--Pengalaman di Kerala (India). Bagian 2.
Coen Husain Pontoh
Cerita sukses yang terjadi di Kerala, menarik perhatian dunia karena negeri itu secara politik dikuasai oleh Partai Komunis India-Marxist (CPI-M/the Communist Party of India Marxist). Memang setelah runtuhnya Tembok Berlin, politik kiri telah dianggap sebagai peninggalan masa lalu yang gagal. Sehingga ketika orang disuruh belajar tentang Kiri khususnya tentang Marxisme, maka yang dimaksud adalah belajar dari pengalaman kegagalannya.
Para pendukung kapitalisme, yang dengan halus menamakan dirinya pendukung pasar bebas, berkhotbah di panggung-panggung dunia bahwa kapitalismelah yang merupakan akhir sejarah. Semua alternatif telah diberi kesempatan oleh sejarah, dan semuanya terbukti gagal. Sebaliknya, sebagian kalangan Islam yang anti kapitalisme, tak kalah heroiknya dalam menista politik kiri. Kelompok ini mengajak umatnya untuk kembali ke langit guna menyelesaikan masalah yang ada di bumi. Menurut mereka, masalah terjadi karena penguasa bumi (the secular city) mencoba menandingi dan melawan penguasa langit (the holy city). Padahal, di langitlah asal dan tujuan kebenaran.
Tetapi di Kerala, klaim-klaim itu mendapatkan tantangannya yang serius. Justru karena hegemoni politik kiri inilah yang menyebabkan sukses Kerala tidak saja direkomendasikan menjadi “model pembangunan” bagi negara miskin dan berkembang tapi, juga dianggap sebagai model alternatif di luar kuasa neoliberalisme. Dalam kata-kata Michelle Williams, “….key to understanding Kerala’s succsesses in transforming projects is the role of the Communist Party,” (Michelle Williams, The Politics of Socialism from Below: The Case of Kerala, India, 2002).
CPI (M): Singkat Cerita
Kerala, seperti seluruh negara bagian India lainnya, adalah sebuah negara yang demokratis. Tercatat ada sekitar 27 partai politik yang berkompetisi di sana. Mulai dari partai yang merupakan cabang dari partai di tingkat nasional, maupun partai lokal. Tetapi, layaknya dalam sistem multi partai, untuk bisa memenangkan pemilu, partai-partai ini dipaksa untuk membangun sebuah koalisi. Dan di Kerala, dalam beberapa dekade terakhir sejak pemilu 1950an, terdapat dua koalisi besar yang mendominasi. Koalisi pertama datang dari sayap kiri yang didominasi oleh the Communist Party of India (Marxist). Koalisi ini dikenal dengan nama Edathu pakasha Janadhy pathya Munnani, yang berarti Leftist Democratic Front. Partai-partai yang bergabung dalam aliansi ini di antaranya CPM, CPI, J.D.(S), Kerala Congress(J) N.C.P, R.S.P and I.N.L. Koalisi besar lainnya datang dari sayap kanan yang dipimpin oleh Partai Kongres (I) yang dikenal dengan nama Aikya Janadhipathya Munnani, yang berarti United Democratic Front. Ikut bergabung dalam aliansi ini adalah Muslim League, Kerala Congress (M), J.S.S., R.S.P. and C.M.P.
Kedua kekuatan koalisi ini secara bergantian memenangkan pemilu di Kerala. Tetapi, yang membedakan antara CPI(M) dengan kekuatan lainnya adalah pengaruhnya yang sangat kuat di kalangan masyarakat akar rumput. CPI(M) pertama kali berdiri pada tahun 1947 dengan nama Partai Komunis India (the Communist Party of India/CPI). Dalam garis perjuangannya, partai mengusung garis perjuangan parlementarian. Dalam pemilu 1957, secara nasional partai ini menjadi kekuatan oposisi terbesar terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Kongres. Pada pemilu tahun yang sama pula, di Kerala CPI keluar sebagai pemenangnya.
Namun demikian, walau tampil sebagai kekuatan politik yang berpengaruh melalui garis parlementarian, partai ini tak luput dari konflik internalnya. Justru konflik itu dipicu salah satunya, oleh garis parlementarian yang diambil tersebut. Pada 1964, konflik internal tersebut berujung pada perpecahan yang melahirkan CPI dan CPI(M). Menurut CPI(M) membatasi perjuangan partai hanya pada arena parlementer amatlah tidak memadai untuk mempercepat penghapusan sistem feodalisme, mendistribusikan hasil-hasil ekonomi secara merata dan meningkatkan taraf hidup sosial rakyat miskin. Bagi CPI(M) perjuangan parlementarian haruslah dibarengi dengan perjuangan ekstra-parlementer yang konsisten, yang tujuannya adalah melibatkan partisipasi penuh rakyat miskin dalam proses pengambilan kebijakan. CPI(M) ini kemudian mendapatkan dukungan penuh dari cabang Kerala, West Bengal, dan Tripura.
Perpecahan itu juga dilatarbelakangi oleh konflik antara Uni Sovyet dan Cina (konflik Sino-Sovyet), dimana CPI dituding terlalu dekat dengan Moskow dan CPI(M) akrab dengan Peking.
Partai dan Demokrasi Partisipatoris
Dengan dideklarasikannya CPI(M), sejak tahun 1960an, aksi-aksi ekstra-parlementer yang bertujuan mendukung perjuangan parlementarian semakin intensif dilakukan. Pemogokan, pendudukan lahan, demonstrasi-demonstrasi, kampanye penghapusan buta huruf, pendidikan massa dan pemetaan jumlah penduduk, merupakan aktivitas politik yang rutin. Dari perjuangan ekstra-parlementarian inilah, pemerintah kemudian dipaksa untuk mempercepat proyek-proyek yang bertujuan menghapuskan moda produksi feodal dan proyek-proyek sosial ekonomi lainnya (lihat bagian pertama tulisan ini).
Dalam perkembangannya, terutama semenjak tahun 1980an, fokus perjuangan partai mulai bergeser. Setelah berhasil menghapuskan moda produksi feodal, dan stagnasi ekonomi yang melanda India, CPI(M) berpendapat bahwa usaha-usaha untuk meningkatkan keterlibatan massa dalam partisipasi politik serta keterlibatan inisiatif lokal harus menjadi prioritas. Dalam amatan Williams, pergeseran fokus itu adalah dari perjuangan melawan sistem penindasan yang ada menjadi perjuangan untuk membentuk sebuah masyarakat baru melalui penyatuan seluruh energi yang ada dalam masyarakat.
Mobilisasi massa dalam tahapan ini berarti, meningkatkan produksi, mendorong partisipasi dan melindungi sumberdaya-sumberdaya yang ada. Program utama dalam periode ini dikenal dengan nama “The New Democratic Initiatives,” yang menekankan fokusnya pada tiga wilayah: pertama, kampanye buta huruf secara menyeluruh; kedua, pemasangan alat pemasak dengan tingkat efisiensi yang tinggi; dan ketiga, program pemetaan sumberdaya manusia. Dalam menyukseskan program ini, peran People’s Science Movement (PSM), sebuah organisasi akar rumput yang otonom sangatlah besar, terutama dalam mengambil inisiatif dan memperluas keterlibatan massa dalam program tersebut.
Pada dekade 1990an, partai kemudian merumuskan tujuan bahwa gabungan antara kerja-kerja parlementer dengan ekstra-parlementer adalah memperdalam reformasi demokrasi partisipatoris. Program ini diharapkan tidak hanya merupakan inisiatif pemerintah tapi, lebih-lebih kesadaran politik yang tinggi dari basis massa yang terdidik. Sehubungan dengan itu, lagi-lagi pada 1996, CPI(M) menginisiatifi kampanye desentralisasi demokrasi yang radikal (a radical democratic decentralisation campaign). Desentralisasi demokrasi ini meliputi tiga bidang: pertama, desentralisasi struktur adiministratif; kedua, desentralisasi dalam hal alokasi fungsi-fungsi dan kekuasaan; dan ketiga, desentralisasi dalam hal kontrol terhadap sumberdaya.
Latar belakang program ini adalah meningkatnya penyaluran dana negara dari negara bagian ke tingkat komunitas, dari 35 persen menjadi 40 persen. Hasil dari program desentralisasi demokrasi ini adalah meningkatnya keterlibatan aktif komunitas lokal dalam menginisiatifi pertemuan yang membahas kebutuhan lokal dan mempercepat pembangunan yang berkelanjutan. Dengan keterlibatan aktif rakyat di tingkat basis ini, maka partai menempatkan dirinya sebagai salah satu bagian dari proses besar untuk pembentukan masyarakat yang baru. Keterlibatan aktif komunitas ini juga menjadi dasar terbentuknya dewan rakyat (people’s assembly). Pada akhirnya, rakyatlah yang harus memenuhi dan menyelesaikan sendiri kebutuhan dan permasalahannya.
Pelajaran Dari Kerala
Menyimak peran dan keterlibatan Partai Komunis India (Marxis) yang sangat luas dalam keberhasilan pembangunan di Kerala, ada beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran.
Pertama, aksi-aksi revolusioner ternyata bisa dilaksanakan di sebuah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. Seperti dikatakan Michelle Williams, pengalaman Kerala telah menantang asumsi-asumsi yang telah mapan mengenai pembangunan bahwa redistribusi kemakmuran hanya mungkin dicapai melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan mendasarkan diri pada keterlibatan aktif masyarakat akar rumput dan pemanfaatan secara maksimal lembaga demokrasi parlementer dalam usahanya untuk menentang agenda-agenda neoliberal, CPI(M) berhasil mempercepat alternatif pembangunan yang radikal dengan memberi prioritas pada keadilan sosial dan ekonomi serta pembangunan sumberdaya manusia yang unggul.
Kedua, pengalaman Kerala telah menerbitkan pertanyaan penting mengenai watak dan lokasi kekuasaan. Di Kerala, kekuasaan tidak hanya bermakna kekuasaan negara (state power) tapi, lebih dari itu adalah pengaruh dan hegemoni CPI(M) yang sangat kuat dalam lembaga-lembaga masyarakat sipil. CPI(M) membuktikan bahwa perjuangan revolusioner, baik melawan sistem yang menindas maupun dalam membangun sistem masyarakat baru yang egaliter, tidak harus selalu melalui aparatus kekuasaan negara. Dengan hegemoni yang kuat dan tidak adanya kekuatan lain yang mampu mengimbangi pengaruh CPI(M) di massa akar rumput, program-program partai menjadi lebih nyata dirasakan oleh massa. Dan sebaliknya, massa memiliki kepercayaan bahwa aspirasinya akan diperjuangkan oleh partai di dalam badan legislatif. Dengan demikian, lokasi kekuasaan tidak hanya berada di wilayah negara tapi, juga dalam masyarakat.
Ketiga, pengalaman Kerala telah melahirkan pertanyaan menarik lainnya mengenai peran sebuah partai politik revolusioner. Berbeda dengan partai-partai kiri revolusioner lainnya yang bergerak di bawah panduan konsep-konsep yang abstrak, CPI(M) bergerak berdasarkan sinergi yang kokoh antara peran partai sebagai pelopor dengan keterlibatan aktif dari massa basis. Dengan demikian, kepeloporan dimaknai sebagai pengakuan mayoritas akan tindakan-tindakan yang diambil oleh partai. Dalam pengertian ini, CPI(M) adalah sebuah partai yang lebih menekankan pada aksi politik dengan komitmen yang tinggi yang diimbangi dengan kapasitas kader-kader partai melalui kekuasaan negara.
Keempat, ketika CPI(M) mendeklarasikan tentang kebijakan desentralisasi demokrasi, muncul pertanyaan bagaimana hal itu dikaitkan dengan prinsip sentralisme-demokrasi (sendem) yang dianut oleh partai? Terhadap pertanyaan ini, CPI(M) menjawab bahwa prinsip-prinsip organisasi partai ini harus dibedakan dengan prinsip-prinsip pengorganisasian masyarakat secara umum. Partai tetap meyakini bahwa hanya dengan mekanisme sendemlah partai bisa memelopori dan memberi panduan untuk menjawab kompleksitas persoalan politik dan menyediakan kepemimpinan yang teguh bagi perubahan revolusioner. Namun demikian, sendem tak bisa dijadikan model dalam mengorganisasi masyarakat. Masyarakat terlalu kompleks, terlalu beragam, dan memiliki posisi sosial, politik, dan ekonomi yang tidak setara. Tugas utama partai (dan inilah bentuk kepeloporan itu) adalah terus-menerus menciptakan ruang bagi keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan.