Beno Widodo: Kelas Pekerja Perlu Perjuangan Politik

Sejak rejim Soeharto dilengserkan pada 21 Mei 1998, gerakan buruh menikmati ruang demokrasi yang relatif lebar. Buruh kini bebas beroganisasi, bebas berekspresi, dan juga bebas berdemonstrasi. Sesuatu yang terkutuk di masa rejim Soeharto.

Tetapi, soalnya sejauh mana ruang keterbukaan dan kebebasan itu memperkuat posisi tawar buruh di hadapan kapital? Bagaimana strategi klas pekerja menghadapi dominasi dan kuasa kapital yang didukung negara? Untuk membedah soal ini, berikut wawancara kolektif pimpinan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), dengan Beno Widodo, sekretaris jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP): Apa definisi ‘klas pekerja’ menurut anda?

Beno Widodo (BW): Klas merupakan dialektika bentuk ekonomi politik dalam sejarah panjang perkembangan masyarakat. Dan ini terbentuk jauh berabad-abad lalu, yang telah membagi masyarakat ke dalam dua bentuk yaitu, penindas/penguasa dengan yang tertindas. Dalam artian, penindas/penguasa adalah klas yang menguasai alat-alat produksi, sedangkan yang tertindas adalah klas yang hanya menjual tenaga/keahliannya untuk bertahan hidup. Karakter inilah yang saling membedakan dari keduanya, antara reaksioner dengan revolusioner.

PRP: Maksud anda antara reaksioner dengan revolusioner?

BW: Klas yang tertindas atau klas pekerja memiliki budaya kolektif (bersama-sama) dan egaliter (persamaan), dimana budaya ini telah mengakar dan menjadi sebuah karakter yang kuat di dalam kehidupannya. Perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penuh dengan kerja keras serta keuletan dan ini merupakan cerminan dari watak yang revolusioner. Berbeda dengan klas penguasa, yang lebih mengandalkan kepemilikannya akan alat-alat produksi, karena bagi mereka (klas penguasa) hal yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk mempertahankan kekayaannya. Di era perbudakan, untuk menghindari perlawan para budak belian, sang majikan pun harus tega untuk mengekang kebebasan budak-budaknya sendiri. Begitu pula di era kapitalisme seperti saat-saat ini. Dengan semangat neoliberalisme, sang kapital (pemilik modal/penguasa) memiliki motif yang sama yaitu, mengekang kebebasan klas pekerja di dalam lingkungannya sendiri, melalui sebuah institusi hukum yang dilahirkan oleh sebuah negara yang memihak kapital. Sebagai contoh adalah UUK No.13/2003 yang mencerminkan praktek-praktek kejam klas penguasa (pemodal) terhadap klas pekerja. Melalui UU itu, sistem kerja kontrak dan outsourching dilegalkan sehingga, semakin menghilangkan cita-cita untuk dapat hidup damai dan sejahtera bagi klas pekerja.

PRP: Lalu bagaimana cara yang seharusnya dilakukan oleh klas pekerja dalam memandang UUK No.13/2003 ini?

BW: Kapitalisme adalah corak yang berbasiskan modal yang memroduksi komoditi (barang dagangan) untuk dijual dan meraup keuntungan. Sedangkan, di dalam proses produksi sendiri membutuhkan tenaga kerja (buruh) yang bekerja penuh untuk mengubah bahan mentah menjadi sekian banyak komoditi yang memiliki nilai di pasar. Artinya, ada dua unsur yang terdapat di dalam kapitalisme yaitu, modal (uang dan alat-alat produksi seperti pabrik atau mesin-mesin) dan tenaga kerja, sehingga dengan demikian, dengan logika kapital, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar adalah dengan menekan modal seminimal mungkin sembari meningkatkan produktifitas (jumlah produksi). Inilah akar permasalahan di dalam proses produksi kapitalisme. Dan ini pula yang menjadi salah satu kekuatan bagi negara untuk melahirkan UUK N0.13/2003.

Sedangkan yang kedua, adalah desakan dari kekuatan-kekuatan modal internasional, akibat krisis kapitalisme global yang menyapu bersih perekonomian bangsa-bangsa dunia. Sebagai konsesi yang harus diterima akibat ketertundukan terhadap modal internasional (perusahaan multi nasional, MNC: multi nasional coorporation), yang tertuang di dalam kesepakatan-kesepakatan (LoI, MoU) antara pemerintah dengan badan-badan organisasi dunia (WB, CGI, WTO), pemerintah dipaksa menghapus segala kebijakan yang sifatnya sosial serta meratifikasi semua kebijakan industrialisasi (UUK, UU Penanaman Modal Asing, dan UU Jamsostek) dan masuk ke dalam jaring Labour Market Flexiblety (LMF). Artinya, cara-cara kapitalis untuk mengatasi krisis ini adalah dengan memangkas segala bentuk kesejahteraan klas pekerja serendah mungkin serta, menghapuskan jaminan dan keselamatan kerja. Bahkan, tidak hanya itu, untuk terus menghilangkan tanggung jawab kapitalis terhadap klas pekerja dan yang tengah berkembang saat-saat ini, adalah membangun kerjasama dengan perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja, sehingga klas pekerja pun semakin tidak memiliki nilai tukar terhadap sang kapitalis. Inilah yang termaktub didalam UUK No.13/2003 dengan sistem kontrak dan outsourching.

PRP: Lalu bagaimana dengan revisi UUK itu sendiri?

BW: Esensinya tidaklah berbeda dengan UUK itu sendiri yaitu, tetap menindas klas pekerja dengan menghapuskan jaminan serta kesejahteraan klas pekerja.

PRP: Jika demikian, bisakah klas pekerja mengubahnya? Jika bisa dengan cara apa?

BW: Kontradiksi yang ada di dalam corak kapitalisme ini adalah antara klas pekerja sebagai klas yang tertindas berhadapan dengan klas pemilik modal (kapital/penguasa/pengusaha). Dan ini tidak mungkin bisa terdamaikan. Klas yang berkuasa, misalnya, tidak akan mungkin secara sukarela bersedia mengalah, membagi atau menyerahkan kekuasaannya kepada klas yang lain (klas pekerja).

Di Indonesia, keseriusan pemerintah untuk membangun keterpurukan ekonomi akibat krisis global adalah dengan menanggok hutang serta memangkas hak-hak klas pekerja (subsidi) dan ini bukanlah satu hal yang mampu menyentuh pokok permasalahan yang ada. Jerat kapitalisme harus dilawan dengan kekuatan yang terstruktur dan bahkan hingga saat ini kekuatan-kekuatan tersebut barulah mencapai tingkat sektoral. Untuk itu perlu satu kekuatan politik yang di dalamnya terhimpun berbagai macam kekuatan dan yang harus dikuasai oleh klas pekerja sendiri sebagai sentral perjuangan politik klas pekerja.

Inilah agenda yang mendesak bagi klas pekerja untuk menandingi kekuatan negara dan hanya alat ini pula yang mampu merumuskan arah perjuangan politik dengan tepat menuju demokrasi klas pekerja.***


Wawancara ini sebelumnya dimuat di situs blog http://rakyatpekerja.blogspot.com,
Wednesday, April 4, 2007