Sembilan tahun hidup di bawah payung “demokrasi,” telah nyata kehidupan rakyat tak kunjung membaik. Setumpuk masalah berserakan, sedikit penyelesaian yang dilakukan. Kekerasan politik tak henti menyeruak, identitas politik sektarian menjadi sandaran palsu kegalauan hidup, pengabaian hak-hak ekonomi-sosial-budaya makin parah, militerisme makin telanjang, hukum yang diskriminatif dipertontonkan setiap saat, serta pemerintahan yang letoy di hadapan kuasa kapital.
Inilah pemandangan sehari-hari yang kasat-mata, yang melahirkan keraguan dan pesimisme akut terhadap eksperimen demokrasi yang tengah berlangsung. Demokrasi dipandang tak lebih sebagai kendaraan dari elite (politik dan bisnis), oleh elite dan untuk elite. Dan sebagai turunannya, demokrasi pun ditafsirkan secara salah kaprah. Caci-maki dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, kekerasan fisik terhadap lawan politik dinilai sebagai perwujudan kebebasan berekspresi, dan perampokan terhadap hak-hak ekonomi rakyat dipandang sebagai bagian dari hak asasi manusia. Lucunya juga, pembungkaman terhadap kebebasan ditafsirkan sebagai cara melindungi kebebasan itu sendiri.
Perbincangan soal demokrasi, pada akhirnya bermula dari pesimisme lalu berujung pada pembangkangan terbuka maupun terselubung. Lantas, bagaimana gerakan progresif memaknai demokrasi? Sebagian masih menyimpan harapan: jika lembaga-lembaga demokrasi telah tertata dan diisi oleh personel-personel yang berkomitmen pada demokrasi, tak perlu ada keraguan atasnya. Sebagian lain mulai tiba pada pesimisme. Riky Akira, ketua divisi jaringan dan hubungan internasional KP Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), misalnya, dalam artikel bertitel “Ideologi Partai Politik di Indonesia” mengatakan, pragmatisme dan oportunisme yang merajalela di kalangan partai politik saat ini disebabkan oleh diterapkannya sistem demokrasi Barat di Indonesia. Inilah kutipannya,
“…..saya berpendapat bahwa dengan iklim demokrasi di Indonesia saat ini yang mempergunakan sistem politik dari barat yang telah terbukti gagal, membawa dampak tidak ada kemajuan yang berarti bagi masyarakat untuk terpenuhi hak-hak dan terlaksananya demokrasi secara ekonomi dalam arti pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan.”
Kedua posisi ini menurut hemat saya agak problematik. Posisi pertama terkurung pada sangkar emas idealisme demokrasi prosedural, yang terbukti abai terhadap kemiskinan, kesenjangan sosial, dan partisipasi politik rakyat secara luas. Posisi ini juga membiarkan dirinya terus bergumul di pinggiran kekuasaan, merasa cukup puas sebagai pengamat-penggembira. Sementara posisi kedua terjerumus pada partikularisme, seakan-akan ada demokrasi yang bukan Barat, yang terpisah, yang khusus, yang unik. Pandangan ini alpa bahwa partikularisme merupakan salah satu pondasi bangunan rejim otoritarian, totaliter, atau bahkan fasistik. Posisi ini juga membangun sebuah optimisme spekulatif, bahwa ada jalan lain di luar proses demokrasi. Sementara sejarah dengan akurat mencatat, tidak ada revolusi dalam sistem politik yang terbuka.
Perspektif Teoritis
Secara prinsipiil, tidak ditemukan dasar teoritis yang menyebabkan gerakan progresif mesti berpaling dari sistem demokrasi.
Friedrich Engels, misalnya, di tengah-tengah gemuruh revolusi Jerman pada 1947, menyeru kepada massa proletariat, bahwa tugas pertama proletariat dalam revolusi adalah menempatkan demokrasi dalam kekuasaan. Di sini, menurut tafsiran Hal Drapper, Engels memaknai demokrasi sebagai koalisi kelas yakni, aliansi dari proletariat, borjuis kecil, dan petani kecil di bawah kepemimpinan kelas proletariat.
Demikian juga ketika diminta menyusun draft untuk Manifesto Komunis (yang disebut Prinsip-prinsip Komunisme), Engels kembali mengajukan posisi teoritiknya ini. Memang Manifesto, yang merupakan karya bersama Marx dan Engel, tidak mencantumkan gagasan Engels ini secara tersurat tapi, semenjak Maret 1948, Marx secara energik mempraktekkan posisi teoritik Engels itu. Tulis Drapper,
“Thus for Marx, as for the entire left of 1848 in different ways, the dynamic of revolution centered around the basic goal, which was the victory of democracy, the ascendancy of democracy, the dominant of democracy…..”
“Jadi bagi Marx, sebagaimana yang juga dianut oleh seluruh kalangan kiri pada 1848 dengan jalan yang berbeda, dinamika revolusi berpusat disekeliling tujuan dasar yakni, memenangkan demokrasi, menempatkan demokrasi pada kekuasaan, menjadikan demokrasi sebagai yang dominan……”
Komitmen Marx pada demokrasi ini, diperkuat oleh studi Shlomo Avineri, yang mengatakan, “apa yang Marx istilahkan sebagai “demokrasi” sesungguhnya secara fundamental tidak berbeda dari apa yang kemudian ia sebut sebagai “komunisme.”
Kita tinggalkan Marx dan Engels, menjumpai Rosa Luxemburg, perempuan progresif revolusioner dari Jerman. Bagi Rosa, demokrasi merupakan batu alas berdirinya sosialisme, demikian sebaliknya. Komitmen Rosa ini dituangkannya, dalam salah satu ungkapannya yang paling terkenal, “tidak ada sosialisme tanpa demokrasi; tidak ada demokrasi tanpa sosialisme.” Komitmen yang sama pada demokrasi juga ditunjukkan oleh Karl Kautsky, suksesor Engels di Partai Sosial Demokratik Jerman. Terlepas dari tudingan Lenin terhadap posisinya yang “memuja parlemen/parlementarism,” hal itu tetap menunjukkan benang merah dari garis pemikiran Marx dan Engels.
Kini kita melangkah pada Lenin, figur yang dianggap paling bertanggung jawab atas perilaku politik revolusioner yang menghancurkan dan penuh kekerasan. Dalam surat polemiknya terhadap P. Kievsky (Y.Pyatakov), Lenin mengatakan “Kapitalisme dan imperialisme hanya bisa dijatuhkan melalui revolusi ekonomi. Mereka tidak bisa dikalahkan melalui transformasi demokratik bahkan yang paling “ideal” sekalipun.” Tetapi, Lenin segera menambahkan, “proletar yang tidak terlatih atau terpelajar dalam perjuangan demokrasi, tidak akan sanggup menjalankan revolusi ekonomi.” Pada bagian lain dari surat tersebut, Lenin menegaskan, tindakan-tindakan revolusioner seperti, pengambilahan perbankan atau penghapusan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, “tidak bisa diterapkan tanpa mengorganisir keseluruhan rakyat untuk pengaturan secara demokratis alat-alat produksi yang disita dari brojuasi, tanpa melibatkan massa rakyat pekerja, kaum proletar, semi-proletar, dan petani kecil ke dalam posisi-posisi organisasi demokrasi, organisasi kekuasaan, dan dalam partisipasinya terhadap masalah kenegaraan.”
Kita lihat, bagi Lenin demokrasi adalah pondasi dari bangunan politik lebih lanjut. Jika pondasi ini keropos, keropos pula bangunan tersebut. Di sini, Lenin memperkuat posisi Rosa dengan mengatakan,
“For socialism is impossible without democracy because: (1) the proletariat cannot perform the socialist revolution unless it prepares for it by the struggle for democracy; (2) victorious socialism cannot consolidate its victory and bring humanity to the withering away of the state without implementing full democracy.”
“Tanpa Demokrasi, mustahil terwujud sosialisme karena: (1) proletariat tidak bisa melakukan revolusi sosialis kecuali dengan mempersiapkan diri melalui perjuangan untuk demokrasi; (2) kemenangan sosialisme tidak bisa dikonsolidasikan sebagai kemenangan dan membawa kemanusiaan pada melenyapnya negara tanpa penerapan demokrasi penuh.”
Empat Level Demokrasi
Namun demikian, walaupun Marx, Engels atau Lenin bersetuju pada demokrasi, mereka juga merupakan kritikus utama dari apa yang mereka sebut “demokrasi borjuis” atau bahasa populernya “demokrasi liberal.”
Salah satu kritik Marx paling mendasar, demokrasi borjuis membentuk pemisahan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik (atau negara) berdasarkan pada persamaan politik tanpa persamaan sosial dan ekonomi. Akibatnya, demikian Marx, pengertian bentuk pemerintahan perwakilan di manifestasikan melalui pengisolasian dan pemisahan para delegasi dari para pemilihnya. Tulis Marx lebih lanjut,
“The deputies of civil society are a society which is not connected to its electors by any ‘instruction’ or ‘commission.’ They have authority as the repesentative of public affairs, whereas in reality they represent particular interest.”
“Perwakilan masyarakat sipil adalah mereka yang tidak memiliki kaitan dengan para pemilihnya, apakah melalui ‘instruksi’ atau ‘komisi.’ Mereka memiliki otoritas sebagai perwakilan kepentingan publik, sementara dalam kenyataannya mereka mewakili kepentingan khusus.”
Baik kita cukupkan kutipan ini sebagai contoh, betapa komitmen dan kritik adalah dua hal yang berbeda. Tetapi, dari kritik ini lantas muncul pertanyaan, “adakah demokrasi model lain di luar demokrasi borjuis atau demokrasi liberal?” menjawab soal ini, saya mau mengutip Galvano della Volpe, yang mengatakan, ada dua aspek atau jiwa dalam demokrasi modern.
Jiwa pertama, adalah kebebasan modern dan demokrasi dalam makna kebebasan sipil (politik) yang secara teoritis berhulu pada John Locke, Charles de Secondat, Baron de Montesquieu, Immanuel Kant, Wilhelm Humboldt, dan Benjamin Constant. Sementara, jiwa kedua adalah kebebasan sosial (egalitarian) yang dilembagakan oleh sosial demokrasi dan secara teoritis berpangkal pada Jean-Jacques Rousseau, dan lebih jelas tampak dalam karya-karya Marx, Engels, dan Lenin.
Dalam bahasa populer yang seringkali muncul di media-media Indonesia, demokrasi terdiri atas dua model besar: demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Yang prosedural sering dirujuk sebagai bentuk lain demokrasi liberal, sedangkan yang substantif dilekatkan pada penganut sosial demokrasi.
Pemilahan lebih rinci mengenai model-model demokrasi, dikemukakan Atilio Boron, ilmuwan politik asal Argentina. Dalam artikelnya, “The Truth about Capitalist Democracy,” Boron membagi demokrasi atas empat level: pertama, yang paling terbatas dan sederhana yakni, demokrasi elektoral (electoral democracy). Pada level ini, demokrasi ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antar partai, guna memperebutkan suara pemilih. Level demokrasi ini mengabaikan masalah isi, dan semata-mata ditujukan untuk menempatkan para wakil terpilih pada posisi-posisi puncak legislatif dan eksekutif.
Demokrasi level satu inilah, yang senyatanya berlangsung selama sembilan tahun reformasi ini. Pesta dan hiruk-pikuk kumpulan massa secara periodik lima tahunan, adalah contohnya. Setelah itu, para wakil inilah yang berkuasa. Termasuk berkuasa atas mereka yang diwakilinya. Lantas siapa yang mengontrol hari per hari para anggota perwakilan ini? Di sini George Soros benar, ketika beberapa saat sebelum pemilu presiden di Brazil, mengatakan, “rakyat Brazil bisa memilih apa yang mereka inginkan setiap dua tahun tapi, pasar memilih setiap harinya, dan presiden yang terpilih, siapapun adanya dia, harus memperhatikan kritik dari pasar itu.” Dengan demikian, pada level ini, “Pasarlah yang sesungguhnya memiliki kekuasaan nyata, sementara demokrasi tak lebih sebagai ornamen pelengkap,” tulis Boron.
Level kedua demokrasi disebutnya, demokrasi politik (political democracy). level ini sedikit lebih maju dari level pertama melalui pembentukan rejim politik yang pada derajat tertentu, mampu tampil sebagai perwakilan politik yang efektif, melaksanakan pembagian kekuasaan secara murni, meningkatkan mekanisme partisipasi rakyat melalui gelar pendapat umum (referendum) dan kosultasi popular, memperkuat badan legislatif, menciptakan komisi-komisi khusus untuk mengontrol cabang eksekutif, menjamin hak rakyat untuk mengakses informasi, mengembangkan pembiayaan publik terhadap kampanye politik, membentuk lembaga-lembaga yang bisa meminimalisasi peran lobi dan kepentingan pribadi kelompok, dsb. singkatnya, demikian Boron, level kedua demokrasi ini bisa disebut sebagai “demokrasi partisipatoris” yang untuk beberapa tempat di Amerika Latin bisa berjalan.
Level ketiga demokrasi, oleh Boron disebutnya demokrasi sosial (social democracy). Level ini merupakan kombinasi dari elemen-elemen yang melekat pada dua level demokrasi sebelumnya, misalnya, kewargaan sosial, jaminan yang luas akan spektrum hak-hak warga negara seperti, standar hidup, akses terhadap pendidikan, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Meminjam observasi Gosta Esping-Andersen, Boron mengatakan, derajat indikator yang baik menyangkut keadilan sosial dan kewargaan yang efektif adalah “de-komodifikasi” penyediaan bahan-bahan dasar dan pelayanan yang memadai terhadap kebutuhan mendasar manusia, laki maupun perempuan. Dengan kata lain, demikian Boron, “de-komodifikasi” berarti seseorang bisa hidup tanpa tergantung pada pergerakan pasar yang sangat tidak bertanggung jawab,” dan kembali meminjam Esping-Andersen, “memperkuat buruh dan memperlemah kekuasaan majikan yang absolut.”
Level terakhir demokrasi, adalah demokrasi ekonomi (economic democracy). Saya menduga, level terakhir ini merupakan penghalusan dari apa yang disebut Lenin, revolusi ekonomi. Bagi Lenin, politik adalah konsentrasi ekonomi. Atau dalam kata-kata Boron, tidak ada sektor yang lebih bernilai politik ketimbang ekonomi. Dalam makna ini, pertarungan atau kompetisi politik, bukanlah semata-mata untuk politik itu sendiri, melainkan untuk memenangkan kontrol atas sumberdaya ekonomi yang terbatas. Maka mereka yang mengontrol ekonomi, dengan sendirinya mengontrol politik. Pengertian ini dengan jelas membalik argumen penganut demokrasi liberal, bahwa wilayah politik terpisah dari wilayah ekonomi.
Pada tahap ini, rejim yang berkuasa dimandatkan untuk menghapus keistimewaan yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang atas sumberdaya ekonomi, dan membuka akses yang luas kepada mayoritas untuk mengontrol dan mengendalikan sumberdaya ekonomi yang terbatas itu. Dengan demikian, tidak ada lagi pemisahan antara politik dan ekonomi, atau masyarakat sipil dan politik. Dengan kontrol atas sumberdaya ekonomi yang menyebar, politik tidak lagi merupakan hal yang istimewa yang diperebutkan dengan taruhan nyawa.
Penutup
Berdasarkan uraian singkat ini, tidak ada alasan bagi kalangan progresif di Indonesia, untuk berpuas diri dengan kondisi yang ada. Tidak juga bermain-main dengan pesimisme apalagi pembangkangan terhadap sistem demokrasi yang tengah berjalan.
Yang perlu dilakukan adalah, mendorong, memperluas, dan memperdalam cakupan demokrasi liberal saat ini, hingga setahap demi setahap meningkat kualitasnya ke level yang lebih tinggi. Di sini kesabaran dan ketepatan dalam merumuskan agenda-agenda politik dan strategi-taktik perjuangan, sangat diutamakan. Ini yang kita tunggu dari kalangan progresif di Indonesia.
Kepustakaan:
Atilio Boron, “The Truth about Capitalist Democracy,” in Leo Panitch and Colin Leys (ed)., “Telling the Truth,” Socialist Register, 2006.
Doug Lorimer, "Imperialist Economism, Democracy and the Socialist Revolution: A response from Doug Lorimer,"
The Activist - Volume 10, Number 2, February 2000.
Galvano della Volpe, "Roesseau and Marx and Other Writings," London, Lawrence and Wishart, 1976.
Hal Drapper, “Karl Marx’s Theory of Revolution Vol. III: The Dictatorship of the Proletariat,” Monthly Review Press, 1986.
Peter Roman, “People’s Power Cuba’s Experience with Representative Government,” Updated Edition, Rowman and Littlefield Publisher, Inc, USA, 2003.
Lucio Colletti, “From Roussesau to Lenin Studies in Ideology and Society,” Monthly Review Press, NY, 1874.
Riky Akira, “Ideologi Partai Politik di Indonesia,” http://rakyatpekerja.blogspot.com/2007/05/ideologi-partai-politik-di-indonesia.html
Shlomo Avineri, “The Social & Political Thought of Karl Marx,” Cambridge University Press, 1968.