Forum Kedaulatan Pangan

Cerita dari Nyeleni 2007
Mohammed Ikhwan*

Tahun 2006 lalu adalah tahun ke-sepuluh setelah FAO World Food Summit 1996. Pada forum tersebut ditegaskan komitmen internasional untuk menghapuskan setengah kelaparan dunia (halving the hunger), tentunya dengan paradigma ketahanan pangan (food security). Akan tetapi problem ini ternyata tak pernah terpecahkan, bahkan jauh sebelum komitmen 1996 tersebut. Apapun upaya tripartit—pemerintah, rakyat dan perusahaan—tak bisa mencapai 850 juta rakyat kecil dunia yang saat itu kelaparan. Revolusi hijau, revolusi putih, dan revolusi pangan lain ternyata bukan jawaban. Jumlah rakyat lapar di dunia malah meningkat, menembus angka 920 juta rakyat per 2006.

Upaya pemerintah, rakyat dan perusahaan ini jika ditilik ternyata bukanlah hubungan yang simetris. Rakyat tidak menjadi unsur utama, bahkan cenderung dilupakan. Padahal, para petani kecil, buruh, masyarakat adat, kaum migran, penggembala dan peternak, konsumen dan nelayan adalah pihak-pihak yang paling menderita selama ini. Ironis, karena dari beberapa dari sektor tersebut adalah produsen pangan yang paling mendasar bagi keluarga dan masyarakatnya.

Pada 1996 gerakan petani internasional La Via Campesina mengajukan konsep kedaulatan pangan (food sovereignty), yang mengedepankan prinsip-prinsip praproduksi, produksi, distribusi dan konsumsi yang diinginkan rakyat. Konsep ini juga dimajukan untuk melawan konsep ketahanan pangan dikooptasi dengan model mainstream neoliberal.

Menurut saya, ada beberapa isu sentral yang dalam kedaulatan pangan pada pencetusan awalnya: 1) akses sumber daya produktif yang harus dikuasai rakyat, seperti: tanah, air, benih, dan lainnya; 2) perlawanan terhadap sistem perdagangan internasional yang menghalalkan impor murah dan dumping produk pangan; 3) perjuangan untuk pasar yang adil melawan kendali distribusi dan pasar yang cenderung dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan melupakanpasar lokal dan domestik.

Konsep ini dinilai sebagai sebuah alternatif yang membawa pesan baru untuk tatanan dunia yang penuh dengan ketidakadilan kala itu. Ia menjadi bagian dalam perlawanan nyata terhadap rejim perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), rejim finansial IMF dan Bank Dunia, yang marak di pertengahan 1990-an. Banyak organisasi rakyat di tingkat nasional, regional maupun internasional yang mengkaji lebih lanjut dan mempromosikan konsep ini. Perjuangan terus berlanjut hingga mencapai titik terang dalam beberapa bulan belakangan: legitimasi IMF berkurang, negosiasi WTO mati suri sejak Juli 2006, dan diadopsinya konsep-konsep kerakyatan oleh negara-negara tertentu (Venezuela, Kuba, Bolivia, Nepal, Brazil, dan lainnya) serta berkembangnya sistem perdagangan berbasiskan solidaritas (ALBA).

Pada tahun 2006, digagaslah sebuah forum rakyat yang direncanakan mewadahi perjuangan kedaulatan pangan. Pertemuan ini diadakan di Mali, negeri di Afrika Barat—salah satu negara yang telah mengadopsi kedaulatan pangan. Mali dianggap sukses berpihak kepada petani, dengan mencantumkan kedaulatan pangan tersebut dalam konstitusinya.

Nyeleni

Forum ini diselenggarakan pada 23-27 Februari 2007 ini, dengan nama Nyeleni. Nama ini diambil dari seorang petani perempuan yang perjuangannya sangat melegenda dan membudaya di tanah Mali. Menurut Ibrahima Coulibaly, pemimpin organisasi petani di Mali, Nyeleni adalah petani perempuan yang teguh dan ulet. Pada masa hidupnya, Mali adalah negara yang tandus dan gersang. Karenanya, tak ada yang sanggup memproduksi pangan yang cukup walau hanya untuk konsumsi keluarga. Namun Nyeleni dengan teguh terus bertani dengan memanfaatkan kearifan lokal dan tradisi, membangun sistem air yang bisa dinikmati bersama komunitasnya, sehingga terbangun sistem pertanian yang menakjubkan dari tangan perempuan ini. Cerita-cerita rakyat juga mengatakan, bahwa tanah-tanah yang dulunya kering akhirnya bisa menjadi subur atas upaya Nyeleni. Orang-orang setempat pun mengakuinya sebagai perlambang Dewi Kesuburan, kira-kira seperti Dewi Sri di Indonesia.

Untuk menampung sekitar 600 orang dari seluruh dunia dalam forum ini dibangunlah sebuah desa kedaulatan pangan di tepi danau Selingue. Desa tersebut juga dinamakan Nyeleni. Berbeda dengan forum terbuka seperti World Social Forum (WSF), terdapat proses seleksi partisipan. WSF dikritik terlalu ‘becek’ hingga mengakomodir kepentingan individu dan organisasi yang bahkan tidak ikut memperjuangkan kepentingan rakyat. Ke-enam ratus partisipan Nyeleni adalah orang-orang yang diseleksi dari pejuang-pejuang kedaulatan pangan yang mewakili organisasi yang sejauh ini konsisten mempromosikan kedaulatan pangan dan aktif dalam gerakan rakyat.
Tujuan dari forum ini adalah untuk memperdalam arti kedaulatan pangan bagi rakyat, terutama oleh organisasi-organisasi yang selama ini aktif memperjuangkan kedaulatan pangan. Kemudian, untuk memikirkan juga pembangunan wadah-wadah perjuangan, seperti membangun aliansi yang lebih luas. Selanjutnya, untuk mengatur rencana-rencana aksi, strategi bersama, dan komitmen bersama untuk perjuangan yang lebih hebat lagi.

Terlepas dari masalah teknis yang masih mengganjal seperti listrik, sanitasi dan pembangunan desa yang belum sepenuhnya selesai, forum Nyeleni ini mendapat respon yang cukup hangat dari gerakan rakyat di seluruh dunia. Bahkan beberapa tokoh dari berbagai negara disebut-sebut akan menghadiri puncak pembicaraan gerakan rakyat mengenai kedaulatan pangan ini. Sebut saja Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Mali Amadi Toure, tokoh gerakan petani dan calon presiden Perancis José Bové, dan wakil dari parlemen Nepal. Yang disebut dua pertama akhirnya gagal hadir—walaupun Chavez mengirimkan video dukungan bagi kedaulatan pangan di akhir forum—sementara yang lainnya akhirnya datang. Belum juga termasuk pemimpin-pemimpin gerakan petani, buruh, nelayan, migran, masyarakat adat, penggembala dan konsumen dari seluruh dunia.

Sektor dan Isu

Di tahun 2002, FAO menggelar World Food Summit 5 Years Later, yang menandakan komitmen negara-negara untuk melawan kelaparan. Di peringatan yang sama pula, gerakan rakyat terutama dari petani—La Via Campesina—mengingatkan bahwa mustahil mencapai tujuan mengurangi setengah jumlah kelaparan pada tahun 2015. Alasannya, ada masalah-masalah mendasar yang belum menjadi komitmen pemerintah dan lembaga-lembaga internasional. Selain itu, target tersebut tentunya kurang realistis mengingat setelah lima tahun berlalu namun tidak ada perkembangan yang signifikan.

Masalah-masalah mendasar inilah yang dipertanyakan oleh gerakan rakyat, karena sesungguhnya dari segi produktivitas ternyata stok pangan dunia meningkat. Namun, jumlah rakyat yang rawan pangan cenderung bertambah (La Via Campesina, 2002). Dalam penuturan Peter Rosset, dari tata niaga pangan dunia ternyata ada yang tidak beres. Harga produk pertanian mentah rata-rata dari petani cenderung menurun, namun harga produk keluaran rata-rata industri pangan/pengolahan perusahaan transnasional cenderung meningkat (Rosset, 2006).

Belum lagi masalah ketidakadilan akses rakyat terhadap sumber daya produktif (lahan, air, benih, dan sebagainya). Tuntutan reforma agraria yang sejati adalah isu yang lahir dari problem ini—dan sudah menjadi tekanan gerakan rakyat, terutama petani dan masyarakat adat dalam semboyan land, territory and dignity. Sebelumnya ada pencapaian besar dari tekanan gerakan rakyat, yakni diadopsinya reforma agraria dan kedaulatan pangan dalam dokumen International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD), yang dilaksanakan FAO pada tahun 2006 lalu di Brazil. Namun sayangnya komitmen ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, jadi tidak bisa dipaksakan kepada negara yang belum melaksanakannya.

Isu lain yang tak kalah mengemuka di tahun-tahun tersebut adalah isu perdagangan internasional—terutama pangan—yang tidak adil, dengan munculnya sistem WTO yang menghalalkan dumping dan pembukaan akses pasar. Dampak sistem WTO ini adalah kehancuran sistem pertanian berbasis keluarga karena tidak mampu bersaing dengan produk pangan berharga supermurah dari negara maju seperti AS dan Uni Eropa, yang terutama dipromosikan oleh perusahaan transnasional raksasa (Cargill, Tyson, Charoen Pokphan, Nestle, dan lainnya). Subsidi dalam WTO yang berujung pada dumping produk pangan ini juga bersembunyi pada mekanisme kotak-kotak (Green Box, Blue Box dan Amber Box) serta disahkan pada Farm Bill di AS dan Common Agricultural Policy di Uni Eropa. Dengan sistem ini jelas petani kecil di negara miskin dan berkembang yang merupakan ujung tombak produksi pangan terancam kehidupannya, karena produksi, harga dan pasar domestiknya tidak terlindungi dari banjir impor.

Dengan praktek mekanisme pasar bebas, apalagi didahului dengan revolusi hijau yang membuat petani di seluruh dunia tergantung dengan input kimia (pupuk, pestisida), kehancuran sistem pangan jelas menjadi nyata. Penyakit-penyakit dengan ongkos sosial tinggi pun muncul: pemiskinan, kelaparan, pengangguran, migrasi, dan sebagainya. Tahun 2002 dicatat dengan ketidakberdayaan FAO dan kegagalan ketahanan pangan dalam mengurangi masalah-masalah mendasar yang telah disebutkan di atas. Tahun-tahun ini juga ditandai dengan banjir impor di negara-negara miskin dan berkembang, juga dominasi perusahaan transnasional dalam bidang pangan dan agrokimia. Tahun 2006, FAO secara implisit mengakui target mengurangi kelaparan dunia memang tak akan tercapai—hingga tak memperingati World Food Summit 10 Years Later.

Kedaulatan pangan merupakan hak sebuah negara dan juga rakyatnya—dalam hal ini petani—untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin penguasaan petani atas tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil, serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping. Kedaulatan Pangan tidak melarang adanya perdagangan pangan, tetapi produksi pangan haruslah diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan lokal sehingga menjamin hak atas pangan bagi setiap orang, diproduksi dengan cara ekologis (agro-ecology) yaitu pertanian berkelanjutan berbasiskan pada keluarga tani (sustainable agriculture based on family farming). Kedaulatan pangan secara prinsipil juga menjamin harga yang adil dan menguntungkan serta tak lebih rendah dari ongkos produksi terhadap produsen, dan di sisi lain juga menjamin harga yang fair terhadap konsumen. Untuk itulah dalam forum kedaulatan pangan Nyeleni 2007, yang mengikuti adalah enam sektor yang mewakili gerakan kedaulatan pangan dunia: 1) petani 2) nelayan 3) penggembala/kaum pastoralis 4) masyarakat adat 5) buruh; dan buruh migran 6) konsumen dan gerakan perkotaan.

Dalam perjuangannya, inilah prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh gerakan rakyat untuk menegakkan kedaulatan pangan rakyat (Henry Saragih, 2007):


Isu-isu tersebut dirangkum dan dikembangkan lagi di Nyeleni dalam beberapa tema sentral. dalam perkembangannya, tema sentral yang diyakini sangat krusial dalam kedaulatan pangan adalah: 1) kebijakan perdagangan dan pasar lokal; 2) teknologi dan pengetahuan lokal; 3) akses dan kendali terhadap sumber daya produktif (tanah, air, benih, dan sebagainya; 4) pembagian teritori dan penggunaannya antarsektor; 5) konflik dan bencana alam; respon pada level lokal dan internasional; 6) kondisi sosial dan migrasi yang dipaksakan; 7) model produksi. Dalam forum kedaulatan pangan ini, terdapat diskusi antarsektor, antartema sentral, dan tentu juga antar perspektif dari kelompok kepentingan yang terlibat (perempuan, pemuda, dan lingkungan hidup).

Komitmen

Dari diskusi yang cukup membangun ini, akhirnya dicapai kesepakatan bersama antar berbagai gerakan rakyat dari berbagai sektor—dan tentu saja dari berbagai penjuru dunia. Komitmen ini dituangkan dalam sebuah deklarasi politik yang menurut saya merefleksikan beberapa hal:

Perjuangan yang sama; bahwa dalam rangka perjuangan kedaulatan pangan ini, berbagai gerakan rakyat dari berbagai sektor dan negara ternyata berbagi nilai-nilai perjuangan yang sama. Ada beberapa yang mencolok yang terlihat jelas, bahwa ada perjuangan massa yang diwujudkan dalam organisasi-organisasi, dan pengakuan yang sama bahwa pangan adalah hak seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakannya; dan oleh sebab itu merupakan perjuangan yang sangat prinsipil.

Terlihat juga secara mencolok bahwa gerakan rakyat ternyata menjunjung tinggi kearifan dan pengetahuan lokal untuk perjuangan pangan di wilayah dan sektornya masing-masing. Dan juga bahwa pangan adalah bukan mewakili kepentingan sektor maupun negara tertentu saja, melainkan hak produsen dan konsumen secara khusus dan umat manusia secara universal. Perjuangan prinsipil lainnya menurut saya adalah akses petani dan buruh tani, dan kaum tak bertanah terhadap sumber daya produktif (tanah, air, benih, dan lainnya).

Sebuah komitmen internasional juga menjadi cita-cita perjuangan untuk mengikat negara-negara untuk melaksanakan reforma agraria sejati, pengakuan kedaulatan pangan dalam piagam hak asasi PBB, serta persetujuan untuk mengatur supply management (agar tidak terjadi surplus dan overproduksi berlebihan yang bisa mengakibatkan dumping produk pangan). Lebih jauh lagi, tentunya untuk terwujudnya sebuah tata niaga yang berkeadilan, sebuah tata ekonomi baru, yang berbasiskan kedaulatan pangan rakyat.

Musuh yang sama; bahwa lebih dari 10 tahun sudah perjuangan rakyat melawan sistem komodifikasi pangan—mulai dari praproduksi, produksi, distribusi hingga konsumsi. Hal ini tercermin dalam tata ekonomi yang tidak adil, dalam akses terhadap sumber daya produktif yang tidak terdistribusi kepada rakyat atau diprivatisasi. Selanjutnya perjuangan selama ini melawan tata niaga pangan yang tidak adil dengan 80 persen lebih keuntungan dimiliki oleh negara maju—di belakangnya berdiri perusahaan transnasional raksasa. Semuanya ini terwujud oleh tangan-tangan rakus atas nama rejim perdagangan WTO, rejim finansial IMF dan Bank Dunia, ADB, IADB, dan lainnya, juga atas perpanjangan tangan pemerintah negara-negara yang menjadi antek-anteknya. Karena seringnya skandal antara negara-negara kaya dalam mempertahankan kepentingan perusahaan transnasional raksasa, konflik perjuangan sering disebut dengan pemetaan ‘Utara-Selatan’. Sebenarnya tidak demikian, karena banyak rakyat di negara-negara utara sendiri sebenarnya menjadi korban dari kebijakan musuh-musuh yang telah dijelaskan barusan. Benar, bahwa pemerintah negara-negara miskin dan berkembang saat ini mengambil posisi ‘berlawanan’ dengan dominasi AS dan Uni Eropa. Namun sesungguhnya yang terjadi dalam pangan dan pertanian adalah konflik antara sistem pertanian berkelanjutan dan kedaulatan pangan yang dipromosikan rakyat—baik di negara kaya, maupun di negara miskin dan berkembang. Musuh yang dihadapi sebenarnya adalah model industri, berorientasi ekspor, yang dipromosikan oleh perusahaan transnasional raksasa, AS, Uni Eropa, atau negara industri lain, bahkan juga oleh sejumlah elit dan pemerintah di negara miskin dan berkembang. Oleh sebab itu, La Via Campesina (2003) menyatakan dengan tegas bahwa konflik yang nyata sebenarnya bukan di tingkatan pemerintah—namun di antara model produksi yang ada.

Strategi dan aksi yang sama; Dan bahwa perjuangan selama ini telah membawa hasil yang menggembirakan—dan perjuangan dan harapan harus terus disebarluaskan. Lebih 10 tahun perjuangan melawan WTO, dan sekarang negara-negara mulai mengambil posisi yang lebih kritis dalam negosiasi (seperti kelompok G10 dan G33). Perjuangan rakyat melawan rejim perdagangan ini pun semakin lama semakin masif—bisa dilihat dari perkembangan Seattle, Cancun, hingga Hong Kong. Pertimbangan ilmiah pun sekarang banyak yang mulai mengadopsi tuntutan-tuntutan rakyat, dan tentunya kolapsnya perundingan WTO pada Juli 2006 lalu merupakan sebuah hasil yang berharga. Orang-orang dari seluruh dunia, dari berbagai gerakan telah menjalin pengorganisasian massa, edukasi massa, aksi-aksi hingga kampanye dalam tingkat lokal-reginal-internasional. Jaringan-jaringan juga sudah/akan berjalan dan saling berjalin kelindan, dan saling memberi solidaritas dalam kerangka perjuangan bersama. Hari-hari aksi yang sama juga diperingati oleh gerakan rakyat di seluruh dunia, seperti Hari Pangan Sedunia/Hari Kedaulatan Pangan Global (16 Oktober), Hari Perjuangan Petani Internasional (17 April), Hari Buruh (1 Mei), Hari Migran Internasional (18 Desember), dan lainnya.

Dari catatan ini, menurut saya sangatlah penting digarisbawahi bahwa ada komitmen yang sangat besar yang tercermin dalam proses yang cukup demokratis, hingga terbentuk sebuah konsensus antargerakan, antarsektor, dan antarwilayah—bahkan hingga ke bentuk-bentuk rigid seperti rencana aksi dan pertukaran informasi.

Hal ini juga penting jika diejawantahkan dalam gerakan rakyat di Indonesia. Bahwa gerakan mewujudkan kedaulatan pangan telah digagas sejak tahun 2000 dengan pengorganisasian massa, pendidikan dan aksi-aksi. Walaupun Indonesia sepertinya masih terjepit dalam kondisi memperjuangkan basis produksi—karena perjuangannya masih lebih banyak dalam merebut akses dan kendali terhadap sumber-sumber daya produktif (tanah, air, benih, dan lainnya) sejak puluhan tahun lalu, namun itulah sesungguhnya makna perjuangan panjang yang telah lama dibangun di tanah air ini. Menurut saya, kedaulatan pangan tak akan berarti apapun jika masalah pokok ini tak terpecahkan. Reforma agraria, seperti yang diperjuangkan petani sejak dulu, adalah basis dari perjuangan kedaulatan pangan.

Perjuangan kedaulatan pangan juga akan bisa dibangun jika ada platform bersama, seperti komitmen yang diperjuangkan dalam Nyeleni yang baru saja selesai. Komitmen ini tak berhenti di pertemuan-pertemuan saja, namun dioperasionalkan dalam komunikasi dan pendidikan massa di tingkat lokal hingga nasional. Sejauh ini, kedaulatan pangan belum menjadi wadah bersatunya perjuangan antarsektor di Indonesia. Hal ini tentunya dapat dimengerti bahwa perjuangan ini bukan hanya milik sektor tertentu saja, namun butuh bantuan dari sektor-sektor lainnya. Di dalam Nyeleni kemarin, sudah ada komitmen yang terbuka dari organisasi konsumen, organisasi bantuan hukum dan HAM, organisasi buruh, organisasi buruh migran, organisasi perempuan, bahkan organisasi agama, pers dan lainnya—yang mungkin masih dalam taraf awal membangun aliansi yang selama ini sudah dibangun. Kita butuh menaikkan isu ini menjadi lebih luas, karena pangan bukan masalah biasa. Pangan itu berbeda (Peter Rosset, 2006), dan menurut saya adalah salah satu hak paling mendasar yang secara universal harus diperjuangkan umat manusia.


Sumber:

Primer for People’s Food Sovereignty, La Via Campesina, 2002
It is Urgent to Re-Orient the Debate on Agriculture and Initiate a Policy of Food Sovereignty, La Via Campesina, 2003
Food Sovereignty Triptico, La Via Campesina, 2003
Food is Different, Peter M Rosset, Zed Books, 2006
Kedaulatan Pangan: Jalan Memerdekakan Bangsa-Bangsa dari Kelaparan, Henry Saragih, Makalah disampaikan pada Rakernas PDI-Perjuangan, 2007
Political Declaration Nyeleni 2007, Forum for Food Sovereignty, Mali, 2007
Beberapa diskusi dan pidato-pidato dengan sumber bersangkutan





*Pengkajian dan Penelitian, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) - www.fspi.or.id