Wahyu Susilo
Telah menjadi ritual tahunan menjelang berlangsungnya Pertemuan Tahunan Consultative Groups for Indonesia (CGI), Pemerintah Indonesia (utamanya Tim Ekonomi), selalu mengantarai wacana mengenai posisi utang luar negeri di Indonesia. Pengantar ini bukan untuk menyadarkan rakyat bahwa Indonesia telah berada dalam situasi jebakan utang, melainkan untuk menunjukkan dan meyakinkan bahwa utang luar negeri telah menyumbang dan bermanfaat bagi pembangunan. Posisi utang luar negeri masih aman sehingga (ujung-ujungnya) tanpa merasa malu, Pemerintah selalu mengambil kesimpulan bahwa Indonesia masih bisa mengajukan utang baru.
Demikian juga lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara donor, secara serempak selalu memuji-muji Indonesia sebagai "the good boy" dan tetap pantas untuk selalu dikucuri utang. Buntutnya, pujian tersebut disertai dengan persyaratan. Pujian ini makin diperkuat dengan diluncurkannya status/peringkat kinerja ekonomi dan pemanfaatan utang luar negeri yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat ekonomi seperti Standar & Poor, Stanley Morgan ataupun Merryl Lynch. Suara mereka sama: masa depan ekonomi Indonesia cerah dan utang luar negeri Indonesia masih bisa dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, baru-baru ini Pemerintah Indonesia merasa gelisah dan gerah ketika lembaga pemeringkat ekonomi Fitch, tidak seirama dengan suara lembaga-lembaga sejenis. Fitch meragukan kinerja perekonomian Indonesia dan menurunkan peringkat pengelolaan utang dari nilai "positif" ke "stabil" (sebuah penilaian yang sebenarnya juga masih konservatif).
Dalam real politik ekonomi di Indonesia, terus terang saja, CGI lebih punya pengaruh signifikan untuk menentukan cetak biru pembiayaan pembangunan Indonesia, ketimbang DPR-RI yang secara konstitusional memiliki hak anggaran (budget). Ironis memang, tapi inilah resiko pembangunan yang dibiayai utang luar negeri.
Menurut Human Rights Watch, dalam laporan tahun 2005 mengenai Indonesia dinyatakan, aktor internasional yang paling berpengaruh adalah CGI. Ini tentu wajar, karena di dalam CGI inilah berkumpul lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti World Bank, IMF, ADB dan Islamic Development Bank. Tak mau ketinggalan, semua negara-negara maju, utamanya anggota G8 (kecuali Rusia) terlibat di dalamnya.
Siklus pembiayaan pembangunan Indonesia secara jelas diatur dan ditentukan oleh CGI. Secara formal konstitusional draft RAPBN memang diajukan oleh eksekutif menyertai Pidato Kenegeraan Presiden RI menjelang HUT Kemerdekaan RI 16 Agustus di dalam Sidang Paripurna DPR-RI dan dibahas melalui mekanisme legislasi untuk disetujui sebagai UU pada sekitar bulan Oktober-November. Namun yang juga tak terbantahkan, pihak legislatif selalu ditinggalkan oleh pihak eksekutif dalam setiap pembicaraan mengenai besaran utang baru dengan negara donor dan lembaga keuangan multilateral. Padahal menurut Konstitusi UUD 1945 dan UU No. 37 Tahun 1999 mengenai Hubungan Luar Negeri, pembicaraan mengenai utang dengan negara lain/lembaga multilateral termasuk dalam kategori perjanjian internasional dan mutlak dipersyaratkan adanya konsultasi dengan parlemen dan wajib mendapat persetujuan parlemen. Dalam sudut pandang governance of state financial, kebijakan utang luar negeri juga belum sepenuhnya mengacu pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Jika mengikuti siklus pembahasan RAPBN yang selalu difinalisasi pada sekitar bulan Oktober-Nopember, seharusnya pula kebijakan mengenai utang telah ditentukan selaras dengan siklus tersebut. Namun yang terjadi, komitmen mengenai besaran utang baru ditentukan dalam Sidang CGI dan bukan didasarkan pada proses konsultasi eksekutif-legislatif dalam pembahasan RAPBN.
Penentuan jumlah utang untuk Indonesia dalam forum CGI, lebih ditentukan oleh negara-negara donor dan lembaga keuangan multilateral yang secara sepihak menilai kinerja ekonomi Indonesia. Dasar penilaiannya tentu dari sudut pandang dan selera mereka. World Bank mendasarkan pada Country Assistance Strategies, IMF mengacu pada Post Program Monitoring dan negara-negara donor memiliki conditionality sebagai ukuran penilaian.
Kepemimpinan CGI sejak tahun 2005 memang secara formal dipegang oleh Pemerintah Indonesia setelah sebelumnya diketuai World Bank dan Belanda (semasa masih bernama IGGI). Namun bukan berarti Pemerintah RI telah memegang kendali sepenuhnya konsorsium pendanaan ini. Kepemimpinan yang "simbolik" ini tentu bukan merupakan solusi dari tuntutan adanya reformasi hubungan Indonesia dan donor bilateral-multilateral yang selama ini timpang. Harus ada upaya yang lebih mendasar untuk menilai relasi yang "donor driven" tersebut.
Hal yang bisa dilakukan adalah melakukan audit politik secara independen terhadap kebijakan utang luar negeri (termasuk di dalam governance CGI) dengan menggunakan indikator konstitusi yang selama ini menjadi pedoman interaksi politik pemerintahan Indonesia. Audit ini dimaksudkan untuk menilai apakah kebijakan mengenai utang luar negeri selama ini konstitusional atau inkonstitusional.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah menilai kebijakan utang luar negeri dan dampaknya dalam perspektif hak asasi manusia. Apakah kebijakan utang luar negeri membawa dampak terhadap pelanggaran hak asasi manusia, baik di ranah sipil politik maupun ekonomi, social dan budaya. Upaya ini sangat bisa dilakukan, apalagi Indonesia telah meratifikasi 2 kovenan pokok HAM, yaitu Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.