Perempuan Dan Politik

Lely Zailani

Perempuan dan politik adalah wacana yang menarik diperbicangkan bahkan, menjadi suatu yang politis untuk di perdebatkan. Hal ini disebabkan oleh fakta, ketika politik ditempatkan di wilayah publik, definisi, konsep, dan nilai-nilai yang dikandungnya selalu menempatkan perempuan di luar area tersebut. Politik didefinisikan sebagai sesuatu yang negative (politiking), afiliasi suatu partai politik, dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa, dimana laki-laki mendominasinya.

Bahkan, ketika politik didefinisikan dengan perspektif baru sebagai; pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumberdaya (kekuasaaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung.

Hingga kini, perkembangan wacana perempuan dan politik masih terjebak dalam perdebatan tentang partisipasi dan representasi, yang mengarah pada indikator normatif kuantatif. Kuota 30 persen untuk reprensentasi politik perempuan, adalah salah satu indikator tersebut. Sebagai afirmative action (tindakan khusus), kuota memang tak boleh melupakan kualitas dari representasi tersebut. Tetapi harus disadari sungguh-sungguh, tuntutan kuota bersumber dari realitas sejarah panjang pendiskriminasian terhadap perempuan, melalui proses yang sistemik yang tidak akan berakhir hanya dengan "menunggu waktu bergulir" tanpa tindakan khusus.

Mengutip Nawal Al-Sa'dawi, sejarah pembelengguan kaum perempuan sama tuanya dengan sejarah perbudakan dan perlawanan terhadap perbudakan di dunia. Upaya pembelengguan kaum perempuan dan budak serta penghancuran peradaban-peradaban kuno yang sangat menghargai perempuan, telah berlangsung ribuan tahun silam. Hal ini terjadi karena adanya perlawanan kaum perempuan dan budak terhadap para penguasa yang menganut sistem patriarkal. Dalam persfektif dan kajian sejarah klasik peradaban manusia, menurut Al-Sa’dawi, konflik seputar hak-hak perempuan dan hak asasi manusia, merupakan kelanjutan dari perseteruan lama yang dimulai sejak munculnya sistem penghambaan terhadap laki-laki atau sistem patriarki.

Oleh karenanya, wacana tentang perempuan dan politik mestinya diletakkan dalam konteks penghormatan terhadap martabat kemanusian kaum perempuan. Itulah sebabnya dalam agenda gerakan perempuan, politik adalah seluruh idiom yang berhungan dengan kehidupan perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik. Jadi, dialektika perempuan dan politik mestinya tidak hanya berbasis pada material partisipasi dan representasi, melainkan seluruh aspek, termasuk sejarah patriarkhi yang menjadi dasar ideologi penindasan terhadap perempuan. Maka, indikator-indikator kuantitatif (termasuk kouta) menjadi prinsip untuk menegakkan moralitas politik terhadap realitas penindasan dan penyingkiran perempuan yang telah berlangsung berabad-abad.

Konkretnya, perempuan dan politik adalah dialektika terhadap seluruh aspek dalam hubungan dan dinamika sosial, mulai dari rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Paradigma bahwa politik hanya milik kalangan pemegang kekuasaan formal (dan milik laki-laki), yang mengakibatkan terjadinya proses peminggiran terhadap rakyat dan terhadap perempuan, harus segera diubah. Karena persepsi ini membuat rakyat (apalagi perempuan) merasa tidak layak dan tidak mempunyai kemampuan untuk ikut melakukan perubahan dalam proses-proses politik. Dari sinilah kita berangkat membicarakan soal partisipasi dan representasi politik perempuan.

Catatan kritisnya, sebagaimana kalangan pejuang demokrasi gelisah tentang representasi politik rakyat yang masih merupakan representasi semu, kita juga harus gelisah karena dinamika politik belum mewujudkan representasi politik perempuan, melainkan sebatas representasi jenis kelamin.***


Lely Zailani, Koordinator Presidium Sekretariat Bersama Organisasi Rakyat Independen (ORI), Sumut.

Artikel ini sebelumnya dimuat di Soeara Rakjat, Edisi No 16/Thn.IV Februari 2007.