Kebebasan politik yang tersedia di masa reformasi, telah mendatangkan berkah bagi kebangkitan gerakan sosial di Indonesia. Termasuk di dalamnya, gerakan buruh. Ada begitu banyak organisasi buruh yang tumbuh, ada begitu sering demonstrasi buruh terjadi. Soalnya, sejauhmana iklim kebebasan itu secara optimal dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya pembangunan gerakan buruh?
Untuk mendedah lebih jauh soal ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, mewawancarai DR. Vedi Renandi Hadiz, associate professor di Universitas Nasional Singapura, yang banyak mencurahkan waktunya untuk meneliti gerakan buruh di Indonesia dan Asia Tenggara.
IndoPROGRESS (IP): Apa yang membedakan perjuangan gerakan buruh masa rejim Orde Baru (Orba) dengan masa reformasi?
Vedi R. Hadiz (VRH): Yang pertama, sifatnya lebih terbuka karena sistem politik yang represif tidak lagi berlaku seperti dulu. Di masa Orba, organisasi buruh sebagian besar harus bekerja secara diam-diam. Buruhnya juga takut dengan tentara atau polisi. Sekarang represi sistematis seperti itu sudah berkurang -- walapun aparat resmi cenderung digantikan oleh aparat tidak resmi -- preman -- untuk menakuti buruh dan aktivis. Kedua, sekarang jauh lebih banyak organisasi buruh yang berdiri secara formal dan bentuknya juga amat beragam. Tapi itu tidak berarti bahwa organisasi buruh tersebut semuanya efektif -- karena banyak yang hanya papan nama.
IP: Secara lebih spesifik, bisakah perbedaan itu dijelaskan dari sudut politik dan organisasi?
VRH: Secara organisasional sekarang banyak federasi serikat buruh dan serikat buruh, yang di zaman Orba dianggap melanggar tatanan yang berlaku di bawah hubungan industrial pancasila. Banyak juga serikat buruh lokal dan serikat buruh di tingkat perusahaan. Singkatnya, kompisisi gerakan buruh sangat beraneka ragam. Namun secara politik perubahannya tidak terlalu besar. Gerakan buruh masih dimarjinalkan dari arus utama proses politik.
IP: Pada masa reformasi ini, ada ruang kebebasan yang cukup bagi serikat buruh untuk mengekspresikan kepentingannya tapi, mengapa kedudukan serikat buruh tetap lemah di hadapan kepentingan korporasi?
VRH: Pertama, warisan politik Orde Baru ternyata cukup lama bertahan, dan aktor yang bergerak di gerakan serikat buruh masih belum bisa melepaskan diri dari warisan tersebut. Sebagian besar gerakan buruh berkembang dalam suasana otoriter, di mana strategi bergerak secara diam-diam dan tanpa bentuk yang terlalu jelas amat berguna untuk menghindari tangan besi aparat represif negara. Mungkin gerakan buruh belum mampu mentransformasikan dirinya dan strategi-strategi yang ditempuhnya agar lebih cocok dengan suasana paska-otoriterisme.
Kedua, gerakan buruh bersifat amat terfragmentasi -- dari dulu. Kadang-kadang sumber fragmentasi itu sangat tidak bermutu, seperti rivalitas pribadi; dan ketiga, dampak tingkat pengangguran dan setengah-pengangguran yang amat tinggi memang mempersulit kemajuan dalam hal berorganisasi karena buruh merasa amat rentan terhadap pemecatan. Selain itu, di tingkat nasional maupun lokal elite politik masih berkepentingan untuk membatasi kekuatan gerakan buruh sebagai sarana untuk mengadakan aliansi dengan pemodal.
IP: Saat ini, ada kebebasan politik tapi, juga terjadi krisis ekonomi yang parah. Anda bebas bicara tapi, setiap saat bisa dipecat dan ada barisan panjang yang bersiap mengisi posisi Anda. Apa yang mesti dilakukan gerakan buruh dalam keadaan seperti itu?
VRH: Ya memang ini kesulitannya. Tetapi, secara historis, sebetulnya banyak gerakan buruh yang tumbuh relatif kuat, seperti di Amerika Latin, dalam kondisi labour surplus yang cukup parah. Jadi aspek ekonomi ini memang mempengaruhi secara negatif kemungkinan munculnya gerakan buruh yang lebih efektif, tetapi tidak secara deterministis. Pada akhirnya masalah ini hanya bisa diatasi, walau hanya untuk sebagian, apabila gerakan buruh bisa lebih menyatu dan memadukan sumber daya yang ada secara kesuluruhan.
Misalnya, harus ada mekanisme sehingga aktivis buruh yang dipecat dari perusahaan karena kegiatannya dapat ditampung sebagai organiser atau setidaknya dijamin tidak akan telantar nasibnya untuk sementara. Kalau tidak, setiap aktivis buruh yang sudah matang, selalu harus diganti dengan orang baru yang harus mengalami pendidikan lagi lewat pengalaman baru. Akibatnya kualitas aktivis berjalan di tempat alias tidak mengalami kemajuan.
IP: Satu hal yang paling terasa di masa reformasi ini, gerakan buruh tidak memiliki perwakilan politik yang kuat. Gerakan buruh lebih banyak menyerahkan aspirasi politiknya pada partai yang secara tradisional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan perjuangan kepentingan buruh. Mengapa ini terjadi?
VRH: Karena parpol tidak ada yang mengganggap gerakan buruh secara serius. Tidak ada satu atau sejumlah organisasi buruh yang menyatu, yang mempunyai otoritas untuk “bernegosiasi” dengan elite atas nama kaum buruh. Jadi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa buruh akan menyalurkan suara dan aspirasinya sebagai satu blok yang relatif kokoh. Suara dan aspirasi buruh terpencar-pencar di antara banyak partai yang ada. Dengan demikian gerakan buruh masih belum mempunyai posisi tawar menawar yang baik dengan elite politik.
IP: Terakhir, ada begitu banyak serikat buruh di Indonesia. Ada begitu banyak lembaga yang mengadvokasi kaum buruh. Sejauh mana hal ini berkorelasi dengan pembangunan gerakan buruh yang kuat?
VRH: Belum tentu ada korelasinya sama sekali, karena banyak serikat buruh yang hanya berpapan nama. Juga, fragmentasi dan rivalitas yang kadang-kadang tidak bermutu bisa meningkat. Malah komponen gerakan buruh bisa saling diadu oleh elite politik yang menginfiltrasi gerakan buruh.***