Willy Aditya: Ini Rejim 'Tukang Kantau'

BARU setahun pemerintahan SBY-JK berkuasa, kebijakan-kebijakan ekonomi yang ditempuhnya makin menyengsarakan rakyat. Hanya dalam waktu setahun, rejim ini telah menyangkal janji-janjinya selama masa kampanye pemilu. Harga BBM melambung tinggi, disusul dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok lainnya. Deretan penderitaan rakyat itu bisa disusun lebih panjang lagi.

Dalam soal penegakan HAM, rejim ini juga tak jauh berbeda dengan rejim sebelumnya. Kasus pembunuhan Munir yang hanya menyentuh pelaku di lapangan, adalah buktinya. Demikian juga, cerita tebang pilih pemberantasan korupsi. Ditambah rencana pemerintah untuk mengontrol kembali kehidupan pers, mengkonfirmasi parodi yang dilontarkan oleh Effendi Ghazali, dosen ilmu komunikasi FISIP UI,“Bersama Kita Menderita.”

Lalu, bagaimana sebenarnya sosok rejim SBY ini dalam pandangan aktivis gerakan sosial-politik di Indonesia? Bagaimana respon para aktivis terhadap sosok rejim SBY-JK ini? Untuk mengetahui hal itu, Coen Husain Pontoh dari IndoProgress, berbincang dengan Willy Aditya, Ketua Umum Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP). Berikut petikannya:


IndoProgress (IP)
: Setelah rejim SBY-JK menaikkan BBM, mengimpor beras, dan berencana menaikkan harga TDL, apa kesimpulan yang bisa ditarik dari keberadaan rejim ini?

Willy Aditya (WA): Rezim ini tak ubahnya dengan kekuasaan sebelumnya. Mereka hanya ingin menjadi ‘tukang kantau’ (istilah pasar tanah abang untuk mengatakan calo) dari agen-agen ekonomi internasional. Bahwa negara adalah kepanitian modal, sangat terlihat jelas dalam peforma pemerintahan sekarang. Duet maut tentara dan pengusaha jelas-jelas adalah restorasi politik orde baru, yang sejak pemilu 2004 PRP sudah melakukan penolakan atas mereka.

(IP): Menurut bung, mengapa rejim SBY-JK mengambil kebijakan yang anti rakyat itu? Apakah itu suatuketerpaksaan untuk mengurangi beban anggaran negara atau atas dasar apa?

(WA): Karena penyelesaian yang sepihak atau berdimensi tunggal atas masalah ekonomi yang kini dihadapi. Apalagi jika penyelesaian berdimensi tunggal itu diklaim sebagai panasea, obat manjur bagi 1001 penyakit. Penyelesaian masalah ekonomi yang kini dihadapi negeri ini harus dilakukan melalui pendekatan multi-dimensional dan harus berlandaskan pada penyelesaian ekonomi itu sendiri.

Pendekatan yang selalu dipakai oleh SBY-JK adalah menyerahkan sepenuhnya persoalan pada mekanisme pasar dan neoliberalisme.

(IP): Lalu apa tujuan rejim ini mengambil kebijakan yang tidak populer itu?

(WA): Asumsi bahwa pemerintah memiliki kehendak bebas dalam mengambil kebijakan adalah suatu yang keliru. Ini bertentangan dengan kenyataan dimana negara-negara donor dan lembaga internasional telah mendikte program-program ekonomi Indonesia. Kelemahan rezim ini tidak berani keluar dari pilihan-pilihan yang terbatas. Alasan defisitnya cadangan defisa negara untuk kemudian melakukan privatisasi adalah bentuk ketidakberdayaan rezim SBY-JK di hadapan dunia internasional dan memilih mengorbankan rakyat sendiri. Ini membuktikan rezim ini anti-nasional, anti-demokrasi dan anti-rakyat dalam langkah-langkah yang dipilih. Pasar bebas boleh menjadi mainstream tetapi, di negara-negara maju subsidi masih tetap dipelihara, perlindungan pasar dan produksi dalam negeri masih kuat. Jepang, Amerika dan Eropa adalah contoh kongkrit untuk persoalan di atas. Nah, Indonesia malah buntutisme dengan aturan-aturan tersebut.


Kelemahan rezim ini tidak berani keluar dari pilihan-pilihan yang terbatas. Alasan defisitnya cadangan defisa negara untuk kemudian melakukan privatisasi adalah bentuk ketidakberdayaan rezim SBY-JK di hadapan dunia internasional dan memilih mengorbankan rakyat sendiri.
(IP): Tetapi, respon gerakan tampaknya tidak signifikan. Daya tahannya ternyata sangat lemah. Mengapa bisa demikian?

(WA): Banyak sekali respon yang bermunculan untuk menghadapi persoalan bangsa dan rakyat ini. Beberapa gerakan memang tidak diekspose oleh media massa mainstream. Kebanyakan gerakan tersebar di daerah-daerah. Lihat kasus Tanak Awu, Danone di Klaten, Bulukumba, Sutet dan aksi-aksi menentang BBM. Memang tidak semeriah (gerakan) ’98 yang selalu menohok pada pusat kekuasaan. Peran partai oposisi seperti PDI Perjuangan juga tidak kalah menarik dengan merespon (kebijakan) beras impor dan kenaikan BBM.

(IP): Bagaimana seharusnya gerakan merespon kebijakan rejim SBY-JK ini?

(WA): Saya pikir inilah saatnya gerakan massa di Indonesia bisa belajar dari gerakan di Amerika Latin. Sebelum Evo Morales memenangkan pemilu, ada kombinasi yang apik antara gerakan massa dengan elektoral. Di Indonesia kerjasama ini belum sebangun, dimana ada dua ekstrim yang terlihat: Partai hanya menimbang suara untuk elektoral dan gerakan massa masih saja memakai metode protes!

(IP): Apakah gerakan memiliki program yang konkret sebagai tandingan atas kebijakan SBY-JK yang anti-rakyat ini? Bisakah diberikan contohnya?

(WA): Bicara tentang suatu yang kongkrit ini susah menjadi acuan. Bukankah aksi-aksi massa dijalanan adalah hal yang material walau tidak signifikan dalam mengubah kebijakan atau menekan pemerintahan? Begitu juga dengan oposisi di parlemen, kelihatannya hanya menjadi barisan sakit hati dan sendirian. Program tandingan terhadap pemerintahan SBY-JK adalah melakukan dan menggalang jaringan oposisi dari gerakan massa hingga parlemen. Sampai pada pembentukan stategi bersama dalam kolektif kepemimpinan yang menjadi shadow magister dari pemerintahan SBY-JK. Hal itu harus dimulai dari kerjasama yang paling memungkinkan untuk bisa saling percaya atas garis nasional, demokrasi dan kerakyatan. ***