Bonnie Setiawan: Transisi Politik Sudah Selesai

Dua tahun masa pemerintahan SBY-JK, tak terlihat ada perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat yang signifikan. Bahkan yang terjadi, makin melonjaknya angka kemiskinan, makin memburuknya sektor pelayanan publik, makin rendahnya kepercayaan terhadap penegakan hukum yang adil, dsb.

Janji-janji masa kampanye, tinggallah janji. Ada yang berpendapat, semua ini terjadi karena pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam bertindak, pemerintahan SBY-JK sepertinya masih dalam euphoria masa kampanye. Lalu, bagaimana kalangan progresif menilai kinerja pemerintahan selama dua tahun ini? Coen Husain Pontoh dari IndoProgress, mewawancarai Bonnie Setiawan, direktur eksekutif Institute for Global Justice (IGJ). Berikut petikannya:


IndoProgress (IP): : Bagamana penilaian Anda selama dua tahun pemerintahan SBY-JK ini dalam merespon kebijakan neoliberal?

Bonnie Setiawan (BS): Pemerintahan SBY-JK adalah pemerintahan neoliberalis, terbukti dengan kebijakan-kebijakannya selama ini yang pro-utang dan modal asing. Portofolio kabinetnya juga demikian. Perlakuannya terhadap Freeport dan Exxon-mobil juga demikian. Jadi sudah jelas, tidak perlu diperdebatkan lagi.

IP: : Dalam beberapa kasus, misalnya pemotongan subsidi dan liberalisasi ekonomi, tampak bahwa pemerintahan SBY-JK lebih konsisten ketimbang pemerintahan masa sebelumnya. Mengapa itu bisa terjadi?

(BS): Maksudnya konsisten neoliberal? Ya memang. Sekarang ini sebenarnya transisi politik sudah selesai. Habibie, Gus Dur dan Megawati adalah presiden-presiden transisional. Tapi SBY jelas presiden yang mengakhiri transisi itu dan merupakan presiden dari era neoliberal. Kalau bisa dikatakan, periode transisi reformasi politik itu sudah selesai. Reformasi itu adalah seperti yang sekarang ini terjadi, “re-form”, “pembentukan kembali” rejim lama menjadi baru, reproduksi rejim dan regenerasi rejim. Sekarang ini rejim neoliberal yang memang rajin melakukan pemotongan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi. Jadi jangan diharapkan apa-apa lagi dari rejim sekarang. Saya malah curiga semuanya ini ada yang men-desain secara terus-menerus, karena kekuatan rakyat lemah. Kekuatan ini lebih besar dari kekuatan pemerintah sendiri, semacam “global market regime.”

IP: : Dalam surat IGJ terhadap menteri perdagangan Mari Elka Pangestu, tampak bahwa IGJ masih berharap bahwa pemerintahan ini, khususnya departemen perdagangan, mau bersikap tegas menolak kebijakan WTO (World Trade Organization). Apakah harapan itu ada alasan rasionalnya?

(BS): Tentu kami bermain dalam dinamika sistem yang ada, di mana di WTO yang bermain adalah pemerintah, dan ada dimensi-dimensi perjuangan antar negara, semacam pertentangan hubungan Utara-Selatan; negara maju versus negara miskin dan lain-lain. Itu dimensi yang menarik yang menjadi dinamika di WTO; tidak melulu mengenai neoliberal. Di WTO biasa AS bertentangan dengan Uni-Eropa; AS versus Brazil; AS versus India dan lain-lain. Itu menarik, karena sistem kapitalisme global itu kompleks dan hubungan-hubungan politik-ekonomi di dalamnya juga kompleks. Bagaimana peran China di WTO, bagaimana strategi dia di WTO. Bagaimana India dan Brazil bermain. Dalam jangka panjang, AS tidak lagi bisa menjadi “single power.” Kalau China dan India berdaya, juga ada negara-negara Amerika Latin yang bangkit yang bisa menggagalkan FTAA (Free Trade Area of Americans), itu semua dinamika global.

Nah, di mana posisi Indonesia? Indonesia yang adalah negara besar di Asia Tenggara, juga harus diberdayakan. Tidak bisa melempem seperti sekarang. Setidaknya kami mendorong pemerintah [apakah itu Depdag (Departemen Perdagangan, Deplu (Departemen Luar Negeri), dan yang lain] untuk kritis merespons WTO; melihat posisi kita dalam peta global sekarang; mendorong perubahan sikap di pemerintahan kita. Kan meskipun kebijakannya neoliberal, politiknya bisa berbeda, karena dimensinya banyak. Lagipula neoliberalisme itu masih tipis, setipis negara kita yang soft-state. Kalau ada kelompok kuat yang bisa merevisi kebijakan neo-liberal ini menjadi lebih populis, masih bisa. Itu adalah dialektikanya, masih banyak kemungkinan-kemungkinan.

IP: : Dalam perkembangan terakhir mengenai kritik terhadap neoliberalisme, para aktivis dan intelektual progresif telah tiba pada pertanyaan, apa alternatif di luar neoliberalisme? Ada yang mengajukan partisipasi ekonomi sebagai alternatifnya, ada yang campuran seperti kasus Venezuela dan Bolivia, atau ada yang sosialis seperti Kuba. Tapi, ada pula yang lebih nasionalis, seperti sering dilontarkan oleh Kwik Kian Gie atau Walden Bello. Kira-kira, ada dimana posisi IGJ?

(BS): Kalau secara sederhana, jawaban IGJ adalah “keadilan global”. Itu ideologi yang berkembang setelah Seattle tahun 1999 (konferensi WTO yang gagal) dari berbagai social movement yang melihat globalisasi sebagai masalah dan ada banyak alternatif mewujudkan sebuah keadilan global. Kalau orang-orang neoliberal bicara kompetisi, kami bicara keadilan. Keadilan adalah parameter dari sistem. Kalau menyebabkan ketidakadilan, seperti privatisasi, liberalisasi dan lain sebagainya, maka harus ditentang dan diganti dengan alternatif lain yang adil.Keadilan global juga punya aspek kesadaran global, tidak hanya skala nasional; bahwa berbagai kejadian nasional itu sangat terkait dengan aktor-aktor global, apakah itu MNCs (Multinational Corporations), AS (Amerika Serikat), G-8, rejim utang dan lainnya yang mengendalikan dunia ini.

Semua alternatif yang tadi disebut, partisipasi ekonomi, nasionalisme, populisme venezuela dan sebagainya, itu sah saja dan merupakan pencarian setiap orang dan setiap negara. Kami juga masih mencari, dan perlu riset juga untuk itu. Yang penting, There Are Many Alternatives. Filosofinya yang penting, ke depan seperti apa. Yang jelas, filsafat kapitalisme sudah harus dibuang jauh-jauh. Meskipun realitasnya ada dan mungkin perlu waktu untuk membuang filsafat itu, tapi sebenarnya sudah harus disebarkan filsafat baru yang antitesa kapitalisme, yang non-kapitalistik. Tapi masalah filosofi ini perlu waktu lama. Kalau alternatif praktis, bisa dicoba dilakukan secara eksperimentatif, seperti di Venezuela dan Bolivia. Indonesia saya rasa bisa, karena warisan a’la sosialisme Indonesia masih kuat. Cuma kekuatan-kekuatan politik perlu mengarah ke sana dan berkonsolidasi bersama. Sudah mulai kan kekecewaan terhadap neo-liberalisme, dan mesti terus didorong.

IP: : Beberapa gerakan sosial di Indonesia sering menyuarakan gagasan mengenai nasionalisasi ekonomi. Mereka ingin negara memainkan peran besar dalam proses ekonomi. Secara lebih konkret, misalnya dalam sektor pertanian, mereka menuntut perlindungan pasar, penyediaan teknologi pertanian yang murah dan canggih, menyubsidi produk pertanian untuk eksppor, dan landreform. Menurut Anda dalam sistem ekonomi seperti apa tuntutan itu bisa dilaksanakan?

(BS): Nasionalisme ekonomi itu perwujudan yang populis. Ke depan kita harus menemukan tidak sekedar nasionalisme ekonomi, tapi keadilan ekonomi. Kalau nasionalisme ekonomi, nanti banyak kelompok-kelompok lama yang ikut bermain, karena sesuai dengan status-quo masa Orde Baru. Kalau keadilan ekonomi, porsinya jelas kepada rakyat kecil, petani, pekerja. Tapi dua hal itu kadang berimpit, jadi kadang membingungkan. Dalam kadar tertentu, nasionalisme ekonomi masih bisa dipakai, tapi perlu proporsionalitas, tidak over dosis.

Contohnya ide Indonesia Incorporated, itu kan bias kepentingan pengusaha-pengusaha besar yang berlindung di balik negara; petaninya dan buruhnya nggak diperhatikan. Contoh lain, bagaimana perlu ada nasionalisasi perusahaan-perusahaan migas (minyak dan gas) dan pendapatannya dialokasikan ke kesejahteraan rakyat, bukan lalu dikuasai Pertamina yang sebenarnya dikuasai elit dan tanpa kontrol, atas nama nasionalisme.

Kalau keadilan ekonomi, jelas harus memperhatikan redistribusi sumber-sumber daya; alokasi ekonomi yang lebih besar untuk petani, kesehatan, pendidikan; ekonomi yang kerakyatan; dan lain-lain. Itu yang kami maksud keadilan global, dimana salah satu aspeknya adalah keadilan ekonomi. Lainnya, seperti meninjau ulang hubungan internasional yang tergantung ke negara-negara Barat, tergantung ke utang, tergantung ke modal asing dan lain-lain. Sistemnya dengan sendirinya akan terbentuk ketika satu-per-satu aspeknya dibenahi. Sementara kita sebut saja sistemnya kerakyatan atau populis, karena parameternya keadilan sosial-ekonomi bagi rakyat kecil.

Dalam jangka panjang, saya masih percaya sistem sosialis yang betul-betul sosialistis, bukan sosialisme kapitalistis anti-demokrasi yang gagal itu. Tapi itu jangka panjang sekali, malah mungkin bukan di masa ketika kita hidup. Sosialisme akan ada ketika kapitalisme sudah mati, sehingga masyarakatnya sudah di tahap kapitalisme dewasa yang secara filosofis sudah matang untuk masuk ke masyarakat egaliter demokratis.

IP: : Soal peran negara, ada yang mengatakan, pertanyaan sebenarnya bukan apakah negara boleh turut campur atau tidak. Tapi, seberapa besar atau sejauh mana negara boleh terlibat dalam aktivitas ekonomi? Apakah negara cukup sebagai fasilitator dan protektor, ataukah ia harus pula terlibat dalam proses produksi?

(BS): Tentu negara punya porsi yang besar. Di AS saja negara porsinya besar sekali. Anggaran R&D (research and development), misalnya, untuk NASA atau Departemen Pertahanan besar sekali dibandingkan swasta. Apalagi untuk negara seperti Indonesia, porsi negara tetap harus besar. Negara itu perwujudannya kedaulatan rakyat. Negara menyelenggarakan berbagai program kesejahteraan untuk rakyat, meskipun pemerintahannya (administrasinya) berganti-ganti. Itu makanya ditetapkan di konstitusi, seperti pasal 33 UUD 45. Harus begitu.

Yang menjadi masalah, adalah seringkali pemerintahnya dikuasai oleh elit-elit korup yang tidak bisa diawasi dan tidak bisa diganti. Kalau pemerintahnya demokratis dan tetap representasi kepentingan rakyat, maka negara dapat menjalankan program-program kesejahteraan secara luas dan mendalam. Di mana porsi swasta? Ada dengan sendirinya, karena ekonomi pasar kan tetap ada. Tetapi ekonomi pasarnya terkontrol, terbatasi dan tidak bisa main spekulasi seenaknya. Pendapat saya, kapitalisme itu akan tetap ada, cuma harus dikontrol. Dia seperti binatang buas pemakan segala, yang harus dirantai dan dirawat agar tidak memakan anak-anak kita dan diri kita sendiri. Jadi kapitalisme harus beriringan dengan sistem sosial lain, seperti kerakyatan dan kesejahteraan.

Banyak darikonstitusi kita mengatakan itu. UUD 45 itu kan aspek sosialistiknya kuat. Tinggal terus menerus diperkuat aspek-aspek sosialnya. Tanah itu berfungsi sosial, negaranya harus bersifat kesejahteraan, tinggal terus diamandemen masalah hak-hak dasar, HAM, demokrasi, kepentingan publik dan lain sebagainya.

Jadi perusahaan-perusahaan privat itu bekerja dengan batasan-batasan, termasuk MNC-MNC. Itu biasa dimana-mana. Di Barat juga batasan-batasan terhadap perusahaan-perusahaan banyak. Ada pajak yang besar sekali, ada industri strategis, ada kontrol ketat atas Bursa saham atau pasar valas, dan lain-lain. Di kita yang seringkali kebobolan, karena semuanya diliberalisasikan sampai sebebas-bebasnya dan tak terkontrol. Mereka, orang-orang asing senang saja, karena di negara mereka sudah susah bekerja. Atau kamu jadi besar sekali karena beroperasi di banyak negara sehingga lebih sulit dikontrol atau kalau kamu tidak besar ya kamu harus ikuti aturan pemerintah.

Jadi negara bukan sekedar sebagai fasilitator dan protektor, tapi dimana-mana negara bermain aktif, mungkin sampai akhir jaman. BUMN-BUMN itu harus diperkuat dan dimodernisir (didemokratiskan), tapi harus berperan banyak. Lihat Singapura, yang katanya paling liberal, nyatanya negara besar sekali peranannya, bahkan jadi otoriter. Jadi jalankan terus cetak biru negara berdasar konstitusi kita, kita perbaiki terus ke arah negara yang kuat dan demokratis dan kerakyatan. Mudah-mudahan bangsa kita akan sejahtera dan meninggalkan kemiskinan tidak terlalu lama lagi.***