'May Day' di AS: Ironi Globalisasi

Sylvia Tiwon

Sungguh luar biasa: May Day (Hari Buruh Internasional) dirayakan jutaan orang yang turun ke jalan di kota-kota besar dan kecil di Amerika Serikat. Bendera-bendera Mexico, El Salvador, Brazil dan negara-negara Amerika Latin/Selatan berkibar bersama wajah Che Guevara pada poster-poster besar. Slogan-slogan berbahasa Spanyol dipekikkan: Si, Se Puere! (Ya, Kita Bisa!) Bahkan lagu kebangsaan AS berkumandang dalam bahasa Spanyol, dengan beberapa perubahan.1 Kaum imigran—legal maupun yang tak berdokumen—dari selatan menuntut pengakuan hak sebagai buruh dalam era global. Untuk menunjukkan betapa besarnya ketergantungan AS pada tenaga buruh yang sering disebut “ilegal”, jutaan rakyat pekerja meninggalkan pekerjaan, memaksa ditutupnya beberapa industri kunci, terutama di bidang pangan/pertanian, perhotelan dan restoran, dan konstruksi. Di California, misalnya, boycott ini menyebabkan hampir semua ladang pertanian kosong, banyak restoran dan toko tutup. Juga perusahaan daging sapi/ayam terpaksa menutup beberapa pabriknya selama sehari dengan menanggung kerugian yang cukup besar. Diperkirakan di sekolah-sekolah 10%-30% murid tidak masuk.

Akan tetapi, tidak hanya orang-orang berlatar belakang Mexico/Amerika Latin yang turun ke jalan. Serikat-serikat buruh dan pekerja lainnya juga turun ke jalan untuk mendukung buruh imigran maupun untuk menuntut perbaikan kondisi kerja di AS sendiri. Cukup banyak juga pernyataan-pernyataan anti perang Iraq dan protes terhadap pemerintahan Bush.

Gejala ini sangat menarik karena dua hal: kembalinya Hari Buruh tanggal 1 Mei sebagai perayaan besar di Amerika dan karena aksi massal ini, sekaligus menonjolkan kontradiksi baru dalam perkembangan kapitalisme global.

Tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional memang dimulai di Chicago, dengan penembakan terhadap aksi buruh yang menuntut perbaikan dalam kondisi kerjanya menjelang akhir abad ke 19. Pada abad ke 20, terutama dengan munculnya paranoia AS terhadap gerakan komunis dan sosialis di dalam dan luar negeri, terjadi upaya untuk menghalangi atau melarang perayaan 1 Mei itu. Dan pada masa perang dingin yang terjadi setelah Perang Dunia II, maka Hari Buruh di AS digeser ke bulan September.

Perubahan hari buruh ini bahkan didukung oleh serikat-serikat konservatif (ketika itu, AFL-CIO) yang membangun apa yang disebut Koalisi ABC (Anything But Communist). Menurut Paul Buhle, wartawan dan pengajar di Brown University, koalisi ini (di mana juga tergabung para mafia) menerima tawaran Presiden Truman: mendepak “kaum merah” dan sebagai ganti mendapat keuntungan dari pembangunan kompleks industri militer (termasuk senjata dan peralatan berat untuk perang) karena setiap kontrak industri militer akan menegaskan bahwa angkatan kerja dalam industri senjata dan perang tersebut harus terdiri dari anggota-anggota serikat buruh.2 Umumnya, serikat-serikat buruh tersebut bersikap anti imigran (cenderung rasis) karena perhitungan taktis bahwa semakin kecil angkatan kerja semakin besar posisi tawarnya terhadap kapital industri. Menurut Buhle, yang diutamakan ialah memperoleh kontrak yang baik bagi buruh anggota serikat AFL-CIO. Dengan latar belakang ini, maka perayaan Hari Buruh tanggal 1 Mei 2006 ini menunjukkan perombakan yang cukup fundamental tidak hanya pada praktek dan mental politik AS umumnya, tetapi pada serikat buruh AS yang hari ini banyak ikut turun ke jalan mengibarkan panji-panji internasional.

Aksi-aksi massal hari ini juga dapat dilihat dari segi dinamika globalisasi yang melahirkan kontradiksi baru di dalam AS maupun di luar batas-batas negaranya. Pemerintah AS sekarang ini meratapi jebolan-jebolan pada tapal batasnya di selatan yang ternyata tak dapat membendung arus imigran tanpa dokumen. Diperkirakan saat ini paling sedikit 12-15 juta imigran tanpa dokumen bekerja di AS; malah seorang wakil dari California mengatakan jumlahnya mungkin mencapai 30 juta lebih. Rata-rata mereka bekerja dengan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum yang berlaku.3 Mereka juga tidak mendapat jaminan-jaminan lain, dan biasanya tidak berani melakukan aksi untuk menuntut perbaikan kondisi kerja karena takut ketahuan statusnya yang tanpa dokumen. Seperti halnya dengan pencari kerja “ilegal” di mana-mana, mereka masuk ke AS melalui jalan yang sangat berbahaya. Tiap bulan, ratusan pencari kerja dari Mexico tewas di perbatasan AS.

Ironinya, sementara pemerintahan AS sibuk mencari cara untuk membendung arus imigran tak berdokumen, perusahaan-perusahaan AS justru banyak yang mengeruk keuntungan karena mempekerjakan para imigran ini. Demikian juga warga AS umumnya, walaupun banyak mengritik imigran “gelap” ini, mendukung upaya untuk mengusirnya, bahkan membentuk milisi-milisi untuk menyergap kaum imigran, sesungguhnya mereka sendiri memperoleh keuntungan dari keberadaan angkatan kerja murah. Boleh dikatakan bahwa angkatan kerja “gelap” dan murah ini sebenarnya merupakan jaminan keuntungan bagi perusahaan dan pengendali inflasi bagi perekonomian AS. Seandainya mereka tak ada untuk melakukan pekerjaan (umumnya kasar dan tidak dikehendaki warga AS kebanyakan), maka mau tak mau perusahaan harus berurusan dengan serikat buruh, dengan kontrak, dan dengan upah yang layak. Dan mau-tak-mau, harga-harga akan naik memicu inflasi yang sangat ditakuti. Saat ini, meski harga bensin naik tajam, inflasi belum menjadi masalah yang mengancam perekonomian. Andaikan pekerjaan yang sekarang dilakukan oleh buruh murah karena “gelap” maka bisa dipastikan bahwa inflasi tidak dapat dikendalikan dengan begitu mudah.4 Dan inflasi menjadi hantu terbesar bagi ekonomi AS.

Tambahan pula, dengan mundurnya industri manufaktur di AS dan banjir komoditas murah dari negara-negara yang sangat menekan upah buruh, maka menghentikan arus imigran tak berdokumen sebenarnya hanya akan memperparah masalah AS sendiri karena kehilangan sumber upah murah yang tidak dapat menuntut hak. Jebolnya batas negara AS sebenarnya merupakan tuntutan globalisasi korporatis/kapital yang juga sudah menjebol batas negara Mexico (dan negara-negara dunia ketiga lainnya). Seharusnya Amerika Serikat menyadari bahwa setiap buruh migran tak berdokumen yang masuk merupakan korban perusahaan-perusahaannya sendiri yang mereproduksi relasi perburuhan kapitalistik ke seluruh dunia. Seharusnya pemerintah dan konsumen AS menyadari bahwa yang dilakukan korporasi-korporasinya ialah mereproduksi kemiskinan di mana-mana, dan bahwa negaranya sendiri tidak dapat dilindungi dari dampak ini karena tidak tembok atau angkatan perang yang cukup kuat dan tegar untuk membendung arus pemiskinan yang ia ciptakan sendiri.

Mungkin sudah saatnya kaum buruh di Amerika merangkul kembali sejarah yang dimulai tanggal 1 Mei 1886 itu dan menyadari bahwa pemiskinan adalah bagian integral dari globalisasi.

Catatan:
1Yang diganti adalah kalimat-kalimat yang mengagungkan perang.
2Dari wawancara di Radio Bebas, KPFA tanggal 1 Mei 2006.
3Umumnya tidak cukup untuk kehidupan yang layak.
4Mungkin bisa dibandingkan dengan tahun 1970an ketika harga bensin melonjak dan menghasilkan inflasi sangat tinggi.