Rangkaian Maut Kayu dan Senjata: Dari Liberia hingga Papua

Sylvia Tiwon

Liberia adalah sebuah negara kecil yang terletak di pantai barat benua Afrika yang kaya intan dan produk hutan. Negara ini didirikan pada abad ke-19 sebagai upaya pengembalian orang-orang Afrika yang diperbudak di Amerika. Ironisnya, pada abad 20, Liberia menjadi lahan perusahaan-perusahaan Amerika yang memunculkan kondisi kerja bagi warga Liberia (yang berarti “terbebaskan”), yang tidak banyak berbeda dengan kondisi perbudakan. Akibatnya, konflik kepentingan antara warga eks-budak dengan kelompok-kelompok lokal yang merasa menjadi korban ketidakadilan pun tak terhindarkan. Konflik kemudian merebak menjadi perang internal yang merembet ke negara tetangga, terutama Sierra Leone dan Guinea.

Pada 1997, Charles Ghankay Taylor terpilih menjadi presiden Liberia. Tapi, pada 2003 ia dipaksa turun dari jabatan tersebut, menjadi eksil (pelarian politik) di Nigeria, dan kini menghadapi proses pengadilan dengan tuduhan kejahatan dalam perang (war crimes) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Taylor dituduh membentuk dan mendukung milisi-milisi pemberontak di Sierra Leone, yang bertanggungjawab atas berbagai kejahatan pelanggaran HAM, termasuk menggunakan tentara anak (child soldiers). Laporan Amnesty International (AI) tahun 2001, membongkar berbagai pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan politik, perkosaan mahasiswa perempuan, dan penganiyaan.

Lantas, apa hubungannya negara Afrika yang jarang kita perhatikan dengan pelanggaran HAM di Indonesia?

Pada10 Mei 2006, Amnesty International (AI) dan TransArms (Research Centre for the Logistics of Arms Transfers), mengeluarkan laporan berjudul “Dead on Time – arms transportation, brokering and the threat to human rights.” Laporan ini menelusuri berbagai konglomerat yang terlibat dalam “arms trafficking” termasuk ke Liberia (sekitar akhir 1990an dan awal 2000). Salah satu konglomerat terbesar yang beroperasi di Liberia ini adalah perusahaan OTC (Oriental Timber Company), yang presidennya, G. Van Kouwenhoven, seorang Belanda, telah ditangkap di Belanda pda 18 Maret 2005. Ia dituding telah menggunakan perusahaan kayu tersebut untuk memasok senjata ke Liberia, dimana kegiatan tersebut melanggar embargo perdagangan senjata api oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) terhadap negara tersebut. Laporan AI/TransArms juga menyebutkan, Van Kouwenhoven merupakan orang pertama yang diseret ke pengadilan dengan tuduhan kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity) di Liberia, di mana ratusan ribu orang tak berdosa tewas dalam konflik.

Dari berbagai laporan, diperoleh rangkaian internasional yang mengaitkan perusahaan kayu OTC ini dengan perusahaan induk berbasis di Singapura. Laporan AI/TransArms mengutip Laporan Dewan Keamanan PBB (UN Security Council’s Expert Panel Report on Liberia tertanggal 26 Oktober 2001)mengatakan, Panel Ahli tersebut memperoleh dokumen bank yang menunjukkan, telah terjadi pembayaran US$500,000 langsung dari perusahaan Borneo Jaya, Pte Ltd., perusahaan induk OTC, kepada perusahaan trafficking senjata San Air untuk pengiriman senjata. Pembayaran tersebut dilakukan atas nama Dato Seri Hong Uray.

Di samping itu, laporan AI/TransArms juga mengutip berbagai sumber, termasuk laporan Global Witness, bahwa kapal-kapal yang terkait OTC menurunkan peralatan militer di Liberia sambil menunggu muatan kayu. Pekerjaan bongkar muat umumnya dilakukan malam hari oleh pasukan tentara dan personalia OTC sendiri, bukan oleh buruh pelabuhan biasa. Mengutip Washington Post Juni 2002, laporan AI/TransArms juga menulis, kapal-kapal carteran OTC mengirim senjata ke pasukan-pasukan presiden Liberia saat itu, Charles Taylor.

Laporan AI/TransArms ini selanjutnya mengutip laporan Dewan Keamanan PBB tanggal 26 Oktober 2001 yang menyatakan, OTC mempunyai kaitan dengan perusahaan Global Star Holdings (berbasis di Hong Kong) “yang merupakan bagian dari Djan Djajanti group Indonesia, dengan kantor di Singapura dan Hong Kong dan investasi besar di Indonesia dan Cina. Djan Djajanti bertanggungjawab atas 70 persen modal investasi konsesi tersebut.” Sementara Gus Kouwenhoven hanya memiliki 30 persen modal, dan Joseph Wong Kiia Tai, putra ketua Djajanti menjadi manager. Grup Djajanti “telah menanam sekitar US$110 juta dalam proyek (Liberia) tersebut”.

Pada 28 Juli 2005, Allan Thornton, Presiden Environmental Investigation Agency memberi kesaksian di hadapan Kongres AS mengenai keterlibatan RRC dalam illegal logging (perdagangan kayu gelap) di Afrika (Chinese Involvement in African Illegal Logging and Timber Trade), yang mengutip laporan EIA-Telapak (ornop Indonesia) berjudul “The Last Frontier: Illegal Logging in Papua and China’s Massive Timber Theft.” Dalam kesaksian ini juga disebut, Presiden Liberia ketika itu Charles Taylor, menggunakan sumber daya dari kayu untuk aksi militernya dan untuk mendanai tentara bayaran di Sierra Leone dan Cote d’Ivoire. Kesaksian ini juga menyebut OTC sebagai perusahaan yang menyalurkan kayu dari Liberia ke RRC, melalui Global Star Tradings, yang menjadi bagian dari “Grup Indonesia Djan Djajanti” yang didirikan pengusaha Burhan Uray.

Sementara, PT Djajanti menanggung utang sebesar US$329 juta, dan utang pada negara sebesar US$140 juta (Jakarta Post, 21 May 2003) dan dampak penebangannya di Indonesia Timur (Papua, Maluku, a.l.) menyengsarakan rakyat yang kehilangan hak atas hutan dan air.

Catatan:
Laporan Amnesty Internationa/TransArms, Dead on Time ini dapat diperoleh di website Amnesty International, cari dokumen AI Index: ACT 30/008/2006 .
Kesaksian Allan Thornton, dapat diperoleh di http://www.house.gov/international_relations/109/tho072805.pdf
Lihat juga laporan Global Policy Forum, UN exposes arms smuggling, tanggal 6 November, 2001. ).