Rasyidi Bakri telah menulis perihal Revisi Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam globalisasi. Tulisan ini akan menyoroti khusus perihal paradoks argumen ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’.
Rekomendasi terbaru dari International Monetary Fund tertanggal 22 Februari 2006 dapat dikatakan sebagai desakan dari lembaga internasional itu agar pemerintah segera melaksanakan revisi UU dimaksud. Rekomendasi tersebut mengatakan;
“Kemajuan [kebijakan ekonomi] melambat dari yang diharapkan pada area-area lain, termasuk memecahkan perselisihan investor dan fleksibilitas pasar kerja… [Dewan Direktur IMF] menegaskan keterdesakan yang penting untuk reformasi struktural dalam rangka mendorong kepercayaan investor… Dalam hal ini, [Dewan Direktur IMF] menyambut ketegasan pemerintah untuk reformasi perpajakan dan pasar tenaga kerja…” (Diterjemahkan secara bebas, huruf miring dari penulis.)
Kerangka Teori
Secara teoretis argumen ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ dan ‘pasar bebas’ dapat ditilik sejarahnya pada tesis keunggulan komparatif yang diajukan oleh David Ricardo, ekonom liberal neoklasik di Inggris hampir dua abad yang lalu.
Dalam essay-nya berjudul On the Principles of Political Economy and Taxation (1821), Ricardo mengemukakan model statis perdagangan antar-dua perekonomian (Inggris dan Portugal) dalam dunia ciptaannya. Ia mengemukakan bahwa perdagangan bebas akan mendorong tiap negara untuk mengekspor produk dimana ia memiliki sumber daya yang relatif lebih melimpah sehingga relatif lebih efisien (memiliki keunggulan komparatif), dan mengimpor produk yang faktor produksinya relatif lebih langka. Dengan demikian, pasar bebas akan membawa keuntungan bagi tiap-tiap negara.
Namun demikian, tesis Ricardo itu berdasar pada asumsi yang sangat ketat dan tak mungkin dipenuhi dalam kenyataan. Diantaranya; (1) pasar domestik tiap negara adalah pasar persaingan sempurna sehingga tiap-tiap perusahaan, baik di pasar output maupun serikat-serikat pekerja di pasar input, tidak dapat mempengaruhi harga pasar, (2) faktor-faktor produksi berada pada kondisi kapasitas terpasang penuh (full employment), (3) pendapatan yang diperoleh dari perdagangan bebas dihabiskan sepenuhnya di dalam negeri. Hal ini berarti, keuntungan tak bisa direinventasi ke atau disimpan di luar negeri. (4) Neraca perdagangan selalu seimbang (balance), (5) harga pasar secara akurat dapat merefleksikan segala biaya (termasuk biaya sosial) dari barang yang diproduksi, dan, (6) tenaga kerja dan modal dapat berpindah (mobile) secara sempurna (fleksibel) di dalam suatu negara, akan tetapi tidak antar-negara. Asumsi terakhir inilah yang mendasari pemikiran ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ yang kini menjadi permasalahan dan menuai protes.
Paradox Teori dan Jargon
Argumen utama yang sering dikemukakan oleh pengusung neoliberalisme adalah bahwa ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ akan membuat investasi menjadi lebih atraktif sehingga dapat menyerap lebih banyak angkatan kerja yang akhirnya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Masuknya angkatan kerja ke sektor formal sebagai berkah dari ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ itu akan membuat mereka dapat lebih diproteksi dan meningkatkan posisi tawar pada tingkat perusahaan (misalnya, lihat M. Chatib Basri, “Mendung Ketenagakerjaan”, Kompas, 4 April 2006 dan dari kalangan pemerintah, Mennakertrans Erman Suparman, “RUU Ketenagakerjaan untuk Bangun Investasi”, Media Indonesia, 24 Maret 2006). Dengan demikian, kritik terhadap argumen ini dikatakan tak lebih dari sekadar ‘jargon’ yang justru tidak membela kaum buruh. Sayangnya, banyak paradoks yang tak diungkapkan secara jujur, sehingga argumen pendukung ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ justru dapat dinilai sebagai jargon belaka.
Pertama, ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ akan menyerap angkatan kerja tanpa diskriminasi. Secara teoretis, dalam pasar kerja yang fleksibel, jumlah upah haruslah ekuivalen dengan selisih hasil nilai lebih produktifitas tiap pekerja (marginal productivity). Dengan demikian, kendatipun pasar kerja dapat dibuat fleksibel, penyerapan angkatan kerja hanya akan berlaku bagi pekerja yang terampil (skilled labour). Padahal, mayoritas pekerja di sektor informal—yang nantinya ‘dijanjikan’ akan diserap dalam pasar kerja yang fleksibel—adalah tenaga kerja yang tidak terampil, perempuan dan anak-anak.
Kedua, ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ akan membuat mereka yang berada di sektor informal terserap ke dalam sektor formal yang lebih protektif. Hal ini justru kontradiktif dengan tujuan ‘fleksibilitas’ untuk menghilangkan kekakuan (rigidity) pasar tenaga kerja. Menurut argumen ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’, kekakuan pasar kerja dihasilkan oleh dua hal; (1) eksistensi upah minimum yang selalu meningkat, dan (2) jaminan (security) dan proteksi ketenagakerjaan. Kedua hal itulah yang menjadi sasaran untuk dikurangi dan/atau dieliminasi agar pasar tenaga kerja dapat fleksibel demi memenuhi tesis perdagangan bebas Ricardo sebagaimana disebutkan di atas.
Ketiga, tenaga kerja dalam pasar kerja yang ‘fleksibel’ dapat berpindah antar-industri maupun antar-sektor (formal dan informal) secara sempurna (tanpa rintangan, tanpa penundaan dan tanpa biaya). Hal ini tentu mengabaikan kenyataan bahwa pekerja yang telah lama berada dalam satu sektor industri tentu tak mudah untuk segera berpindah pada industri lain yang berbeda moda dan corak industrinya. Misalnya, pekerja di sektor tekstil yang harus dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) tentu sulit untuk langsung pindah bekerja pada industri di sektor logam, dan sebaliknya. Demikian pula, pekerja yang selama ini berada di sektor informal tentu akan sulit untuk masuk ke dalam sektor formal secara spontan tanpa melalui proses pelatihan dan syarat keahlian tertentu.
Karena itu, sering dikemukakan bahwa ‘fleksibiltas pasar tenaga kerja’ akan mengakibatkan biaya sosial (social cost) yang cukup tinggi dan justru potensial menambah tingkat pengangguran bila disandingkan dengan kebijakan pasar bebas yang seringkali berujung pada dislokasi dan penutupan sejumlah industri yang kalah berkompetisi di pasar global akibat dilarangnya negara melakukan kebijakan industri selektif (Chang dan Grabel 2004: 65).
Keempat, upah, tentu saja, tak mungkin fleksibel. Keynes (1936) berpendapat bahwa upah tidak dapat bergerak secara sempurna mengikuti permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, selalu terdapat jeda (lag) bagi upah untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di pasar tenaga kerja. Lagi pula, kendatipun fleksibel, dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang berlebih (excess supply) di Indonesia, bila upah dibiarkan mengambang dan diatur oleh pasar, tentu ia akan bergerak kearah yang lebih rendah sampai excess supply itu dapat diserap sepenuhnya. Hal inilah yang menjadi dasar kebijakan upah minimum sehingga upah sejatinya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dan seimbang dengan laju tingkat inflasi.
Kelima, ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ akan meningkatkan peran serikat pekerja dalam posisi tawar (collective bargaining) pada tingkat perusahaan. Pertanyaan yang segera mengemuka adalah bagaimana mungkin peran dan posisi tawar serikat pekerja dapat ditingkatkan justru dengan kebijakan yang bertujuan mengurangi atau menghilangkan jaminan dan proteksi ketenagakerjaan? Sungguh sebuah posisi yang kontraditif.
Terakhir, ‘fleksibilitas pasar tenaga kerja’ akan meningkatkan investasi. Hal ini adalah kesimpulan yang harus diuji lebih lanjut, khususnya dalam prioritas kebijakan. Terdapat banyak faktor yang menghambat investasi, khususnya bagi Indonesia. Diantaranya, yang terpenting, adalah pengendalian laju inflasi yang meningkat sejak pemerintah memotong subsidi bahan bakar minyak sehingga menyebabkan kenaikan harga agregat, belum tuntasnya permasalahan utang korporat akibat ambiguitas pemerintah dan konflik kepentingan, sektor perbankan yang lemah dan belum menjalankan fungsi intermediasi, serta ketidakpastian baik dalam faktor ekonomi maupun non-ekonomi, termasuk pelbagai praktik pungutan liar, manipulasi pajak dan pemberantasan korupsi yang ‘tebang pilih’. Bukankah masalah-masalah tersebut diatas yang selama ini tak kunjung henti memberikan sinyal negatif bagi peningkatan investasi?
Seperangkat jargon sebagaimana disebutkan di atas itulah yang menggerakkan kaum pekerja turun ke jalan untuk mengatakan, “Cukuplah, jangan dustai kami lagi!”