kemerdekaan Indonesia bertitik tekan untuk "memajukan kesejahteraan umum." Sebagai sebuah teks, deklarasi kemerdekaan, kita menegaskan watak ideologis yang komunitarian demokratik, bukannya individualisme demokratik.
Dalam sebuah kajian yang dibuat Harvard Business School, disebutkan, apa pun namanya, di dunia ini ada dua tipe ideologi, yaitu individualisme dan komunitarianisme. Jika individualisme lebih menekankan pada persamaan kesempatan, berbasis kontrak, hak-hak milik, daya saing untuk memuaskan kebutuhan konsumen (yakni sebagian dari masyarakat yang punya daya beli), dan peran minim dari negara, maka komunitarianisme demokratik lebih menekankan persamaan hasil (yang diharapkan kesejahteraan umum bisa maju dan kecerdasan bangsa bisa diraih), hak dan kewajiban anggota komunitas, memuaskan kebutuhan seluruh komunitas (terlepas punya daya beli atau tidak), peran aktif negara, serta bersifat holistik atau saling tergantung antarmanusia, dan manusia dengan alam.
Dari tugas pemerintahan yang hendak didirikan oleh sebuah Indonesia yang merdeka, pesan ideologis yang terkandung adalah Pancasila merupakan bagian dari tipe ideologi yang komunitarian demokratik yang menekankan peran aktif negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Studi dari Harvard itu juga menunjukkan, dalam kajian terhadap sembilan negara, justru negara-negara yang tradisi komunitarianisme demokratiknya paling tinggi, yaitu Jepang, Korea, Taiwan, dan Jerman, adalah negara yang paling kompetitif dalam mengatasi ketertinggalannya dalam pembangunan ekonomi dan karakter bangsanya pada era seusai Perang Dunia II.
Karena itu, perlu kiranya kita menggunakan momentum refleksi kemerdekaan ini untuk sungguh-sungguh berpikir dan berbuat berdasarkan pikiran yang sehat. Pikiran dan perbuatan yang sehat seyogianya memaknai kemerdekaan sebagai sebuah tindakan dan kehendak (atau tekad) sekaligus untuk semakin pantas kita mengklaim diri merdeka. Dalam hal ini adalah memerdekakan sebuah komunitas bangsa yang dicirikan oleh kecerdasan dan kesejahteraan umumnya yang meningkat, yang segenap dirinya dilindungi secara sengaja oleh pemerintahnya dalam sebuah negara yang sudah dimerdekakan melalui proklamasi. Inilah fungsi dan guna dari sebuah deklarasi kemerdekaan.
Perkara logika
Menurut hemat penulis, kehendak untuk mewujudkan kemerdekaan komunitas bangsa sebagai amanat deklarasi kemerdekaan bukanlah perkara etika, melainkan perkara logika.
Karena berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah asing yang menjajah kita yang bermaksud "mencerdaskan" dan "menyejahterakan" bangsa jajahan melalui "politik balas budi/politik etis," Pemerintah Indonesia tidak diminta berbuat etis atau membalas budi rakyatnya sendiri saat melindungi dan memajukan kesejahteraan umum mereka.
Ini adalah urusan yang logis sekaligus ideologis dari sebuah pemerintahan yang masih mau disebut sebagai pemerintah negara Indonesia. Karena ia sudah tertulis dalam bacaan pendahuluan kitabnya bangsa Indonesia merdeka, yakni Pembukaan UUD 1945 atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
Leaders, you were elected not only to lead but also to read. Dirgahayu Indonesia.
Budiman Sudjatmiko Direktur Eksekutif ResPublica Institute; dan Departemen Pemuda dan Mahasiswa DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Rabu, 15 Agustus 2007.