Mohammed Ikhwan
Tahun 2004, 2005 dan 2006 adalah tahun anomali bagi petani padi Indonesia. Tercatat, produksi beras mengalami kenaikan, dan di awal tahun pemerintah menyatakan bahwa impor beras tak diperlukan. Kenyataannya, walau produksi surplus ternyata kita tetap harus impor. Tahun 2004, kita impor sebanyak 632 ribu ton; 2005 sebesar 304 ribu ton; dan pada 2006, tak kurang dari 840 ribu ton.
Bukan Alamiah
Impor beras bersama implementasi lainnya - yang dituangkan dalam bentuk beleid beras nasional - tentunya bukan sesuatu yang alamiah belaka. Impor beras, disertai kebijakan ketat harga beras agar tak signifikan mempengaruhi inflasi - operasi pasar - adalah bentuk tindakan powerfull pemerintah SBY-Kalla, dalam kesadarannya yang penuh. Jika menurut sebagian kalangan tindakan ini adalah hal yang natural, sekadar memenuhi stok, atau kondekuensi dari hukum permintaan-penawaran dan sebagainya, mereka akan kecele. Ada beberapa catatan menarik yang perlu dikemukakan dalam memandang karut-marut persoalan beras di negeri ini.
Dari segi historis, beras adalah komoditi ekonomi politik. Begitu ada sedikit saja masalah menyangkut komoditi yang menghidupi 95 persen rakyat Indonesia ini, pemerintahan bisa gonjang-ganjing. Soekarno di akhir-akhir pemerintahannya dihajar rakyat dengan isu sembako—terutama beras, dan Soeharto memberlakukan monopoli dan mengadopsi praktek logistik militer dalam komoditi ini. Hingga kini, di era yang sering diplesetkan sebagai era repotnasi ini, masalah besar selalu menempati berita utama media massa.
Tetapi, ada hal menarik di seputar gonjang-ganjing perberasan ini. Hal yang jarang muncul dalam berita utama media massa maupun diskusi kritis di kalangan aktivis gerakan sosial. Yakni, mengidentifikasi massa yang aktif menyuarakan krisis perberasan nasional. Yang saya perhatikan, petani justru tak banyak bersuara dalam soal ini. Massa kritis itu datang dari kaum miskin kota, buruh, dan rakyat yang tinggal di perkotaan. Merekalah massa yang aktif bersuara bahkan, cenderung terus diperhatikan aspirasinya dalam masalah beras. Sementara, petani di pedesaan terus berada di posisi marjinal, tanpa cetak biru maupun implementasi kebijakan yang komprehensif demi kedaulatan mereka.
Hal ini menjelaskan satu hal, bahwa pemerintah selalu atau setidaknya, memberikan upaya yang lebih besar dalam melindungi konsumen perkotaan. Petani, walaupun juga jadi konsumen beras karena hanya bisa menjual gabah, hanya mendapat porsi yang kecil dalam masalah ini (raskin, revitalisasi pertanian yang tidak sempurna dijalankan). Gejolak dari konsumen perkotaan adalah lampu sinyal bagi pemerintah. Jika konsumen perkotaan berang, berarti lampu kuning untuk pemerintah. Untuk meredam gerakan protes maupun perlawanan dari masyarakat perkotaan, dibuatlah kebijakan all-out untuk harga beras murah.
Berat sebelah
Sejak pemerintahan SBY-Kalla berkuasa, sebenarnya realisasi janji-janji kampanye diarahkan untuk hal-hal yang relatif holistik. Sebutlah kebijakan yang berdasarkan (kata-kata kerennya) pro-growth, pro-poor dan pro-employment. Mestinya, landasan ini direalisasikan dengan asumsi pemerataan di kota dan di desa. Namun, seperti yang tampak dari kasus beras ternyata, petani gurem di desa, yang makan nasi aking, penderita gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT), bukanlah prioritas utama. Rakyat miskin, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, petani padi yang luas sawahnya hanya di bawah 0.5 hektar, tetap diisolasi dari implementasi kebijakan. Tidak ada solusi struktural yang bisa mengangkat mereka dari kemiskinan padahal, faktanya hampir 70 persen rakyat Indonesia masih tinggal di daerah pedesaan.
Untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah, rakyat di pedesaan dibuat sebagai massa mengambang, yang seakan diperhatikan namun sejatinya dipinggirkan. Jika begini ceritanya, janji reforma agraria yang di dalamnya termaktub program redistribusi lahan, penambahan produksi, dan revolusi hijau jilid kedua (dengan lebih fokus menggunakan hibrida, dan bioteknologi), tak lebih hanya sekedar cara untuk melanggengkan kekuasaan elit. Di masa yang akan datang, tidak akan ada — atau sedikit sekali — capaian dari cita-cita mulia di jaman kampanye dulu.
Pada sisi lain dari koin yang sama, masyarakat terutama konsumen di daerah perkotaan, juga terbius dengan kebijakan harga murah. Kebijakan perlindungan konsumen dari pemerintah, membuat konsumen perkotaan, terutama yang potensial bergerak seperti buruh dan kaum miskin kota, ditenangkan secara rapi dan sistematis. Rencana untuk menambah produktivitas dalam jangka menengah, juga bermanfaat untuk mengatasi gejolak pasar dan psikologi konsumen. Dengan ditambahnya produksi 2 juta ton, tentunya konsumen perkotaan bisa bernapas lega. Bayangkan berapa harga yang bisa turun dari kisaran Rp 4500-Rp 5200 sekarang, jika stok itu nanti benar-benar ada. Sementara di sisi lain yang riil, ternyata belum ada kejelasan sasaran program tersebut. Petani padi yang gurem, yang miskin itu? Atau hanya sekedar dalam kerangka menambah produksi?
Kebijakan ‘berat sebelah’ dalam politik pangan pokok ini sering dipraktekkan di berbagai negara. Di Meksiko, genjotan produksi pangan demi menyumpal konsumen perkotaan sudah dimulai sejak era Presiden Avila Camucho. Di Amerika Serikat, pemerintah bergiat menebar subsidi pertanian transnasional model Cargill, hingga produksi biji-bijian di negara ini sangat mengerikan. Sebaliknya, petani gurem dengan berbasis keluarga tani, sangat tersiksa dengan kebijakan harga pemerintah. Sebaliknya, konsumen perkotaan bersorak gembira.
Akhir ceritanya gampang ditebak. Akar kemiskinan itu tetap lestari.***
Penulis saat ini menjabat sebagai Staf Pengkajian Kebijakan dan Kampanye di Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), juga merupakan pengamat ekonomi politik internasional yang berhubungan dengan liberalisasi perdagangan.