Muhammad Ikhwan
Senin 24 Juli di Jenewa perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kolaps. Ia menyisakan renungan bahwa ada kesalahan besar di tengah sistem perdagangan dunia saat ini. Perundingan ini memulai krisis pasca pertemuan Hong Kong tahun lalu, dengan pertempuran paling besar di sektor pertanian dan industri.
Level of playing field
Hampir 60 tahun usia perdagangan dunia diatur GATT dan WTO, namun faktanya masih banyak ketidakadilan yang terjadi di tengah kita. Indonesia, misalnya, dihadapkan dengan pemain kelas kakap dalam perdagangan bebas pertanian sehingga kemajuan pertanian dan kedaulatan pangan rakyat terkekang. Tidak ada “level of playing field” yang adil di dalam sistem perdagangan bebas yang dipromosikan oleh rejim perdagangan global ini.
Dumping produk susu dan daging murah dari Australia mematikan peternak kita. Pertanian kita dihancurkan oleh gandum yang disubsidi tinggi dari AS, kedelai dari AS dan Amerika Latin, beras dari Thailand dan Vietnam. Penjelasan inilah yang dikemukakan petani Indonesia yang berada di Jenewa minggu lalu dalam agenda aksi melawan WTO disana. Dengan masuknya komoditi pertanian murah tersebut, harga dan pasar domestik hancur; produksi tidak menguntungkan; petani terancam mata pencahariannya.
Dengan krisis berkepanjangan dan keresahan dalam 149 konstituen negaranya, WTO bukanlah sistem yang cukup demokratis untuk memajukan perdagangan dan mengurangi angka kemiskinan. WTO juga dikontrol oleh negara-negara tertentu yang cenderung memonopoli perdagangan. Di baliknya bersembunyi perusahaan transnasional pengeruk laba, macam Cargill, Monsanto dan Syngenta yang menguasai lebih dari 80% perdagangan komoditi pertanian dunia.
“Putaran Pembangunan”
Putaran Doha—yang disebut sebagai ‘Putaran Pembangunan’—bukan mendorong dan memberi kesempatan rakyat kecil untuk membangun, malah melulu tentang perdagangan. Fakta menyatakan bahwa kelompok negara G8 meraup 85% dari ‘kue’ kekayaan dunia dan menguasai 75% perdagangan dunia. Sementara rakyat yang hidup di bawah standar kemiskinan $1 per hari semakin bertambah di berbagai belahan dunia.
Yang membuat jurang besar di tengah negosiasi sendiri adalah paksaan pembukaan pasar terus menerus, sementara banyak dari negara belum siap melepaskan sektor pertaniannya dalam mekanisme pasar. Seorang negosiator dari Brazil dengan lantangnya berkata, bahwa butuh tiga faktor agar perundingan WTO berhasil, yakni (1) kepercayaan universal bahwa perdagangan bebas versi WTO bisa mengurangi kemiskinan (2) keserakahan akses pasar yang rata dimiliki seluruh anggota WTO (3) kesepakatan antara negara eksportir.
Faktanya, memang negara eksportir mendominasi kontrol dalam perundingan perdagangan bebas. Aktor-aktornya tak lain AS, Uni Eropa—dan diikuti Jepang, Australia. Belakangan Brazil dan India ikut serta, dan keenam negara ini membentuk poros kelompok negara G6. Tuding-menuding untuk mencari kambing hitam kolapsnya perdagangan global juga sudah dimulai. Hampir seluruh negara menunjuk AS yang tanpa kompromi, AS balas menuding Uni Eropa, dan negara maju menyatakan negara miskin dan berkembang menghambat perundingan karena terlalu protektif.
Tidak ada yang sadar bahwa keseluruhan mesin di WTO-lah yang salah.
Alternatif petani
Petani menyuarakan untuk keadilan dan pembangunan rakyat. Perdagangan memang bisa dijadikan alat untuk membangun, namun tentunya tidak dengan ‘agama’ neoliberal-pasar bebas di bawah rejim WTO. Untuk itulah petani mengajukan alternatif baru dalam paradigma pertanian, yaitu kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk menentukan dan mengatur sendiri tentang pangan dan pertaniannya. Konsep ini sudah dirancang oleh petani dari sejak tahun 1996 oleh Gerakan Petani Dunia, La Via Campesina. Hal ini berguna untuk melindungi dan mengatur produksi pertanian domestik, dan juga masalah perdagangan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Kedaulatan pangan juga menentukan sejauh mana rakyat ingin memenuhi sendiri kebutuhan pangannya, dan untuk menolak dumping produk impor ke dalam pasar domestik. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun lebih mempromosikan formulasi kebijakan perdagangan dan praktek yang melayani hak rakyat untuk produksi pangan berkelanjutan yang aman, sehat dan ramah lingkungan.
Alternatif perdagangan pertanian dalam paradigma kedaulatan pangan saat ini sudah diaplikasikan di negara-negara semacam Kuba, Mali, Mozambik. Menyusul selanjutnya Venezuela dan Bolivia. Sistem pangan, produksi-konsumsi-distribusi, juga membutuhkan sistem yang adil bagi petani dan produsen kecil di seluruh dunia. Bahkan di negara maju, prinsip-prinsip kedaulatan pangan diadopsi dalam pertanian kecil dan keluarga di Eropa dan AS. Mereka inilah yang bergembira menyaksikan kolapsnya WTO, yang didukung oleh organisasi rakyat lain seperti nelayan, buruh dan pemuda.
Kembali ditekankan oleh mereka yang mengadakan aksi di depan kantor WTO di Jenewa, bahwa sistem perdagangan dan paradigma macam WTO inilah yang salah, bukan mekanisme perlindungan produk pertanian atau tidak dibukanya akses pasar. Model-model alternatif lain yang diusulkan—yang bermodel dari bawah ke atas dan yang mewakili kepentingan rakyat—kini memiliki kemungkinan besar melawan satu model universal WTO. Dan tentunya, saat ini sudah lama ditunggu-tunggu.
Penulis saat ini adalah Staf Pengkajian Kebijakan dan Kampanye di Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)