Luiza Erundina de Souza

Catatan untuk Wilson
Coen Husain Pontoh

Artikel panjang Wilson, “Kaum Pergerakan dan Politik Lokal,” menarik untuk ditindaklanjuti. Setelah melakukan penilaian dan sejumlah kritik, artikel itu menawarkan sesuatu yang diangggap realistis bagi kelompok progresif untuk membangun kekuatannya, sekaligus merealisasikannya ke tingkatan praktis: penguasaan politik lokal.

Saya tidak akan masuk pada kritik Wilson, mengenai gejala tersisihnya gerakan progresif dari pertarungan politik pasca kediktatoran. Saya ingin memberikan penekanan pada usulannya mengenai pentingnya gerakan progresif memanfaatkan dinamika politik di level lokal. Kali ini, mari kita berkunjung ke kota Sao Paulo, di Brazil.
Para pemerhati politik Brazil, baik yang konservatif maupun yang progresif, bersepakat bahwa keberhasilan Partai Buruh Brazil (Partido do Trabalhadores/PT), melaju ke tampuk tertinggi kekuasaan, adalah berkat kesuksesannya dalam memenangi banyak kekuasaan lokal, khususnya di tingkat kotamadya. Sosok-sosok seperti Telma de Souza, walikota Santos, yang dimasa kekuasaannya berhasil menyediakan fasilitas publik seluas-luasnya bagi rakyat kebanyakan, menyumbang besar pada karakter kepemimpinan PT. Atau juga sosok seperti Olivia Dutra dan penerusnya Tarso Genro, di Porto Alegre, yang terkenal dengan program Anggaran Partisipatif-nya (Participatory Budget) yang legendaris. Luiza Erundina de Souza, walikota Sao Paulo, kota metropolitan, pusat industri Brazil, sekaligus salah satu kota dengan pembelahan sosial paling tajam di dunia, juga mencatat prestasi yang sama. Tulisan ini akan mengulas kiprah figur terakhir ini.

Luiza Erundina, demikian perempuan ini disapa, dilahirkan pada 30 Nopember 1943, di Uirauna, di bagian Tenggara Brazil. Erundina menghabiskan masa mudanya sebagai aktivis gerakan sosial di bagian timur kota Sao Paulo. Ketika pemerintah militer Brazil membuka sedikit ruang keterbukaan politik (abertura) pada awal 1970an, Erundina terlibat aktif dalam pembentukan Partai Buruh, dimana kemudian ia menjadi salah satu anggota pendiri Partai tersebut.

Ketika PT memutuskan ikut pemilu pada 1982, Erundina terpilih sebagai anggota dewan kota. Empat tahun kemudian, ia terpilih sebagai state-deputy. Saat diadakan pemilu tingkat kotamadya pada 1988, Erundina memutuskan ikut bertarung. Keputusan Erundina ini menimbulkan kontroversi di dalam tubuh PT, dan ini salah satu poin menarik dari sejarah keterlibatan partai kiri dalam pemilu. Sejatinya, keputusan Erundina untuk bertarung dalam pemilu tingkat kotamadya ini tidak mendapatkan persetujuan dari faksi mayoritas dalam tubuh PT, Articulacao 113, dimana Lula tergabung di dalamnya. Erundina hanya didukung oleh faksi-faksi minoritas seperti, Popular Power and Socialism, PT na Capital, dan beberapa kelompok Trotskys.

Tetapi, langkah Erundina tak bisa dicegah oleh faksi mayoritas. Dalam setiap kampanye atau pawai massa, dukungan dari PT sangatlah minimal. PT baru terlibat aktif, menjelang minggu-minggu terakhir pemungutan suara. Hasilnya, Erundina terpilih sebagai walikota Sao Paulo, dengan perolehan suara sebesar 30 persen. Bahkan hingga ia berkuasa, kecuali Lula yang selalu membela kebijakan Erundina di hadapan publik, PT tetap menjaga jarak dengan pemerintahannya.

Ada dua hal penting dari kemenangan Erundina: pertama, faksi mayoritas tidak otomatis menentukan segalanya dalam memutuskan maju mundurnya langkah partai; kedua, sebagaimana dicatat Lucio Kowarick dan Andre Singer, rekam-jejak (track-record) Erundina merupakan investasi terbesar dalam kemenangannya. “Dalam kasus Erundina,” demikian keduanya menulis, “kita berhadapan dengan seorang aktivis dengan militansi yang sangat khusus…… pemilih terbesarnya datang dari segmen rakyat miskin dan kelas pekerja, dimana dia beraktivitas selama ini. Dan ketika ia terpilih sebagai pejabat, bagian terbesar aktivitasnya difokuskan pada kalangan miskin di pinggiran Sao Paulo.”

Demikianlah, ketika memasuki gedung balaikota Sao Paulo, Erundina segera mengeluarkan slogan “Put the government of our city in the People’s hand.” Selain itu, sadar bahwa sebagai pejabat publik ia harus berdiri di atas semua kelompok masyarakat, Erundina meluncurkan slogan “A Government for Everyone.”

Ketika mulai menjalankan pemerintahannya, Erundina baru menyadari bahwa pengalamannya sebagai aktivis lapangan, kini diuji secara praktis-administratif. Ia mewarisi sebuah kota yang nyaris bangkrut, dengan utang publik mencapai $1,5 miliar. Keadaan keuangan yang buruk ini meyebabkan popularitasnya di masa-masa awal pemerintahannya anjlok drastis. Janji-janji di masa kampanye, banyak yang tak terealisasi. Misanya, karena Sao Paulo adalah kota yang padat, sesak, dan dipenuhi para migran dari pinggiran, maka transportasi yang nyaman dan murah merupakan masalah mendasar yang harus disediakan. Untuk itu ia berjanji akan membebaskan biaya transportasi umum. Kenyataannya, perusahaan bus negara bangkrut dimana sekitar 800 dari 3.000 bus terparkir di garasi. Akibatnya, ia terpaksa bernegosiasi dengan perusahaan transportasi swasta untuk mengisi kelangkaan transportasi umum. Kebijakan ini membuat hubungannya dengan pengurus PT lokal memburuk, karena ia dituduh menjalankan kebijakan yang pragmatis, khas kebijakan para teknokrat yang berkolaborasi dengan rejim militer.

Tetapi, Erundina tak berputus asa. Menghadapi kebangkrutan finansial warisan rejim lama, ia segera menggebrak kalangan elite mapan Sao Paulo. Ia meluncurkan kebijakan pajak progresif bagi orang kaya (industri-industri besar, para pebisnis, pemilik rumah-rumah mewah, klub-klub swasta besar, dan pemilik lahan-lahan besar yang tak produktif) untuk menambal anggaran kota. Ketika para orang kaya ini memprotes kebijakan Erundina, ia menjawab “Look, you owe a lot to the city for the cheap labor you hire, for the public investment that benefits you/Hei, kamu itu berutang banyak pada kota ini untuk buruh murah yang kamu pekerjakan, untuk investasi publik yang menguntungkan kamu.”

Untuk merealisasikan kebijakan pajak progresif bagi orang kaya ini, pemerintahan Erundina mendirikan lembaga yang disebut the Building and Urban Land Tax (Imposto Predial e Territorial Urbano atau IPTU). Lembaga inilah yang mengelola pendapatan dari pajak tersebut. Hasil dari kebijakan ini segera tampak, dimana pemerintahan Erundina berhasil mengurangi jumlah utang dari $1,5 miliar menjadi tinggal $315 juta. Kebijakan yang semula ditentang kalangan mapan tersebut, perlahan-lahan justru memperoleh dukungan dari kalangan ini, terutama karena pemerintahan Erundina konsisten dengan janji-janji kampanyenya dan juga karena transparansi dan akuntabilitas pemerintahannya. Hubungannya dengan PT pun pelan-pelan membaik, terutama setelah ia meluncurkan program dewan politik (political council) pada 1990, yang memungkinkan partisipasi seluas-luasnya dari rakyat dalam pengambilan kebijakan dewan kota.

Sektor transportasi publik yang semula bermasalah, berhasil diatasi dengan keberhasilannya membangun sistem transportasi yang murah dan nyaman. Caranya, bukan dengan memprivatisasi perusahaan bus milik negara tapi, menasionalisasi perusahaan bus swasta. Pada akhir masa pemerintahannya, Januari 1993, 2.000 bus baru meramaikan armada transportasi kota Sao Paulo. Sukses ini sekaligus mematahkan keyakinan banyak kalangan, bahwa perusahaan negara pasti tidak efisien dan sarang korupsi.

Kepedualian terhadap pentingnya fasilitas publik, juga tercermin pada besaran anggaran belanja yang dialokasikan. Selama pemerintahannya, anggaran belanja publik yang dialokasikan mencapai 48,1 persen dari total pembelanjaan kota, meningkat dari 33,8 persen dibandingkan masa pemerintahan Janio Quadros, sebelumnya, atau 10 persen lebih tinggi dalam masa 15 tahun terakhir.

Belanja sosial itu terutama dialokasikan pada sektor pendidikan, dimana walikota bertanggung-jawab mengembangkan kegiatan-kegiatan pra-sekolah milik publik, dan sepertiganya untuk pembiayaan program-program sekolah dasar. Ia mendanai pembangunan gedung-gedung sekolah yang terlantar, yang diperkirakan mencapai 600 buah. Pengeluaran untuk area ini pada 1991 mencapai 389 persen, tertinggi dalam sejarah. Erundina juga menaikkan level gaji guru. Antara tahun 1989-1991, pengeluaran untuk pendidikan personal meningkat sebesar 40 persen, walaupun terjadi peningkatan signifikan jumlah guru.

Di sektor pelayanan kesehatan, Erundina membangun pusat-pusat pelayanan kesehatan dengan mendanai pembangunan jaringan rumah sakit dan pusat-pusat pelayanan kesehatan. Menurut perhitungan pemerintah, hingga akhir tahun 1992, jumlah rumah sakit yang menyediakan dua ranjang meningkat dua kali lipat dibandingkan 1998 yakni, dari 1.286 menjadi 2.657. Departemen kesehatan juga menerima jumlah dana besar-besaran pada 1991-1992 untuk membangun fasilitas pelayanan kesehatan. Prioritas ini mencengangkan, karena Sao Paulo sanggup menyediakan 2.4 ranjang per 1.000 penduduk, sementara WHO merekomendasikan 4 ranjang per 1.000 penduduk.

Di bidang perumahan, pemerintahan Erundina juga membangun perumahan bagi masyarakat yang tinggal di perkampungan kumuh, dan masyarakat kelas bawah lainnya. Menurut perhitungan pemerintah pada 1989, dibutuhkan satu juta rumah baru untuk menampung keluarga berpendapatan rendah. Empat bulan kemudian, pemerintahan Erundina merencanakan pembangunan 40 ribu rumah baru untuk menampung 200 ribu penduduk. Dari proses itu, pemerintahannya berasil membangun 10 ribu rumah, dimana pemerintahannya sebelumnya hanya sanggup membangun kurang dari 3.000. Jika dua pemerintahan sebelumnya hanya sanggup melayani sekitar 6.000 keluarga melalui program urbanisasinya, pemerintahan Erundina dalam tiga tahun pertamanya berhasil melayani 25 ribu keluarga.

Demikianlah, sukses Erundina ini menambah jumlah tabungan kesuksesan pemerintahan kota yang dipimpin oleh kader-kader PT. Bukan berarti Erundina tak punya kelemahan. Seperti kata Lula, dalam wawancaranya dengan Bernardo Kucinski, “in Sao Paulo, Luiza Erundina did a good job, but she failed Politically.” Hasilnya, wakil dari PT untuk pemilihan walikota pada 1992, Eduardo Suplicy, dikalahkan oleh Paulo Maluf, veteran sayap kanan dan kolaborator militer.***

Kepustakaan:

Sue Branford & Bernardo Kucinsky, “Brazil Carnaval of the Oppressed,” Latin America Buereau, UK, 1995.

Lucio Kowarick and Andre Singer, ‘the Workers Party in Sao Paulo,’ dalam Lucio Kowarick (ed)., “Social Struggles and the City the Case of Sao Paulo,” Monthly Review Press, 1994.