Solidaritas Bolivarian

Coen Husain Pontoh

September 2006. Havana, ibukota Kuba, tampak sibuk dari biasanya. Setiap pagi, bunyi sirene mobil polisi meraung-raung di jalanan kota.

Saat itu, Kuba sedang menjadi tuan rumah bagi para pemimpin negara-negara anggota gerakan non-blok. Pertemuan tingkat tinggi ke-14 itu, dilaksanakan dari tanggal 11-14 September 2006. Dari Indonesia, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memimpin langsung rombongan. Tapi, yang jadi bintang dalam pertemuan tingkat tinggi itu, adalah Hugo Chavez Frias, presiden republik Bolivarian Venezuela.

Dalam pidato dua jam tanpa teks, yang sering diimbuhi dengan cuplikan kata-kata puitis, Chavez benar-benar memukau para audiens yang – entah kenapa – sangat senang dengan gaya berbicara yang kaku dan formal. Tapi, dibalik retorikanya itu, Chavez tidak kehilangan ketegasan akan perlawanannya terhadap dominasi asing. Kali ini, yang menjadi sasaran tembaknya adalah IMF dan Bank Dunia.

“We don’t accept the kind of development the World Bank dan International Monetary Fund want to push on us to change our hope, our souls, and our pain,” begitu ujarnya.


Akibat dari pernyataan kerasnya itu, menurut Jose Guerra, mantan kepala departemen riset Bank Sentral Venezuela, IMF telah menempatkan Chavez sebagai musuh nomor satunya di kawasan Amerika Latin. Dengan menentang IMF, berarti Chavez kini berhadapan muka dengan kartel kreditor yang sangat berkuasa. Sebuah kartel, yang menurut ekonom Mark Weisbrot, bekerja tidak secara konspiratif namun, lebih pada pengaturan-pengaturan informal – tidak tertulis dalam undang-undang atau dalam piagam-piagam mengenai lembaga keuangan – tapi secara umum sangat efektif. Lebih dari itu, IMF sebagai pemimpin dari kartel ini, menjadi rujukan utama para kreditor untuk mengucurkan dananya. Sekali IMF berpendapat negatif, bisa dipastikan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, bank-bank regional seperti Inter-American Development Bank, pemerintah negara-negara G-7, dan investor-investor swasta, akan menahan diri dalam melepas bantuan dana dan hibah.

Situasi inilah yang paling ditakutkan oleh mereka yang berniat melakukan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang didiktekan IMF. Lebih-lebih di Amerika Latin, dimana ketergantungan struktural negara-negara di kawasan itu terhadap kreditor asing telah sedemikian dalam. Melawan berarti bunuh diri.

Apa yang terjadi dengan pemerintahan Lula di Brazil, kiranya menarik diperhatikan. Kemenangan Lula yang berasal dari Partai Buruh dalam pemilu presiden, telah mendatangkan banyak harapan. Bahwa model pembangunan yang diusung oleh rejim lama, yang berorientasi pada pertumbuhan ekspor, yang hanya menguntungkan segelinter elite ekonomi dan politik, akan segera berakhir. Dengan bercermin pada kinerja PT di tingkat lokal, yang mempromosikan demokrasi partisipatoris di bidang ekonomi dan politik, mayoritas rakyat berharap bahwa presiden Lula akan mengambil sikap menolak kebijakan yang dipromosikan IMF: mengambilalih bank sentral dan sektor-sektor kunci ekonomi lainnya seperti, sektor ekspor dan produksi pertanian.

Tetapi, begitu kakinya menjejak lantai istana kepresidenan pada Januari 2003, ia segera disambut oleh apa yang disebut Sue Brandford dan Bernardo Kucinski sebagai “financial terrorism,” dari para pemilik kapital besar. Hanya dalam beberapa bulan, nilai mata uang nasional real, jatuh terkapar hingga 30 persen terhadap nilai mata uang dollar. Situasi ini disusul dengan laporan dari lembaga pemeringkat internasional yang menempatkan Brazil sebagai negara dengan resiko investasi yang tinggi yakni, 1300. Salah angka tertinggi di dunia. Hal ini menyebabkan sertifikat uang yang dikeluarkan pemerintah, yang disebut C Bonds, diperdagangkan di pasar spekulatif sekunder dengan tingkat bunga 13 persen di atas rekening departemen keuangan Amerika Serikat. Masih tidak cukup, hanya dalam waktu tiga bulan, lebih dari US$ 6 milyar uang panas terbang ke luar negeri.

Serangan “financial terrorism” ini, memaksa Lula untuk mengambil langkah-langkah kompromi, yang bertolakbelakang dari janji-janji masa kampanyenya. Walaupun Bank Sentral dipimpin oleh kader PT Antonio Palloci, hal itu tidak menghalangi dilaksanakannya paket kebijakan neoliberal. Misalnya, Lula mempertegas kembali keharusan membayar uang luar negeri yang dituntut IMF, walau untuk itu ia harus merogoh kas negara sebesar 4.25 persen dari porsi GDP. Ia juga dipaksa untuk memberlakukan kebijakan pengetatan ekonomi, seperti pemotongan anggaran belanja publik.

Posisi pemerintahan Lula berhadapan dengan tekanan kartel kreditor ini, dengan baik digambarkan oleh Frei Betto, seorang pastor Dominican dan salah satu penasehat terdekat Lula,

“Kami ada dalam pemerintahan tapi, kami tidak berkuasa. Penguasa saat ini adalah kekuasaan global, kekuasaan perusahaan-perusahaan besar, dan kekuasaan kapital keuangan.”


Demikianlah, ketergantungan pada kapitalisme global, khususnya pada kartel kreditor yang dipimpin IMF, menjadi buah simalakama bagi negara-negara di Amerika Latin. Bertahan di bawah arahan, orkestrasi, atau paksaan IMF, berarti membiarkan negeri dan mayoritas rakyat semakin terpuruk dalam penderitaan. Sebagai contoh, dari 1979 hingga 1981, jumlah kapital yang mengalir ke Amerika Latin sebesar US$13 milyar per tahun. Tapi, pada 1983, ketika untuk pertama kalinya, dalam dekade tersebut, Amerika Latin melakukan ekspor kapital, transfer kemakmuran tersebut hingga tahun 1991 saja, mencapai US$218,6, atau setara US$534 untuk setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak di kawasan itu. Tetapi, jika ingin mengambil jalan berbeda, maka apa yang terjadi pada pemerintahan Lula adalah resiko yang mesti ditanggung. Adakah jalan keluarnya?

Banco del Sur

Dalam situasi yang sangat tergantung pada kartel kreditor, sebenarnya ada sisi lain untuk bisa melakukan negosiasi. Ketergantungan pada utang luar negeri, misalnya, juga berarti ada sejumlah besar uang dari kreditor yang beredar di negara pengutang. Situasi ini bisa menjadi senjata bagi negara pengutang untuk negosiasi, dengan cara mengambil kebijakan menolak membayar utang. Inilah yang dilakukan Argentina, di bawah Nestor Kirchner, yang menolak membayar utang luar negeri sebesar US$100 milyar. Hasilnya, seperti kata Kirchner, “untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebuah proses restrukturisasi berakhir dengan pengurangan secara drastis utang luar negeri negara ini.”

Tetapi, tidak semua negara di Amerika Latin, adalah negara kaya seperti Argentina. Sehingga langkah yang ditempuh Kirchner, bagi negara miskin seperti Bolivia atau Haiti, mungkin terlalu berani. Apa yang terjadi di Argentina, bisa kita sebut sebagai sebuah contoh kasus, bukan sebuah model.

Pada titik inilah, revolusi Bolivarian Venezuela, muncul dengan gagasan yang lebih realistis dengan dampak struktural yang panjang. Di bawah Chavez, negara penghasil minyak terbesar di kawasan itu, membentuk sebuah lembaga yang disebut Compensatory Funds of Structural Convergence. Tujuannya, mengurangi kesenjangan dalam level pembangunan negara-negara dan sektor-sektor produktif, membentuk mekanisme yang tepat bagi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial, mendefinisikan pengertian-pengertian pembangunan secara jelas, dan menentukan bagaimana mekanisme tindak lanjutnya.

Lembaga keuangan yang merupakan bagian dari proyek ALBA (Alternative Bolivarian para las Americas atau the Bolivarian Alternative for Latin America and the Carribean) ini, tugasnya mirip seperti tugas yang diemban Bank Dunia ketika pertama kali didirikan pasca Perang Dunia II: mengelola dan mendistribusikan bantuan keuangan kepada banyak negara yang ekonominya rentan oleh krisis. Dengan Compensatory Funds ini, negara-negara miskin dibantu untuk mengurangi resiko kerugian hingga ke tingkat yang tidak membahayakan performa ekonomi nasionalnya.

Realisasi dari kebijakan inilah menyebabkan IMF kebakaran jenggot. Misalnya, ketika Argentina untuk yang terakhir kalinya menyatakan “goodbye” pada IMF pada akhir Desember 2005, dengan membayar sisa utang sebesar US$9.8 milyar (5.4 persen dari GDP), Venezuela dengan segera menyuntikkan dana sebesar US$2.5 milyar kepada negerinya Diego Maradona itu. Bantuan ini menyelamatkan Argentina dari goncangan krisis yang kedua kalinya pasca krisis besar pada 2001. Pada akhir 2005, Venezuela juga memberikan komitmennya untuk membeli US$300 juta bond Ekuador.

Demikian juga yang terjadi dengan Bolivia. Ketika Evo Morales, sekutu dekat Chavez, mencanangkan kebijakan nasionalisasi industri gas, reaksi keras datang dari Washington. Pemerintah Bush dengan sepihak membatalkan bantuan militer sebesar US$1.6 juta dan bantuan lain yang berkaitan dengan pemberantasan perdagangan obat terlarang. Niat serupa juga ditunjukkan Spanyol, dimana perusahaannya Repsol YP, yang merupakan perusahaan industri gas terbesar kedua di Bolivia, terancam dengan kebijakan nasionalisasinya Morales. Bolivia juga kehilangan dana sebesar US$170 juta dari pembatalan ekspor kacang kedele ke Kolumbia, setelah yang terakhir ini membuat kesepakatan dagang dengan AS.

Di masa lalu, tindakan yang ditempuh Washington ini, sudah lebih dari cukup untuk menendang Morales dari istana kepresidenan. Tapi, dengan Venezuela di belakangnya, Evo hingga kini masih bertahan di kursi kekuasaannya. Dalam kasus ekspor kacang kedele tadi, Venezuela mengumumkan akan membeli seluruh produk ekspor tersebut. Venezuela juga menandatangani kerjasama dengan Bolivia untuk membeli 4.000 ton daun koka produksi Bolivia. Lebih dari itu, Venezuela bahkan mengumumkan bantuan dana sebesar US$100 juta kepada Bolivia dan sejumlah kecil bantuan lainnya untuk mendukung rencana land reform.

Dana bantuan juga mengalir ke Ekuador, yang baru saja memilih Rafael Correa, sekutu lain Chavez, sebagai presiden. Ketika Correa mengancam untuk tidak membayar utang luar negeri sebesar US$10 milyar, pada 22 Rebruari 2007, Venezuela mengucurkan dana sebesar US$500 juta, yang disebutnya sebagai “financial cooperation.”

Melalui program Compensatory Funds ini, Venezuela kini telah muncul sebagai negara donor baru di Amerika Latin, menggantikan keberadaan IMF. Akibatnya, dilaporkan bantuan IMF di kawasan itu jatuh sebesar US$50 juta, atau kurang dari satu persen dari portofolio global, dibandingkan dengan 80 persen pada 2005. Dan tampaknya, kejadian ini akan terus berlanjut. Menurut laporan harian bisnis Bloomberg, Venezuela saat ini memiliki dana cadangan sebesar US$34 milyar. Chavez juga, mengontrol US$18 milyar dana kontan yang disebut Ponden, yang ditransfer dari Bank Sentral dan perusahaan minyak negara Petroleos de Venezuela SA (PDVSA). Dan berbeda dengan lembaga-lembaga keungan internasional dan pemerintah negara-negara G-7, bantuan Venezuela ini tidak disertai dengan persyaratan apapun yang mesti dijalankan negara penerima bantuan. Inilah yang disebut sebagai Solidaritas Bolivarian.

Untuk melembagakan program Solidaritas Bolivarian ini, Chavez mengusulkan agar dibentuk Banco del Sur atau Bank of the South. Menurut Chavez, dalam pidatonya di hadapan ribuan pendukungnya di Bueonos Aires, Argentina, pendirian Banco del Sur ini dimaksudkan untuk menghentikan lingkaran setan kemiskinan utang luar negeri. Masih menurut Chavez, pada 20 hingga 30 tahun yang lalu, kawasan itu telah membayar lebih dari US$ 2.2 milyar utang luar negeri. Jika ini tidak dihentikan, maka dalam beberapa waktu ke depan kawasan itu harus membayar utang luar negeri lima kali lipat lebih banyak. Rencana pendirian Banco del Sur ini disusul dengan usulan agar dibentuk mata uang bersama Amerika Latin, sebagai alternatif bagi lembaga-lembaga keungan internasional yang dikontrol AS, dan dominasi mata uang dollar, serta untuk transaksi komoditi.

Dengan segala aktivitasnya itu, menurut Greg Grandin, pengajar ilmu politik di New York University, yang ditakutkan Washington dari Venezuela, sesungguhnya bukanlah “false populism” yang kini menjalar di Amerika Latin. Yang paling berbahaya, adalah ketika Chavez memotori usaha-usaha kelompok kiri untuk memajukan ekonomi dan multikulturalisme politik.***

Kepustakaan:

Coen Husain Pontoh (ed.), Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global,” Resistbook, Yogyakarta, 2005.

Christopher Swann, “Chavez Exploits Oil to Lend in Latin America, Pushing IMF Aside,” Feb. 27, 2007, http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601086&sid=atN8OPWGA4nE&refer=news

Chris Kraul, “Chavez makes Bolivian coca deal,” Los Angeles Times, February 8 2007.

Duncan Green, “Silent Revolution The Rise and Crises of Market Economics in Latin Amerika,” Monthly Review Press, NY, 2003.

Sue Branford and Bernardo Kucinski, “Lula and The Workes Party in Brazil,” The New Press, NY, 2005.

Mark Weisbrot, “Latin America: The End of an Era,” The International Journal of Health Services, Vol. 36, No. 4, 2006.

Greg Grandin, “Latin America’s New Consensus,” Apri 13, 2006, http://www.thenation.com/doc/20060501/grandin/