Arianto Sangadji: Aparat Keamanan Menciptakan ‘Bisnis Kekerasan’

KEKERASAN demi kekerasan berdarah terus terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Seperti lingkaran setan tak berujung-pangkal. Muncul pertanyaan, dimana peran aparat keamanan? Dalam kasus Poso,misalnya, apa yang mereka perbuat ketika kekerasan tak kunjung usai bahkan eskalasinya kian meningkat? Lalu apa gunanya kehadiran aparat secara struktural di daerah, khususnya di daerah konflik?

Ada banyak jawab untuk itu. Dalam kasus Poso, misalnya, ketidakmampuan pihak keamanan dalam mengatasi kekerasan, memiliki motif politik dan ekonomi tertentu. Aparat keamanan, demi kepentingan tersebut, secara sengaja, langsung atau tidak langsung, terlibat, memproduksi dan melanggengkan kekerasan di Poso. Apa dan bagaimana wujud keterlibatan aparat keamanan itu? Untuk mengetahui hal itu, Coen Husain Pontoh dari IndoProgress, mewawancarai Arianto Sangadji, direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu. Anto, demikian ia disapa, adalah intelektual-aktivis yang selama bertahun-tahun menggeluti masalah masyarakat adat di Sulawesi Tengah. Berikut petikannya:
IndoProgres (IP): Hingga saat ini, parade kekerasan terus terjadi di Palu, Sulawesi Tengah. Ada banyak versi mengenai kekerasan di Poso, tapi saya ingin fokus ke masalah keterlibatan aparat militer dan kepolisian dalam kasus tersebut. Bisakah bung Anto menjelaskan bagaimana wujud keterlibatan kedua aparat bersenjata itu?

Arianto Sangadji (AS): Pertama, aparat keamanan membiarkan terjadinya kekerasan di Poso. Dalam berbagai kasus kekerasan di sana, aparat keamanan yang memiliki legitimasi untuk mencegah atau menindak secara tegas, justru tidak mereka lakukan. Akibatnya, kekerasan tidak bisa dicegah dan memakan korban tidak sedikit dan terus terjadi. Kedua, aparat keamanan merupakan bagian dari kekerasan. Yang utama adalah terlibat dalam kekerasan secara langsung, baik melalui sejumlah kekerasan terbuka, maupun kekerasan melalui operasi-operasi tertutup.



...aparat keamanan merupakan bagian dari kekerasan. Yang utama adalah terlibat dalam kekerasan secara langsung, baik melalui sejumlah kekerasan terbuka, maupun kekerasan melalui operasi-operasi tertutup.

Ketiga, aparat keamanan menciptakan "bisnis" kekerasan, melalui berbagai kegiatan kriminal ekonomi, seperti jual beli senjata dan amunisi, bisnis pengawalan, terlibat dalam illegal logging. “Bisnis” kekerasan juga mencakup pelanggengan Poso sebagai daerah konflik, dengan tujuan untuk memperoleh secara terus-menerus budget resmi untuk operasi pemulihan keamanan di sana.

IP: Sejauh mana fakta-fakta menyangkut keterlibatan mereka?

AS: Ada kasus lama yang kasat mata, yakni penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anggota Kompi Senapan B/Yonif 711 Raksatama terhadap beberapa warga Desa Toyado Kecamatan Lage pada awal Desember 2001. Sampai hari ini, kasus ini seperti "di-peties-kan".

Fakta terbaru adalah peristiwa 'petrus' (penembakan misterius) terhadap dua gadis di Kelurahan Kasintuwu Kecamatan Poso Kota, 8 November 2005. Investigasi lapangan kami menunjukkan bahwa aparat keamanan adalah pelaku kekerasan tersebut. Dalam waktu dekat, Poso Center, koalisi NGO (non governmental organisations, red) di Sulawesi Tengah akan mengampanyekan kasus ini secara terbuka.

Buat saya, dua kasus tersebut sebenarnya merupakan fenomena gunung es dari kekerasan di Poso, di mana aparat keamanan secara faktual adalah bagian dari kekerasan.

IP: Apa tujuan mereka terlibat dalam kekerasan di Palu, Sulteng? Bisakah bung menunjukkan sejauh mana tujuan itu tercapai?

AS: Pertama, aparat keamanan ingin mempertahankan sejumlah daerah di Indonesia sebagai 'daerah konflik' secara terbatas. Konflik-konflik bersifat regional itu terus-menerus dipelihara agar memberikan ruang bagi aparat keamanan untuk menghindar dari tekanan reformasi di satu sisi, dan sekaligus menaikkan posisi tawarnya dalam perpolitikan nasional.

Kedua, secara institusional, aparat keamanan hendak menarik keuntungan dari 'daerah konflik', baik dalam rangka kepentingan "bisnis kekerasan" maupun untuk memperdalam kehadiran aparat keamanan di suatu daerah. Penempatan pasukan organik baru, pengerahan pasukan BKO, pembangunan/pemekaran komando teritorial atau yang setingkat, operasi-operasi intelijen tempur adalah contoh bagaimana Poso menjadi ajang 'unjuk senjata' aparat keamanan.

IP: Bagaimana kawan-kawan gerakan merespon keterlibatan aparat bersenjata itu di lapangan?

AS: Selama ini respon kawan-kawan di sini masih terlalu terbatas dan tidak politis, sebatas gerakan 'khas' LSM, seperti press release atau press conference, ada sedikit investigasi tetapi tidak tuntas. Juga banyak workshop dan training. bukan berarti itu tidak penting, tetapi sama sekali tidak cukup. Faktanya, kekerasan tetap saja terjadi.

IP: Berdasarkan pengalaman di lapangan, bagaimana seharusnya kawan-kawan gerakan bersikap terhadap keterlibatan aparat bersenjata dalam pelanggengan konflik?

AS: Sangat penting adalah mobilisasi politik, sesuatu yang selama ini menjadi titik lemah kawan-kawan di sini. Padahal banyak penduduk Poso sadar bahwa aparat keamanan adalah bagian dari problem. "Mitos" perang agama sudah hilang di sebagian besar kepala orang Poso. Tetapi, kesadaran itu tidak pernah dikelola secara politik, tidak pernah diorganisir secara serius. Atas dasar itu, dewasa ini Poso Center menyiapkan pembentukan posko-posko di berbagai tempat di Poso. Diharapkan ini menjadi Posko perlawanan rakyat untuk menghentikan kekerasan di poso, khususnya dalam mempersoalkan keterlibatan aparat keamanan di sana. Karena, bagi Poso Center, kekerasan poso bisa dihentikan, jika ada kekuatan politik yang kuat mengontrol aparat keamanan. ***