Beberapa waktu lalu, secara tidak langsung, saya mendapatkan kiriman artikel yang ditulis James Petras, guru besar sosiologi di universitas Binghamton, AS. Dalam artikel berjudul , "Is Latin America Really Turning Left?" yang dipublikasikan pada 4 Juni 2006, di situs www.Counterpunch.org, Petras, seperti biasanya, mempertanyakan penilaian sebagian kalangan bahwa kawasan Amerika Latin, kini benar-benar tengah bergeser ke kiri.
Sebagai seorang yang telah puluhan tahun mengikuti, menganalisa, dan terlibat langsung dalam jatuh-bangunnya politik kiri di Amerika Latin, artikel Petras ini tak pelak patut diperhatikan. Di beberapa artikel lainnya, Petras berpendapat, seluruh pemimpin yang dikategorikan kiri seperti Hugo Chavez di Venezuela, Luiz Inacio "Lula" Da Silva di Brazil, Evo Morales di Bolivia, Nestor Kirchner di Argentina, atau Michelle Bachelett di Chile, adalah pemimpin yang sebagian atau seluruhnya tetap mengakomodasi kebijakan ekonomi neoliberal. Lula, misalnya, dikritiknya karena lebih mementingkan kelompok pengusaha agrobisnis besar ketimbang petani tak bertanah. Bachelett, diserangnya karena turut mengirimkan pasukan Chile ke Haiti, ketika Amerika Serikat memakzulkan secara paksa presiden populis Haiti, Jean Bertrand Aristide.
Tetapi, saya tidak akan membahas analisa Petras terhadap kinerja pemimpin "kiri" tersebut. Saya, secara pribadi, agak tergelitik dengan pandangan Petras yang nampak selalu pesimis dengan "kemenangan-kemenangan" politik yang telah dicapai kelompok kiri berhadapan dengan rejim neoliberal saat ini. Pesimisme Petras ini, bahkan telah menular hingga ke Indonesia (baca makalah George Junus Aditjondro, dalam diskusi memperingati Che Guevara, di Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta).
Walau sulit menyangkal kekuatan analisisnya, saya menangkap kesan Petras agak dogmatis. Dalam bahasa Roysepta Abimanyu, Petras hanya berfokus pada konflik yang antagonistik tapi, mengabaikan konflik yang non-antagonistik. Karena pesimismenya yang menular itu, saya terus mencari tahu, gerangan apa yang menyebabkan pesimisme itu muncul. A ha, saya akhirnya terbantu oleh sebuah artikel yang ditulis Steve Ellner, yang dimuat di jurnal Science & Society, terbitan Juli, 2006. Science & Society adalah salah satu jurnal Marxisme paling bergengsi di Amerika Serikat saat ini. Dalam artikel bertajuk "The Defensive Strategy on the Left in Latin America: Objective and Subjective Conditions in the Age of Globalization," Ellner menulis, pasca kejatuhan Uni Sovyet, politik kiri di kawasan tersebut mengalami krisis ideologi, krisis program, dan krisis organisasi yang parah. Disusul kemenangan kapitalisme yang terbesar sepanjang sejarahnya, keterpurukan politik kiri tersebut mencapai titiknya yang terbawah.
Dalam kondisi seperti itu, sebagian intelektual kiri seperti Perry Anderson (adik Prof. Benedict Anderson), William I. Robinson, dan terutama Jorge Castaneda dan Martha Harnecker, menawarkan kepada gerakan kiri sebuah strategi baru untuk merespon kondisi obyektif yang ada, yang mereka sebuat sebagai Strategi Defensif. Dasar pemikirannya, dalam konteks globalisasi-neoliberal yang bercirikan perkembangan teknologi tinggi dan mengaburnya batas-batas antar negara, sebuah strategi perjuangan yang bersifat lokal-nasional dan terisolasi dari lingkup perjuangan internasional, adalah mustahil. "Perjuangan yang bersifat lokal" demikian Harnecker, "harus dipandang sebagai sebuah pengalaman praktis..... untuk membangun sebuah proyek alternatif terhadap kapitalisme."
Sebagai jalan keluarnya, para pendukung strategi defensif ini merayakan apa yang disebut "perlawanan transnasional" dan menganjurkan gerakan kiri agar memiliki "perspektif transnasional." Itu sebabnya, para penyokong strategi ini begitu berbunga-bunga hatinya ketika meledak peristiwa Seattle, kampanye anti-sweatshop, dan gerakan Zapatista. Momentum ini, memenuhi mimpi mereka tentang apa yang disebut sebagai "a new local-global politics." Sementara itu, pada level nasional, para pendukung strategi defensif, menganjurkan sikap politik moderat terhadap rejim neoliberal (sebuah sikap politik yang oleh Budiman Sudjatmiko, ketika tengah kuliah di Inggris, disebutnya sebagai politik Kiri Tengah (Center Left). Ada dua alasannya: pertama, setelah kebangkrutan Uni Sovyet, tak ada lagi alternatif di luar kapitalisme; kedua, ada keyakinan yang kuat bahwa globalisasi neoliberal akan sanggup mengangkat taraf kesejahteraan rakyat miskin di Amerika Latin.
Demikianlah, sejak dekade 1980an hingga 1990an, hampir seluruh rejim yang berkuasa di Amerika Latin, telah menjadikan kebijakan neoliberal sebagai paket dari kebijakan nasionalnya. Sementara itu, gerakan kiri dipaksa untuk bermain cantik di tengah-tengah serbuan kekuatan pasar. Permainan cantik yang selalu berakhir dengan kegagalan.
Berhadapan dengan barisan intelektual kiri pengusung strategi defensif ini, James Petras maju sebagai yang terdepan dalam menelanjangi kekeliruan-kekeliruan teoritik di balik strategi defensif itu. Ia mengakui, gerakan kiri memang tengah mengalami krisis ideologi yang parah. Tapi, penganjur strategi defensif makin memperparah krisis ideologi tersebut. Ia menyebut para intelektual tersebut, sebagai intelektual "Kiri Tengah," yakni mereka yang radikal dalam kata-kata tetapi konservatif dalam tindakan politiknya. Sebagai bentuk perlawanannya, Petras memajukan sebuah strategi yang berlawanan secara diametral: Strategi Ofensif. Menurutnya, sektor bisnis nasional tidak akan sanggup menghadapi kekuatan sektor bisnis global. Satu-satunya kekuatan yang sanggup untuk itu, adalah gerakan sosial atau lebih jauh lagi adalah gerakan kelas pekerja yang terorganisir. Kelompok ini yang menurut Petras, akan sanggup memblok, melawan, dan pada akhirnya menjatuhkan rejim neoliberal.
Selain itu, Petras menolak pendapat bahwa globalisasi neoliberal yang menyapu dunia, disebabkan oleh faktor-faktor struktural (kemajuan teknologi dan komunikasi serta mengaburnya batas-batas negara). Bagi Petras, dominasi itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor subyektif seperti, tidak adanya gerakan kelas pekerja terorganisir dan krisis ideologi yang parah di kalangan kiri. Dalam artikelnya yang berjudul "Imperial State, Imperialism and Empire," Petras menegaskan posisi teoritiknya ini,
"Perpindahan kapital (melalui perusahaan multinasional), kemampuan mengeruk bahan-bahan dasar, mengamankan sumber-sumber energi, meminjamkan modal dan memaksakan penagihan utang, mendominasi pasar yang terbatas, dan menekan upah serendah-rendahnya, secara keseluruhan sangat bergantung pada hubungan politik yang memfasilitasi kondisi-kondisi tersebut."
Imbas dari perbedaan pemikiran ini sangat jauh. Pada yang pertama, gerakan kiri dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi-politik global. Di sini, politik kiri sesungguhnya ditentukan batas-batasnya oleh kondisi di luar dirinya. Sedang pada yang kedua, gerakan kiri harus berusaha secara aktif mengoreksi kelemahannya agar bisa mengubah tatanan ekonomi-politik yang menindas tersebut. Di sini, politik kiri diharuskan untuk melewati batas-batas yang dibentuk oleh kondisi-kondisi di luar dirinya.
Kemudian, jika penganut strategi defensif seperti Castaneda dan Harnecker berpendapat, gerakan anti imperialis dan revolusi sosialis tidak lagi layak untuk masa kini, Petras sebaliknya, melihat sosialisme sendiri memiliki kapasitas untuk mengatasi kerusakan sosial sebagai akibat dari penerapan kebijakan neoliberal yang dipromosikan oleh imperialisme. Demikian pula, jika Jorge Castaneda menolak slogan "anti-imperialisme" dan Marta Harnecker menolak slogan "revolusi anti-imperialis," Petras berpendapat, sentralitas perjuangan anti-imperialisme di Amerika Latin malah semakin kuat. Akhirnya, jika para pengusung strategi defensif memandang sebelah mata kekuatan gerakan sosial, Petras malah menaruh harap yang besar pada mereka.
Demikianlah, menjelang dekade 1990an tutup buku, prediksi Petras satu demi satu menjadi kenyataan. Aksi-aksi gerakan sosial semakin kuat, bahkan di beberapa tempat sanggup menjatuhkan rejim neoliberal. Sebagian di antara pemimpin gerakan tersebut malah terbang ke puncak tertinggi kekuasaan. Sayangnya, begitu kekuasaan direngkuh, apa yang menjadi ideal ketika masih sebagai oposisi atau aktivis, tak mudah direalisasikan. Bahkan parahnya, mantan oposan itu ada yang membalikkan punggungnya ketika berhadapan muka dengan rakyatnya.
Pada titik itulah, saya bisa memaklumi kekecewaan dan kemarahan James Petras.