Perempuan: Manusia atau Komoditas

--Beberapa Catatan Pada RUU APP dan Eksploitasi

Sylvia Tiwon

Beberapa waktu yang lalu, saat melakukan riset sekitar pergeseran budaya yang terjadi akibat perpindahan dari jenis padi lokal ke jenis padi hibrida/unggul, saya mendapatkan sebuah desa sederhana di pegunungan bagian barat pulau Jawa. Listrik baru saja masuk, jalan aspal pun masih baru dan belum membelah seluruh desa tersebut. Untuk keperluan MCK (mandi-cuci-kakus) masih digunakan sungai yang mengalir deras nun jauh di bawah. Sawah di sana bukan bentangan datar yang luas melainkan petak-petak kecil mengikuti lereng gunung. Jenis padi pun tradisional, tinggi melambai ketika diterpa hembusan angin.

Para perempuan masih menuai menggunakan ani-ani, pisau kecil yang hampir tak terlihat, mengetam setiap batang dengan cekatan. Untuk pekerjaan itu, mereka tidak dibayar karena tanah itu tanah sendiri.

Berbeda dengan sawah-sawah di dataran, di sini tidak terlihat deretan karung pupuk kimia. Memang, padi di sini tidak untuk dijual. Bukan karena orang di sini tidak mengenal uang, tetapi karena padi bukan komoditas.1 Yang biasa diperjual-belikan ialah gula aren yang mereka produksi sendiri. Dengan uang tersebut, mereka membeli garam dan kebutuhan-kebutuhan sederhana lain. Bahkan, kopi dan tembakau bisa dihasilkan di kebun-kebun sendiri. Upacara panen pun masih dilakukan dengan memberi penghormatan pada ibu padi dan ibu bumi.

Jadi barangkali tidak terlalu aneh kalau pada suatu pagi saya menelusuri jalan-jalan desa dan melihat para perempuan sehabis mandi duduk berjemur di halaman rumah, mengeringkan rambut di hangatnya matahari, sementara tubuhnya dililit kain panjang sebatas pinggang. Saya tersentak bukan terutama karena tubuh yang terbuka tapi, karena suasana hening dan damai yang menjadi kerangka pandangan. Beberapa penduduk desa—laki-laki dan perempuan, tua dan muda—sudah mulai menuju ke tempat kegiatan. Tapi perempuan-perempuan itu tak diusik dan tak terusik. Semua ini lumrah, biasa. Sebagaimana lumrah dan biasanya kicauan burung dan gemerisik angin di rumpun bambu.

Bisa saja dikatakan, membangkitkan gambaran ini hanya gejala nostalgia akan budaya desa subsisten yang cepat atau lambat akan hilang tertelan oleh jaman dan peradaban modern yang urban dan kosmopolitan. Beras telah menjadi komoditi yang diperdagangkan secara internasional. Demikian juga tubuh manusia, perempuan dan laki-laki. Relasi antar-jenis menjadi lahan komodifikasi, sehingga banyak pihak - termasuk berbagai organisasi perempuan - berpendapat bahwa dalam kondisi ini dibutuhkan pengaturan-pengaturan, umumnya dengan niat memungsikan tugas perlindungan hukum negara. RUU APP yang kini menjadi bahan perdebatan yang cukup serius, perlu dipahami dalam kerangka komodifikasi ini.

Dalam RUU APP, kata kunci yang digunakan untuk menentukan bahwa sesuatu merupakan pornografi ialah “eksploitasi,” (“mengeksploitasi”, Bagian Pertama, pasal 1), diartikan sebagai perbuatan “untuk tujuan mendapatkan keuntungan materi atau non-materi.”2 Kalau kata eksploitasi digunakan secara konsisten dan konsekwen, sesungguhnya inti RUU APP ini adalah pengakuan akan harkat kemanusiaan yang utuh dan otonom, karena relasi eksploitatif ini mereduksi manusia menjadi alat pemenuh kebutuhan pihak lain, apakah itu orang lain, korporasi, organisasi, bahkan negara sendiri. Relasi eksploitatif ini merupakan relasi kekuasaan, di mana pihak yang memperalat memiliki daya kontrol atas pihak yang dijadikan alat, dan yang diperalat tidak memiliki daya untuk menolak, menghindari, atau keluar dari relasi tersebut. Dari perspektif hukum, pihak yang diperalat ini merupakan korban perbuatan eksploitatif (= pemerasan). Bahkan Andrea Dworkin, yang kini kerap disebut sebagai feminis yang memperjuangkan peraturan anti-pornografi, menekankan bahwa dasar pornografi ialah adanya relasi eksploitatif antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan diletakkan sebagai komoditas atau benda (objek) untuk sekadar pemenuhan kebutuhan laki-laki; dan bahwa pornografi terbit dari posisi perempuan yang dikonstruksikan sebagai pihak yang lemah (=subordinasi).

Relasi sosial berdasarkan pemerasan ini yang membedakan antara benda/hal pornografis di satu pihak dan benda/hal lain yang mengungkapkan tubuh/sensualitas-seksualitas/erotika di lain pihak sebagai ekspresi daya kemanusiaan. Dengan demikian, yang sesungguhnya merupakan kejahatan ialah perbuatan memperalat dan memeras, yaitu perbuatan yang mengingkari kemanusiaan yang utuh dan otonom. Sementara korban perbuatan tersebut merupakan manusia yang diperas dan diperalat, tanpa memiliki kebebasan untuk memilih keluar dari hubungan yang sarat kekerasan itu. Korban inilah yang sebagai manusia memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum positif yang menawarkan cara baginya untuk menuntut pihak yang melakukan eksploitasi terhadapnya.

Ditilik dari sudut pandang relasi eksploitatif ini maka RUU APP sama sekali tidak membuka akses hukum bagi manusia korban pemerasan/peralatan dan komodifikasi yang dihilangkan harkatnya sebagai manusia yang utuh dan otonom. Walaupun mengulangi kata eksploitasi dalam sebagian besar pasalnya, RUU ini mengumbar sanksi tanpa mengakui hak korban. Dalam logika RUU ini, seorang korban yang terjebak dalam relasi eksploitatif dapat dikenakan hukuman badan (penjara) dan denda (ratusan juta rupiah). Akibatnya, ia dikorbankan baik oleh relasi pemerasan pribadi maupun sejenis pemerasan “legal” oleh negara. Dalam hal ini, tidak banyak perbedaan antara RUU APP ini dengan berbagai Peraturan Daerah yang mengatur relasi seksual, seperti hal “pelacuran” yang justru membuat perempuan yang dilacurkan dalam relasi seksual eksploitatif menjadi kriminal, bahkan hanya berdasarkan kecurigaan sepihak dan diskriminatif—hal yang sungguh-sungguh merupakan penggerogotan terhadap sendi hukum positif.

Pelemahan sendi hukum juga terlihat dalam RUU APP ini, terutama sehubungan dengan Bab IV yang mengatur pembentukan “Badan Anti Pornografi dan Pornoaksi Nasional” sebagai “lembaga non-struktural.” Badan ini bukan badan yang demokratis karena anggotanya ditunjuk/diangkat, tetapi ia memiliki wewenang yang luas sebagai koordinator instansi pemerintah dan sebagai lembaga “pengoperasian satuan tugas,” di antara berbagai fungsi lain, termasuk fungsi pengawasan terhadap instansi pemerintahan (termasuk peradilan dan kepolisian) dan mobilisasi unsur-unsur masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan. Badan non-struktural dan non-demokratis ini dengan demikian memperoleh kekuasaan yang sangat besar yang mampu menggerakkan alat kekerasan negara tanpa adanya jalur kontrol dan pembatasan terhadap badan itu sendiri. Melegalisasi badan seperti ini berarti melegalisasi sebuah badan yang anti-demokrasi, yang mengambil alih sebagian wewenang negara dan alat kekerasan negara dengan logika “pencegahan” berdasarkan interpretasi yang rancu mengenai pornografi dan bukan logika perlindungan manusia; sebuah badan yang menyebut kata eksploitasi untuk membenarkan eksistensinya tetapi hanya menambah dan melestarikan berbagai bentuk pemerasan terhadap manusia dan pengingkaran kemanusiaan itu sendiri.

Perlindungan terhadap perempuan dan anak sering diangkat sebagai isu ikutan dari RUU APP. Ini menimbulkan kesan bahwa berbagai organisasi perempuan yang menolak RUU ini ingin membiarkan relasi eksploitatif atas nama “kebebasan pribadi.” Berkaitan dengan hal ini, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yang lebih saksama. Pertama, menempatkan perempuan dan anak pada posisi yang sama mengingkari hak perempuan (dewasa) sebagai subjek hukum penuh yang secara otonom mempunyai akses pada hukum yang seharusnya memberi daya kepadanya untuk mengubah posisinya yang buruk dalam relasi sosial. Perlindungan bagi anak juga harus mengakui hak anak tapi, seorang anak pantas mendapatkan perlindungan negara karena posisinya yang masih tergantung pada orang-tua atau pihak lain (termasuk instansi negara). Hak perempuan dan hak anak inilah yang diperjuangkan sebagian besar organisasi perempuan.

Kedua, relasi eksploitatif dan komodifikasi manusia (baik daya maupun tubuhnya) dan segala hal yang muncul daripadanya telah merasuk pada hampir setiap bidang kehidupan sosial, sementara kemampuan atau keinginan penyelenggara negara belum menunjukkan kehendak politik untuk melindungi warganya yang menjadi korban. Apabila perempuan mempunyai akses yang baik pada hukum, apabila hukum itu sendiri membuka jalur baginya untuk melindungi dirinya dari eksploitasi yang tidak diinginkannya, maka perempuan memiliki daya untuk melindungi dirinya sebagai subjek hukum penuh dan ia tidak dipaksa pada pilihan simalakama yang tragis: melepaskan kebutuhan akan perlindungan atau mengurangi haknya sebagai manusia utuh. Kalau publik mengetahui bahwa perempuan memiliki daya yang utuh, maka ini akan mengurangi kecenderungan “pemangsa” dan sekaligus mendorong kemajuan sosial menuju relasi seksual di mana kenyamanan dan kenikmatan satu pihak tidak dikaitkan dengan pelemahan hak dan kemanusiaan pihak lain. Perjuangan berbagai organisasi perempuan (seperti juga organisasi hak asasi manusia lainnya) berupaya menghentikan relasi eksploitatif ini.

Hal yang kedua, yaitu relasi eksploitatif dan komodifikasi manusia, lebih sulit dihentikan melalui legislasi dalam iklim globalisasi korporatis sekarang ini. Muncul pertanyaan: apakah RUU APP sesungguhnya merupakan cerminan ketidakberdayaan para pembuat undang-undang dalam menghadapi tantangan pasar “bebas” dan berbagai perubahan struktural yang diakibatkan kebijakan yang sesat jaman Orde Baru? Apakah para pembuat undang-undang sesungguhnya melihat diri dan bangsa telah berubah menjadi komoditas dalam relasi pemerasan, menjadi pihak yang lemah dan tak berdaya, merasa diri sudah tidak menjadi subjek hukum yang penuh, bukan manusia yang utuh dan otonom? Apakah karena itu, maka satu-satunya bidang yang masih bisa dikuasai ialah bidang “moralitas”, bidang “nilai-nilai luhur,” yang nampaknya belum diambil-alih oleh pemilik dan pengelola kapital internasional?3

Secara ironis, terjepitnya negara antara tuntutan pasar bebas di satu pihak dan tuntutan kaum buruh di pihak lain justru terbongkar dengan adanya upaya merevisi undang-undang ketenagakerjaan di tengah heboh RUU APP. Buruh—amat banyak di antaranya perempuan—menjadi korban utama perbuatan “mengeksploitasi.” Tenaganya diperas tanpa imbalan yang cukup baginya untuk hidup layak sebagai manusia. Karena layanan umum boleh dikatakan tidak ada, maka kalau ia sakit atau kena PHK, ia pulang ke keluarga (biasanya di kampung) yang akan menyembuhkan dan memenuhi kebutuhannya hidupnya. Bisa dikatakan bahwa keluarga miskin yang justru mensubsidi industri. Selain tenaga kerja, juga seksualitas buruh dieksploitasi karena pemberlakuan konstruksi kelelakian dan keperempuanan yang diskriminatif dan mudah digunakan untuk mengendalikan rakyat pekerja. Dan secara keseluruhan, buruh dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga ia senantiasa berada di pihak yang lemah dan tak berdaya, sehingga ia mudah diperalat—dikomodifikasi—dan kehilangan harkat kemanusiaannya. Buruh sekedar menjadi alat pemenuhan kebutuhan pihak lain.

Eksploitasi terhadap buruh dibenarkan dengan dalih “kepentingan umum” yang diletakkan di atas “kepentingan pribadi” tanpa pengakuan adanya perbedaan mendasar antara berbagai pribadi-pribadi yang mewujudkan khalayak umum tersebut. Yang disembunyikan oleh istilah “kepentingan umum” ialah perbedaan yang sangat mencolok antara pribadi yang (semakin) dimiskinkan dengan pribadi yang berada dalam posisi yang lebih menguntungkan. Penyembunyian perbedaan antara “pribadi” di balik istilah “kepentingan umum” juga mewarnai RUU APP ini.

Ketidakberdayaan penyelenggara negara secara keseluruhan terungkap oleh berbagai peraturan dan kebijakan yang semakin mempertajam pemiskinan dan penyengsaraan, seperti kebijakan mencabut “subsidi” BBM4, dan kebijakan meningkatkan ekspor tenaga kerja Indonesia—terutama perempuan—ke luar negeri tanpa jaminan perlindungan. Kita tahu bahwa banyak di antara mereka yang menjadi korban pemerasan dan kekerasan seksual. Ninotschka Rosca, seorang pendiri jaringan perempuan Filipina GABRIELA, menyebut negara yang mengambil peran pengekspor tubuh perempuan ini sebagai mucikari dan penjual hamba legal.5 Arus privatisasi yang difasilitasi negara sedemikian memperlemah posisi negara sehingga tak mampu memberi layanan publik yang paling dasar dan paling menentukan bagi perkembangan manusia: layanan pendidikan dan kesehatan umum. Sementara, sumber daya alamnya (termasuk tanah dan air) menjadi komoditas di pasar internasional dan semakin tak terjangkau oleh rakyat miskin. Bahwa negara memfasilitasi relasi pemerasan dan membenarkannya dengan alasan menarik investasi itulah obsenitas yang sesungguhnya. Bahwa begitu banyak tenaga dihabiskan untuk mengatur paha, pinggul dan payudara dan mereduksi perempuan menjadi bagian-bagian tubuh hanya menambah obsenitas tersebut.

Ada yang menganggap bahwa gambaran budaya desa di atas yang tidak mereduksi perempuan dan tidak menjebaknya dalam relasi eksploitatif hanya pantas dimasukkan museum saja, bersama dengan segala karya dan tradisi budaya lain yang membiarkan tubuh manusia terbuka. RUU APP berusaha membatasi pengungkapan budaya seperti itu dengan memberi definisi yang sangat sempit dan menghambat pada ritual dan kesenian.6 Pembatasan seperti ini akan membuat kita lupa bahwa seksualitas dan sensualitas tidak sama dengan pornografi, dan bahwa tubuh perempuan tidak hanya indah kalau ia lemah dan tak berdaya.

Catatan:

1Di beberapa tempat bahkan ada semacam pamali terhadap penjualan beras yang hanya dapat dilakukan dengan cara dan karena alasan tertentu.

2Kata “pornoaksi” dalam kalimat ini merupakan neologisme (kata baru hasil racikan) yang masih sangat rancu dan seharusya dihindari dalam proses pembuatan hukum positif.

3Kecenderungan seperti ini merupakan response terhadap kolonialisme (lihat, a.l., Partha Chatterjee, The Nation and its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories, 1993), bahkan juga pada priyayi-isme yang berkembang di berbagai keraton/kesultanan di Indonesia, bukan hanya di Jawa.

4Dalam hal BBM, ada upaya negara untuk membedakan antara warga miskin dan warga kaya/kurang miskin. Wacana yang dikembangkan ialah bahwa orang kaya yang lebih menikmati subsidi BBM. Tetapi strategi untuk menjawab ketimpangan sosial ini dengan men-targetkan rakyat miskin secara khusus mendapat kritikan yang cukup tajam. “Targeting” khusus dikecam juga oleh ahli ekonomi pembangunan dan pemenang hadian Nobel, Dr. Amartya Sen. Lihat, antara lain, Development as Freedom, 1999.

5Negara tetangga, Filipina, menjadi negara Asia Tenggara yang paling banyak mengekspor tenaga kerja, yang memasukkan sekitar 12 trilyun dolar AS ke Filipina. Makalah yang dibacakan di Universitas California, Berkeley, April 2006.

6Begitu juga pada olahraga. Anehnya, justru nilai pornografis—berarti dengan mempertahankan segi eksploitatif—dipertahankan untuk keperluan seksual laki-laki. Seksualitas yang bergantung pada relasi eksploitatif sesungguhnya merupakan disfungsi seksual.