“Does mechanization affect human values, and if so, how?
To what extent and under what conditions should we allow technology
to shape our definition of ourselves as a civilization or as a species?”
(F. Garvin Davenport, 1990:227)
Anthony Giddens (1999) pernah berujar, “teknologi komunikasi elektronik yang serba-segera ini bukan sekedar alat untuk menyampaikan berita dan informasi secara cepat. Ia mengubah seluruh hidup kita sampai yang sekecil-kecilnya”. Ia benar.
Ketika naik-turunnya harga saham sebuah perusahaan yang di-listing di New York Stock Exchange bisa diketahui di Bursa Efek Jakarta hanya dalam selisih sepersekian detik, suatu bentangan ruang-waktu sudah dinisbikan. Ketika kita mengangkat telepon untuk membeli pizza dari restoran 5 km dari rumah/kantor, sebuah koordinasi ruang-waktu yang baru sedang kita hidupi. Teknologi informasi adalah jenius yang mengubah wajah aktivitas ‘ekonomi konvensional’ (yang mengandalkan interaksi fisik) menjadi ‘ekonomi digital’ (yang merelativir interaksi fisik). Teknologi informasi telah menjadi prasyarat revolusi yang mencengangkan dalam tata interaksi manusia. Bisa dikatakan: tanpa teknologi informasi, tak ada globalisasi.
Ambivalensi revolusi teknologi informasi
Revolusi teknologi informasi dan komunikasi memang mencengangkan. Dan ‘kekinian’ nampaknya menjadi penanda utama. Sejak jatuhnya biaya telepon tiga menit antara New York dan London dari US$ 300 (tahun 1930, dengan kurs dolar tahun 1996) menjadi 45 sen (tahun 1996), nilai pasar telekomunikasi dunia kini mencapai lebih dari 1 trilyun dolar AS. Dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komputer, efek revolusi biaya komunikasi ini berantai. Badan telekomunikasi internasional, ITU, melaporkan dari kira-kira hanya 513,4 juta orang (8% populasi dunia) yang menggunakan internet pada tahun 2001 angka itu kini mencapai 1 milyar (16%) hanya dalam tiga tahun.
Dampak ekonominya menakjubkan. Transaksi business-to-costumer (B2C) online mencapai 108 milyar dolar AS sementara business-to-business (B2B) 1.3 trilyun dolar AS. Karena itu, tak heran jika ada klaim bahwa globalisasi yang dipompa teknologi informasi ini dianggap berkah; informasi sudah menjadi ‘mata uang’ baru, dan karenanya ia juga menjadi ‘alat kekuasaan’ yang baru. Filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) sudah lama mengatakan ini dengan ungkapannya yang terkenal “pengetahuan adalah kekuasaan”. Namun, baru dalam jaman neoliberalisme ini ungkapan Bacon sungguh bisa dilihat wujudnya.
Tetapi klaim di atas baru separuh cerita. Dan sebaiknya kita tidak terjebak dengan klaim serampangan itu. Di tahun 1960, sebanyak 20% warga paling kaya dunia menguasai 70,2% kekayaan dunia, dan 20% warga paling miskin mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Pada akhir 1990, seperlima penduduk yang paling kaya itu menguasai 86 persen kemakmuran dunia, sementara seperlima yang paling miskin hanya mengais-ngais 1 persennya. Kini? Angka itu sudah menjadi 88 persen dan 0,85 persen. Karena cepatnya pertumbuhan jumlah peduduk, angka absolut penduduk miskin itu tak berkurang sedikitpun. Justru di awal milenium ini, dari sekitar 5,4 milyar penduduk bumi, lebih dari 1,3 milyar manusia masih hidup di bawah satu dolar per orang per hari dan jumlah serupa tak punya akses pada air bersih. Juga jangan lupa, dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak.
Bagaimana dengan teknologi komunikasi? Kesenjangan yang sama terjadi antara negara kaya dan miskin. Kesenjangan akses terhadap teknologi komunikasi makin lebar seiring dengan makin lebarnya kesenjangan ekonomi. Digital divide, demikian orang bilang, yaitu kondisi kesenjangan dimana di satu negara (miskin) akses terhadap teknologi komunikasi sangat rendah dibandingkan dengan negara lain (kaya). Dan karena itu, negara miskin makin sulit mengejar ketinggalannya.
Terhadap persoalan ini, muncul berbagai upaya untuk mengatasi kesenjangan digital supaya negara miskin tak terlalu tertinggal. Maka berlomba-lombalah upaya digitalisasi ini dijalankan. Bahkan dalam pertemuan dunia masyarakat informasi (WSIS) PBB pun menggelar target menjembatani kesenjangan digital ini sebagai bagian upaya mengurangi kemiskinan. Mengapa? Dalam konteks pembangunan, teknologi komunikasi dianggap sarana ampuh untuk melawan kemiskinan dunia karena
“teknologi komunikasi dan informasi mampu memberikan kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya bagi negara-negara berkembang untuk mencapai target yang vital dalam pembangunan seperti pengurangan kemiskinan, penyediaan jasa kesehatan dasar dan pendidikan – jauh lebih efektif dari sebelumnya. Karena itu, negara-negara yang bisa memanfaatkan potensi teknologi informasi dan komunikasi bisa berharap akan makin cepatnya pertumbuhan ekonomi, makin pesatnya peningkatan kesejahteraan hidup dan terciptanya tata pemerintahan yang baik.”
Benarkah? Mungkin kita bisa meragukan itu karena hal-hal berikut. Pertama, kesenjangan digital akhirnya hanya dipahami sebagai gap antara yang punya akses terhadap teknologi (si kaya) dan yang tidak (si miskin). Di sinilah ia mengecoh kita. Kesenjangan digital memberikan jawaban sederhana (yaitu menggunakan teknologi informasi/komputer) untuk menjawab persoalan yang rumit (yaitu kemiskinan dan ketidakadilan). Padahal anak kecil juga tahu bahwa komputer tidak bisa menyelesaikan soal kemiskinan begitu saja. Justru karena klaim bahwa ‘teknologi informasi bisa digunakan oleh semua orang’, maka perbedaan tingkat pemakaian dan penerapan teknologi itu bisa diduga terletak pada soal-soal sosial, ekonomi, dll., dan bukan pada soal-soal teknologi itu sendiri. Karena itu pula, seperti halnya tingkat penggunaan dan investasi dalam teknologi amat berbeda karena perbedaan faktor sosial dan ekonomi, demikian juga kita bisa menduga bahwa tingkat pemanfaatan dan distribusi manfaatnya juga berbeda karena faktor-faktor tersebut. Ini pijakan penting.
Kedua, gagasan kesenjangan digital itu punya konsekuensi ekonomi-politik yang tidak sederhana karena ia justru satu menjadi salah satu senjata neoliberalisme itu sendiri. Negara-negara miskin (seperti Indonesia), harus siap menjadi ‘tempat pembuangan limbah’ teknologi, entah teknologi lama ataupun teknologi baru. Alasannya sederhana. Negara-negara maju produsen teknologi komunikasi dan informasi butuh pasar karena daya serap pasar mereka sendiri terbatas. Karena itu, selain menghembuskan gaya-hidup modern yang karakteristiknya harus dibalut teknologi komunikasi keluaran terbaru (bagi kelas menengah ke atas), jargon digital divide itu menjadi sarana ampuh untuk membuang teknologi komunikasi yang sudah usang ke negara miskin untuk ‘pengentasan kemiskinan’.
Spekulatif? Bisa jadi. Tetapi perhatikan fakta berikut. Dari total pasar teknologi komunikasi saat ini yang sebesar 2,071 triliun Euro (sekitar 1 triliun dolar AS) itu, AS menguasai 32,4%, Eropa 30,5%, Jepang 12,3%, “Macan Asia” (Hong Kong, Singapura, Korsel dan Taiwan) 3,1%. Sisanya yang sekitar 21% dibagi oleh penduduk dunia lainnya. Yang belajar ekonomi akan segera melihat, walau timpang, proporsi pasar seperti ini kalau dirawat akan menguntungkan dalam jangka panjang. Mengapa? Karena ia memastikan bahwa produk teknologi baru (yang hi-tech dan mahal) akan terserap oleh mereka yang mampu membeli, yaitu negara kaya dan orang-orang kaya di negara miskin. Lalu, karena ‘umur psikologis’ produk-produk ini pendek, jauh lebih pendek dari ‘umur ekonomis’ maupun ‘umur teknis’ (misalnya handphone, laptop, PDA, komputer), perlu ada ‘tempat pembuangan’ agar produk baru bisa diluncurkan dan tetap punya pasar. ‘Pembuangan’ itu, bisa diduga, adalah negara-negara miskin. Dan jelas dalam ‘pembuangan’ itu terlibat volume dan besaran uang yang tidak kecil.
Dua puluh lima tahun yang lalu, hanya ada 50,000 unit komputer, kini jumlah itu mencapai 600 juta. Tahun 2007 diperkirakan menembus 1,15 milyar unit. Total penjualan komputer dan industri yang berhubungan mencapai hampir 600 milyar dolar AS pada tahun 2000: yang terbesar adalah IBM (88,3 milyar), Hitachi (76,1 milyar), Siemens (74,8 milyar), Matsushita (69,4 milyar), Sony (66,1 milyar) dan Toshiba (53,8 milyar). Khusus semi konduktor, angka itu naik dari 149 milyar dolar AS (tahun 1999) menjadi 283 milyar dolar AS (tahun 2004). Penjualan seluruh dunia barang elektronik mencapai 95,7 milyar di tahun 2002. Jumlah barang itu dalam 5 tahun ke depan akan melampaui total barang yang diperkenalkan sejak 30 tahun terakhir.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut International Data Corporation (IDC), dana yang dibelanjakan untuk teknologi informasi di Indonesia pada tahun 1999 adalah 638,4 juta dolar AS dan naik menjadi 772,9 juta di tahun 2000. Menurut Bank dunia, angka ini menjadi 3,8 milyar pada tahun 2003 dengan 3 juta pengguna internet. Jumlah itu belum termasuk investasi dotcom yang berhamburan lalu lenyap bagai buih selama dua tahun terakhir. Dari jumlah $772,9 di tahun 2000 itu, 19,3% ada pada sektor komunikasi dan media, 16,9% di sektor discreet manufacturing, 12,4% pemerintah, dan 11,8% di sektor perbankan. Bank Dunia menambahkan: pada tahun 2002 di Indonesia, untuk tiap 1000 orang ada 31 sambungan telepon (di kota besar 232), 17 handphone, 24 suratkabar, 157 radio, 149 televisi. Data statistik semacam mudah ditemukan, namun juga jarang mengatakan gejala besar yang dibawanya.
Dua gejala
Pertama, TI telah menjadi medium pembentuk kesadaran, pengetahuan, insting, dan bahkan isi suka-duka kita. Omongan bahwa insting dan rasa-merasa kita adalah hal yang alami makin menjadi omongan yang kehilangan makna. Kalau setiap hari anak-anak kita diserbu iklan TV tentang bergengsinya burger MacDonalds, dalam diri anak berlangsung proses pembentukan jenis status sosial yang berkisar pada tersedianya burger itu di tangan mereka. Kalau tiap hari kita menyaksikan tayangan film-film yang menawarkan mimpi dan gaya hidup a la Hollywood, dalam diri kita sendiri berlangsung proses pembentukan selera dan gagasan tentang sukses seperti itu. Maka, seperti anak-anak yang akan sedih dan tidak merasa hebat jika tidak makan burger MacDonalds, kita juga merasa belum puas jika belum menghidupi gaya hidup seperti mereka yang kita lihat di media kita. Maka, konsumsi kita tengah dipelintir menjadi konsumerisme – yaitu konsumsi yang mengada-ada.
Kunci untuk memahami konsumerisme adalah karena barang/jasa (walau harganya absurd) memberi pemakainya sebuah klaim pada status, prestise dan gengsi. Obsesi kita akan hal-hal itu persis menjadi prasyarat mutlak bagi kelangsungan bisnis gaya-hidup di seluruh dunia, dari beauty clinic sampai mobil mewah. Tanpa itu, bisnis gaya-hidup akan mati. Maka, juga seandainya kita tidak punya kebutuhan akan barang/jasa tersebut, para kapten iklan dari bisnis gaya-hidup akan melakukan upaya sekuat tenaga untuk menciptakannya. Caranya? Menyerbu media-massa dengan memainkan insting pemilikan, status dan sensualitas kita. Alatnya? Teknologi informasi dan media. Dan sulit kita menghentikannya.
Dalam dunia media, TV dan studio film AS mengeruk 50%-60% keuntungannya di luar AS dan dan angka itu mencapai 70% untuk perusahaan rekaman musik. Hanya ada tujuh perusahaan pembuat film, bagian dari konglomerasi dunia, yang mendominasi pasar film global dan hanya ada lima 5 perusahaan yang menguasai industri musik dunia. Hollywood mengeruk 11 milyar dolar AS dari pembelian acaranya yang disiarkan TV-TV di seluruh dunia pada tahun 2002 – naik dari 7 milyar di tahun 1998. Ini semua dimungkinkan dengan adanya 180 satelit geostasioner komersial yang memancarkan komunikasi suara, data dan gambar ke seluruh muka bumi.
Kedua, teknologi informasi bisa dipakai mengorganisir jaringan gerakan untuk membangun Indonesia yang punya etos demokratis dan solidaritas. Konon, gerakan mahasiswa dan bantuan logistiknya selama reformasi 1998-1999 dikoordinasikan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi ini. Bahkan, komunikasi militer pun disadap dan semua sandi militer diterjemahkan oleh para aktivis dan dibagikan lewat pager, telepon gengam dan email pada para koordinator lapangan untuk mengantisipasi blokade militer yang menyapu Jakarta dan kota-kota lainnya saat itu. Teknologi informasi, secara langsung atau tidak, berkontribusi atas terjadinya suatu perubahan sosial yang bermakna di Indonesia, yaitu jatuhnya rejim militeristik yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya. Demikian juga di penghujung tahun lalu, hanya dibutuhkan waktu kurang dari setengah jam bagi seluruh dunia untuk tahu saat gempa dan tsunami melanda negara-negara di tepi Samudera Hindia, dan kurang dari sehari untuk mulai memobilisasi bantuan dari seluruh dunia. Juga tidak sedikit korban yang akhirnya bisa menemukan atau ditemukan keluarganya lagi dengan bantuan teknologi informasi ini. Misalnya kisah bocah dua tahun bernama Hannes Bergstroem yang kini menjadi ikon dunia. Setelah tsunami menerjang, dia terpisah dari keluarganya. Ayahnya ditemukan di rumahsakit dan ibu serta neneknya hilang. Dengan penuh putus asa, keluarganya di Eropa mencari tahu nasib mereka melalui media maya karena lalu-lintas telepon ke Phuket padat. Bibinya, di Swedia, terpana melihat wajah keponakannya yang penuh luka itu di website Phuket International Hospital dan segera terbang ke sana menjemputnya.
Namun di tangan kepentingan tak terkontrol dari kelompok-kelompok yang hanya memburu akumulasi laba, teknologi informasi juga bisa meremuk banyak aspek hidup bersama seperti sudah banyak dibahas di atas. Bahwa proses perusakan itu tidak pernah dimaksudkan bukanlah inti soalnya. Sekali lagi, kita bertemu dengan wajah ambivalen teknologi informaasi. Bukan teknologi informasi itu sendiri yang menjadi masalah, melainkan di tangan kekuasaan seperti apa. Dari sini juga menjadi jelas bahwa perkara teknologi bukan sekedar soal ketrampilan teknis, melainkan kepekaan terhadap praktik-praktik kekuasaan yang punya konsekuensi sosial.
Jadi, sementara dengan mudah kita mungkin akan menuding teknologi sebagai biang-keladi, perkaranya sebenarnya tidak sesederhana itu. Sebuah komputer bisa dipakai sebagai alat memburu oposisi, atau bisa juga untuk memanipulasi pajak, tetapi juga bisa menjadi alat untuk memberdayakan rakyat banyak. Contoh ini bisa dikenakan pada berbagai teknologi. Hal itu menunjukkan bahwa teknologi juga bersifat ambivalen. Dan di belakang ambivalensi teknologi adalah soal kontrol dan kekuasaan atasnya (the exercise of power). Karena itu, barangkali inilah saatnya kita sejenak menggagas lagi teknologi dalam masyarakat kita.
Finale – Teknologi: instrumentum atau locus kekuasaan?
Dalam catatan sejarah pemikiran, soal-soal substansial semacam ini pernah diperdebatkan antara Habermas dan Gadamer. Maka perkenankan itu saya sampaikan sebagai finale dari tulisan singkat ini. Sejauh saya pahami, debat klasikal antara Habermas dan Gadamer berpusat pada status dari klaim epistemik dan normatif untuk menemukan dan memahami makna dalam disiplin sosial maupun individu-manusia.
Gadamer, seorang master hermeneutik (seni menterjemahkan untuk menemukan makna) menekankan bahwa ada ‘otoritas’ yang darinya semua pemahaman berasal dan ‘tradisi’ yang bukan hasil refleksi melainkan konteks historis, yang menjadi sumber untuk menemukan dan memahami arti yang bermakna (meaningful meanings). Bagi Gadamer, teknologi modern dan segala rasionalitas yang mendasarinya bersekongkol untuk mengingkari hidup praktikal manusia dan pemahaman manusia – persisnya, daya yang meremukkan yang dipunyai teknologilah yang menyebabkan ini terjadi. Namun, kita mungkin perlu memahami Gadamer sebagai satu dari pilar Sekolah Frankfurt generasi pertama, yang (seperti Herbert Marcuse, Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer) mempunyai kecurigaan kuat terhadap teknologi.
Waspada terhadap persoalan tentang otoritas dan konteks tradisi tersebut, Habermas, generasi kedua dari Sekolah Frankfurt, amat peduli pada upaya memastikan kemungkinan untuk menjaga (maintain) dan memberi alasan (justify) perspektif kritis terhadap tradisi dan otoritas. Jika Gadamer mengkritik teknologi karena teknologi merusak otoritas dan konteks tradisional dari makna, Habermas mengkritiknya karena teknologi itu sendiri sudah berubah menjadi otoritas. Menurut Habermas, ilmu dan teknologi telah mengesahkan dirinya sendiri (self-legitimising) sedemikian rupa sehingga pertanyaan praktis dikalahkan (dan bahkan diganti) oleh pertanyaan teknis, yaitu pertanyaan mengenai cara mencapai tujuan yang paling efisien, dimana tujuan itu sendiri ada diluar kontrol reflektif kita. Habermas mengajukan Theory of Communicative Action (1985) untuk mengobati diagnosis suram yang didukung oleh para pemikir Sekolah Frankfurt generasi pertama seperti Gadamer. Habermas hendak menyelamatkan remuknya ‘lebenwelt’ (lifeworld, kehidupan) dengan menemukan jalan untuk menjaganya dari pelanggaran imperatif instrumental – sebuah ruang untuk konsensus yang otonom, rasional dan secara komunikatif tentang hal-hal dalam hidup praktis. Dan teknologi, dimana kinerjanya mengikuti rasionalitas instumental, menjadi gangguan bagi lahir-kembalinya lifeworld – karena ia sebenarnya hanyalah alat namun kini ia berubah menjadi otoritas.
Karena sifat otoritatif itu, bagaimana soal akuntabilitas harus dipahami ketika teknologi ‘kawin-mengawin’ dengan kepentingan bisnis? Implikasi etisnya jelas akan kena pada ‘pengetahuan’ (‘knowledge’) dan pasar (‘the market’). Namun seringkali kita tidak sadar bahwa soal-soal kekuasaan rapi bersembunyi dalam pengetahuan teknologis/teknis. Lalu, sementara kita juga tahu kekuasaan itu sendiri netral (walau ia sering disalahgunakan), kita perlu pelan-pelan mulai melihat teknologi sebagai instrumen, sekaligus tempat berlangsungnya praktik kekuasaan. ’Netralitas’ teknologi hanya berlaku jika teknologi dipisahkan dari mereka yang mengembangkan dan menggunakannya (exercising agents) – yang jelas tidak mungkin.
Maka, jika kekuasaan bisnis di jaman ini makin menjadi otoritas yang melegitimasi berbagai praktik ekonomi-politik neoliberal, jelas kiranya mengapa membuat dan mendesakkan praktik teknologi agar akuntabel di depan publik menjadi makin penting. Karena kalau tidak, ia hanya akan merawat neoliberalisme ini. Artinya, sementara pundi-pundi laba terus menggelembung karena dan sekaligus demi perkembangan teknologi, dunia makin tidak dipedulikan, orang miskin makin tersingkir, kesenjangan makin lebar dan lingkungan makin rusak.
Akhirnya, mungkin seperti yang dikhawatirkan Davenport (1990) yang dikutip di awal tulisan ini, kita tidak tahu lagi batas itu. Teknologi tidak lagi ada untuk manusia, melainkan manusia sudah menghambakan dirinya untuk teknologi. (***)
Yanuar Nugroho, kontributor IndoPROGRESS. Kandidat doktor sosiologi di bidang kajian kebijakan publik untuk rekayasa, iptek dan bisnis di the University of Manchester, Inggris. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Business Watch Indonesia (Solo) dan Sektretaris Jenderal Uni Sosial Demokrat (Jakarta).