Secara tradisional, kaum intelektual di Cina menempati peran yang menentukan dalam lingkungan politik maupun sosial. Pada masa kejayaan dinasti kekaisaran, para intelektual ini berperan penting dalam menulis kejayaan dinasti baru dan menyediakan fakta-fakta meyakinkan mengenai sebab-sebab keruntuhan dinasti sebelumnya.
Setelah terjadi revolusi pada 1949, kehidupan intelektual mengalami pasang surut. Dari sudut strata sosial, kaum intelektual menempati strata kesembilan dalam struktur baru masyarakat pasca revolusi. Pada masa-masa ini, tugas kaum intelektual adalah melayani kerja-kerja partai dan revolusi. Dalam bahasa He Qing-lian, tugas utama kaum intelektual adalah melayani kepemimpinan Mao Zedong, dalam melanjutkan tugas-tugas revolusi.
Bukan berarti kaum intelektual tidak memperoleh kebebasan berekspresi. Menurut John Gittings, Mao sendiri adalah orang yang sangat menghargai mereka yang disebut sebagai distinguished artist and scholars ini. Pada pertengahan dekade 1950-an, kaum intelektual memenangkan kepercayaan para pemimpin revolusi. Ketika Zhou Enlai, menggelar kampanye The Hundred Flowers, kaum intelektual Cina memperoleh ruang kebebasan yang cukup lebar. Pada masa ini, seperti kata Zhou Enlai, kaum intelektual menjadi buruh pemerintah dalam melayani sosialisme dan menjadi bagian dari kelas pekerja.
Kondisi kehidupan di Universitas Beijing mengalami kemajuan. Semua orang bergembira pada tahun 1956. Kami berjuang keras dan berkonsentrasi penuh dalam membangun negara kami,” ujar Yue Daiyun, yang menjadi pengajar muda saat itu.
Tetapi, periode bulan madu ini tidak berlangsung lama. Mao melancarkan kritik keras terhadap kaum intelektual yang menurutnya, tak sanggup melepaskan dirinya dari “pandangan dunia borjuisnya,” dan kegagalannya menyatu dengan “kelas buruh-tani.” Sekitar 200 ribu intelektual yang berkaitan dengan The Hundred Flowers, dicap kanan dan dikirim bekerja ke daerah pinggiran untuk waktu yang lama. Kondisi kaum intelektual ini sedikit membaik pada awal 1960an tapi, kembali memburuk di masa Revolusi Kebudayaan.
Pada 1978, ketika Deng Xiaoping berhasil menyingkirkan faksi The Gang of Four, kaum intelektual memperoleh kembali ruang kebebasannya. Mereka yang dikirim ke daerah-daerah pinggiran dengan maksud untuk menyatu dengan petani, kini kembali masuk kampus.
Polarisasi Aliran
Reformasi ekonomi yang dikumandangkan Deng, dengan cepat melahirkan persoalan baru dalam seluruh sektor kehidupan Cina. Percepatan pertumbuhuan ekonomi sebagai buah dari keterbukaan pasar, tidak hanya melahirkan lapisan masyarakat baru yang diuntungkan tapi, juga berbagai problem sosial yang akut: korupsi, kesenjangan sosial, hedonisme, konsumtivisme, dan degradasi lingkungan, adalah sebagian contohnya. Di sisi lain, walaupun di bidang ekonomi rakyat Cina bebas bertransaksi, bebas menjalin hubungan dengan dunia luar, secara politik Cina tetaplah tertutup.
Menarik untuk dilihat bagaimana kaum intelektual merespon situasi baru yang serba kontradiktif ini. Kembali mengutip John Gittings, di masa reformasi, intelektual Cina terbelah antara dua kubu: reformis, dan konservatif. Kalangan reformis yang direpresentasikan pada diri Fang Lizhi, Wang Ruowang, dan Liu Binjan, adalah intelektual yang memandang jalan reformasi dan modernisasi yang ditempuh Deng, sebagai kondisi yang tak terelakkan. Bagi kelompok ini, pembagian masyarakat atas dua kelas dalam teori Marxis, kini tidak lagi efektif dalam membedah kondisi masyarakat modern.
Motor perubahan sosial bukan lagi kelas buruh tapi, seperti dikatakan Fang Lizhi, tugas itu kini terletak di pundaknya kaum intelektual. Konsekuensinya, terma seperti class consciousness atau kesadaran kelas sudah sepatutnya diganti dengan intellectual consciousness atau kesadaran intelektual.
Sedangkan menyangkut pembelahan tajam masyarakat atas minoritas kaya dan mayoritas miskin, dianggap sebagai konsekuensi dari modernisasi. Bahkan, lebih jauh lagi, seperti dikemukakan Wang Ruowang, pembelahan itu merupakan “bagian yang tak terelakkan dari pembangunan ekonomi.” “Yang terpenting,” demikian Wang, “apakah rakyat umum bisa melakukan diskusi publik bersama para pemimpin kita?”
Sebaliknya, bagi kalangan konservatif, ide-ide yang disebarkan oleh kaum liberal seperti modernisme, humanitarisme abstrak, pesimisme, egoisme, dan pembebasan seksual, tak lebih sebagai polusi spiritual. Beijing Daily, misalnya, menggambarkan masyarakat Barat sebagai setan sosial yang dicirikan oleh obat-obat terlarang, penyalahgunaan alkohol, pembunuhan dengan kekerasan, bunuh diri, perceraian, prostitusi, homoseksualitas, dan AIDS. “Rakyat Cina yang getol belajar dan menyerap sistem Barat,”demikian harian konservatif Guangming Daily, pada akhirnya hanya menjerumuskan Cina ke dalam masyarakat semi feodal dan semi kolonial dan menjadi obyek desain imperialis. Shenyang radio, pada 1987 menambahkan, “Sosialismelah yang membawa Cina, sebuah negeri yang sangat miskin dan terbelakang, berdiri dengan bangganya di antara bangsa-bangsa di dunia.”
Perdebatan intelektual ini berakhir dengan meletusnya demonstrasi mahasiswa di Tiananmen Square. Pasca digilasnya gerakan mahasiswa, kegairahan intelektual meredup. Sementara posisi partai dan negara di sekeliling ketua Deng, makin terkonsolidasi.
Gairah intelektual itu baru kembali muncul ketika kedutaan besar Cina di Belgrade, Yugoslavia, pada 1999 dibom oleh pasukan AS yang berada di bawah koordinasi NATO. Serangan itu menyulut kembali semangat patriotik rakyak Cina, sekaligus mempertanyakan kembali seluruh nilai-nilai yang dikandung barat. Tetapi pada saat yang sama, keterlibatan Cina dalam sistem kapitalisme global semakin dalam.
Situasi ini menjadi dilema yang harus disikapi kalangan intelektual Cina. Keterkaitan yang dalam pada kapitalisme global, telah mendorong ekonomi Cina berlari kencang menyusul ketertinggalannya dari negara-negara kapitalis maju lainnya. Ketika ekonomi Asia dilanda krisis pada 1997, Cina adalah satu-satunya negara yang perekonomiannya tetap stabil. Tetapi, pemboman terhadap kedubes Cina di Begrade, telah menghancurkan kepercayaan bahwa nilai-nilai Barat adalah acuan positif untuk keluar dari keterbelakangan ekonomi dan otokrasi politik.
Menurut Chaohua Wang, pada dekade 1990an kalangan intelektual terbelah antara garis “new left,” garis “liberal,” dan garis “teknokrat”. Nama-nama seperti Wang Hui, Gan Yang, Wang Xiaoming, Qian Liquin, dan Li Changping, mewakili spektrum new left. Sementara sisi liberal diwakili oleh figur seperti Zhu Xuegin, Qin Hui, He Qinglian, Xiao Hue Hui, dan Wang Yi. Adapun kalangan teknokrat sebagian besar para ekonom, adalah mereka yang kurang lebih terlibat dalam pembuatan kebijakan pemerintah, pasukan garda depan dalam membela sistem politik otoritarian karena menganggap rejim yang ada telah bekerja mati-matian dalam memarketisasi masyarakat.
Lantas apa perbedaan antara intelektual new left dan intelektual liberal? Zhu Xuegin mengatakan akar perbedaan antara keduanya adalah: kelompok new left memfokuskan kritiknya pada sistem pasar, sementara kelompok liberal lebih mengutamakan reformasi sistem politik.
Sebuah taksonomi lain mengenai kaum intelektual Cina di era 1990an, dikemukakan He Qinghian. Menurutnya, elite intelektual Cina saat ini terbagi atas kelompok komersial, kelompok sinis, kelompok populis, dan kelompok konservatif.
Kelompok pertama, adalah mereka yang memiliki hubungan erat dengan lingkaran pembuat kebijakan, dimana mereka cenderung memainkan dua peran: mengilmiahkan proposal yang mempromosikan kepentingan tertentu sebagai sebuah “new general theory,” dan menciptakan kebingungan di masyarakat luas. Adapun kelompok sinis, adalah mereka yang pengetahuannya tentang problem-problem aktual masyarakat sangat terbatas. Kritisisme sosialnya cenderung sangat radikal tapi tidak fokus pada isu-isu empiris. Dibandingkan dengan dua aliran ini, intelektual populis relatif kurang terlatih secara teoritis. Banyak di antaranya terus terkungkung dalam ideologi lama, dan gagal untuk bergerak maju di luar batas-batas perjuangan kelas versi Marxisme Cina. Dalam kaitan ini, mereka lebih dekat pada kategori konservatif.
Refleksi
Pada 1999, bertempat di Harvard University AS, diselenggarakan sebuah dialog dengan tema “A Dialogue in The future of China.” Pembicara utama dalam dialog itu adalah tiga orang veteran dalam gerakan 4 Juni 1989: Wang Dang, Li Minqi, dan Chaohua Wang. Wang Dang adalah mahasiswa doktoral program studi Cina di Harvard University; Li Minqi adalah doktor ekonomi lulusan University of Massachusetss, dan pengajar di York University, Kanada; Sementara Chaohua Wang adalah kandidat doktor sastra Cina Modern di University of California, Los Angeles.
Salah satu tema yang didialogkan saat itu, menyangkut peran intelektual Cina pasca Mao, terutama menyangkut kegagalan gerakan 4 Juni. Menarik untuk mendengarkan pendapat Li Minqi bahwa “kalangan intelektual Cina, mirip dengan rekan-rekannya di Uni Soviet dan Eropa Tengah. Mereka lebih enjoy hidup di negara kapitalis ketimbang di masyarakat sosialis. Jadi, jangan heran jika pada akhir 1980an, sebagian besar intelektual Cina merayakan kemenangan jalan kapitalis di Cina.”
Tetapi hal itu bukan tanpa sebab. Pengalaman buruk di masa Mao, membuat kalangan intelektual Cina, sangat takut dengan apa yang disebut mobilisasi massa. Jadi, walaupun mereka tidak bahagia dengan kondisi Cina saat ini, tetap saja situasinya lebih baik dibandingkan dengan hidup di bawah Mao. Tidaklah aneh jika tuntutan kalangan intelektual adalah kebebasan dan demokrasi. Dengan tersedianya dua hal ini, secara politik, kekuasaan mereka akan makin besar. Itu pula sebabnya, kata Li Minqi, mereka tidak pernah bersungguh-sungguh untuk aktif memobilisasi kelas pekerja dan menuntut tata sosial ekonomi yang adil.
Dengan kata lain, merupakan kekeliruan yang fatal, jika mengharapkan kaum intelektual sebagai motor perubahan sosial di Cina.***
Kepustakaan:
Chaohua Wang (ed.), “One China, Many Paths,” Verso, London, 2003.
John Gittings, “The Changing Face of China From Mao to Market,” Oxford University Press, 2006.