Hizkia Yosie Polimpung
Peneliti di Center for International Relations Studies UI dan Pusat Kajian Wilayah Amerika UI
THE World Economic Forum (WEF), adalah sebuah organisasi non-profit Swiss, yang berbasis di Cologny, Jenewa. Ia terkenal juga dengan sebutan Davos, suatu daerah di sebelah timur kawasan Alpen, yang setiap tahun dijadikan tempat pertemuannya. Pertemuan ini mempertemukan para pebisnis (yang kelas kakap tentunya), para pemimpin dunia (yang sekarang bisa disempitkan pada G20), dan para intelektual terpilih untuk membahas isu-isu yang sedang menjadi permasalahan dunia. WEF juga menghasilkan laporan-laporan tertentu. Untuk 2011 ini, WEF mengeluarkan Global Risks Report, Global Competitiveness Report, dan Outlook on the Global Agenda 2011. Pertama kali diselenggarakan pada 1971 oleh seorang Profesor Bisnis dari Universitas Jenewa, Klaus Schwab, WEF awalnya bernama European Management Forum yang hanya berkisar pada permasalahan di Eropa (Barat). Baru pada 1987, saat Schwab memperluas scope isu, jangkauan dan partisipan ke luar Eropa, mencoba merambah seluruh dunia, forum tersebut diganti namanya menjadi WEF yang seperti kita ketahui hari-hari ini.
Pada pertemuan tahun ini, tanggal 26-30 Januari lalu, WEF mengangkat tema “Shared norms for the new reality.” Untuk memulai diskusi ini, saya ingin mengklarifikasi dua hal terkait judul tersebut. Mencoba meletakkan kalimat tersebut dalam kerangka analitis umum, maka dalam kalimat tersebut di dapati dua variabel: “new reality” sebagai variabel independen; dan “shared norms” sebagai variabel dependen. Dengan bergaya ala Morpheus (The Matrix), saya bertanya, “What is ‘real?’ How do you define ‘real?' If you’re talking about what you can feel, what you can smell, taste and see, the ‘real’ is simply electrical signals interpreted by your brain. This is the world that you know.” Realitas, yang olehnya kita anggap the real, dengan demikian hanyalah realitas yang mampu kita ketahui, sehingga the reality akan selalu my reality. Hal serupa juga berlaku bagi yang disebut-sebut “the new reality” oleh WEF 2011, ia sebenarnya adalah “their new reality.”1
Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan “shared norms.” Pertama, statusnya sebagai variabel dependen membuatnya bersifat kontingen, dalam artian bergantung pada sang variabel independen—“the new reality.” Kedua, secara etimologis norma-bersama ini berbeda dari norma-norma lainnya dari segi kepemilikan. Norma-bersama tentu dimiliki atau dijunjung secara bersama, berbeda dengan norma lain yang dipegang sendiri-sendiri. Pertanyaan berikutnya yang biasanya akan muncul: siapakah yang masuk dalam kategori “bersama” tersebut? Siapa sajakah yang dieksklusi dari kategori “bersama” tersebut? Atas dasar apa?...dst…dll…dsb. Namun, sayangnya, bukan pertanyaan ini yang mengganggu saya.2 Pertanyaan besar yang memukul kepala saya adalah ini: mengapa untuk realitas semacam ini—yang dianggap baru; yang, tentu saja, dengan segala keterbatasannya dianggap riil—memerlukan norma-norma yang secara esensial seperti yang diusulkan dalam WEF 2011, dan bukan hanya itu, ia harus dijunjung secara bersama?
Tentu saja saya tidak menganggap tema ini sebagai suatu hal yang serius dan benar-benar berkontribusi bagi, misalnya, sebagaimana retorika-retorika di WEF 2011, “kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.” Saya kira kita semua yang sudah cukup familiar dengan politik sehari-hari akan segera tahu bahwa tema-tema muluk tersebut adalah sebuah retorika di siang bolong. Saya juga berpikir seperti itu. Namun demikian, bagi saya, bukan berarti karena ia adalah retorika di siang bolong lantas ia bukan berarti apa-apa. Justru karena ia retorika di siang bolong ia menjadi sangat berarti. Mengapa demikian? Karena retorika di siang bolong inilah yang sebenarnya menjadi proyeksi hasrat yang diuniversalisasikan, yang ditawarkan kepada siapapun pendengarnya—yang biasanya sedang dirundung duka-lara (atau dalam kosakata WEF, “krisis”). Untuk menjadi proyeksi hasrat, ia tidak harus mungkin atau setidaknya feasible, hanya saja ia harus cukup menyejukkan. Hal penting untuk memahami retorika ini, dengan demikian, adalah tidak meremehkannya sebagai semata-mata jargon kosong belaka; se-“kosong” apapun retorika itu, ia pasti memuat dan mengakomodasi hasrat terdalam dari siapa-siapa yang menjadi targetnya.
Dari perspektif psikoanalisis yang saya kampanyekan, inilah pentingnya menseriusi suatu retorika yang kita tahu “tidak serius.” Karena hanya dengan demikianlah kita bisa menyingkapkan kegilaan neurotik seperti apakah yang menghasrati obat penenang semacam retorika yang kita tahu “tidak serius” tersebut. Obat penenang inilah yang akan memberikan konsistensi, stabilitas, dan kesembuhan sementara bagi sang penderita neurotik tersebut. Dalam psikoanalisis, obat penenang ini disebut simptom. Secara analitis, dengan demikian, saya akan memperlakukan WEF—berikut tema, jargon, retorika, agenda, laporan, bla..bla..bla..—sebagai simptom. Simptom yang dimaksud adalah suatu jalinan rapi suatu penampakkan yang membentuk satu kesatuan tertentu, yang muncul sebagai akibat dari, sekaligus menutup-nutupi, suatu gejolak irasional yang mendahuluinya.3 Setidaknya kerangka ini yang akan menuntun diskusi saya melalui tulisan ini. Pertama-tama akan dibahas apakah realitas baru yang dimaksudkan oleh WEF 2011. Berikutnya interogasi akan diarahkan pada letak kebaruan dari krisis tersebut. Interogasi ini penting, setidaknya dari perspektif praksis, atau lebih spesifiknya praksis perlawanan yang juga saya kampanyekan, karena hanya dengan mengidentifikasi kebaruan realitas—jika memang baru—yang menjadi pemicu WEF ini kalkulasi akurat bagi praksis perlawanan dapat diformulasikan. Hal ini penting karena, sebagaimana film Mechanic (2011) mengingatkan, “victory loves preparation.”
New Reality
“The shifts of political and economic power from West to East and from North to South, as well as the speed of technological innovation, have created a completely new reality. Global systems and decision models can no longer cope with the speed and complexity of all these changes. In Davos this year, instead of looking only at the aftershocks of the recent crisis, we will concentrate on defining the new reality and discuss which shared norms are required for making global cooperation possible in this new age,”
—Klaus Schwab, pendiri WEF, pada pembukaan WEF 20114
Tanpa perlu mengernyitkan dahi, dengan mudah bisa disimpulkan dari kutipan di atas bahwa terdapat dua hal yang menjadi penyebab lahirnya suatu binatang yang disebut-sebut ‘realitas baru’, yaitu: pertama, perpindahan kekuatan ekonomi-politik (dari apa yang disebutnya “Barat” ke “Timur,” dan dari “Utara” ke “Selatan”); dan kedua, inovasi teknologi yang berlangsung sangat cepat. Kedua hal ini berikutnya menciptakan suatu realitas baru yang karenanya para pemimpin dunia (maksudnya, tentu saja, pemimpin negara-negara) menjumpai kesulitan untuk menentukan kebijakan yang tepat. Mengapa? Schwab menuturkan, realitas baru ini sarat dengan kompleksitas yang berpotensi mengacaukan semua prediksi dan rationale yang melandasi setiap kebijakan yang diambil pemimpin dunia. Kekacauan ini berikutnya, ditengarai Schwab, sebagai penyebab krisis yang (telah/tengah) dialami dunia—mulai dari krisis di Timur Tengah, krisis finansial, krisis lingkungan, dst. Lalu apakah realitas baru tersebut? Jawab WEF 2011: the global risk.
Sayangnya resiko global ini kurang mendapat elaborasi definisional di WEF 2011. Namun demikian, dari perbincangan dan laporan yang ada di WEF 2011, dapat disimpulkan bahwa resiko global dipahami sebagai suatu potensi krisis (atau bahkan krisis lebih lanjut) yang memiliki dampak global. Dampak global, maksudnya krisis di satu daerah akan memiliki implikasi di daerah lainnya. Resiko global sebaiknya tidak dipahami sebagai resiko yang mengglobal (globalized risk). Yang terakhir ini mengasumsikan bahwa resiko global saat ini merupakan akibat perluasan dari suatu resiko lokal/nasional/regional. Resiko global merupakan resiko yang muncul dari praktik apapun (politik, ekonomi, dst.) yang telah terglobalisasi—terjejaring secara global—saat ini. Dengan kata lain, mirip dengan Ulrich Beck, resiko global adalah dampak yang eksklusif by-product dari globalisasi itu sendiri.5
Gambar 1 Pemetaan Resiko Global a la WEF 2011
Mencoba merangkumkan pemetaan resiko global yang dihimpun oleh tim WEF (lihat Gambar 1), setidaknya ada lima macam resiko global: ekonomi, geopolitik, lingkungan, kemasyarakatan, dan teknologi. Jalinan antara kelima ini membentuk tiga macam klusterisasi resiko global: kluster pertama adalah ketidak-seimbangan makro-ekonomi (macroeconomics imbalances) yang berkisar umumnya pada tiga macam resiko—rontoknya nilai aset-ketidakpastian nilai mata uang-krisis fiskal; kluster kedua adalah ekonomi ilegal (illegal economy) yang berkisar umumnya pada empat macam resiko—perdagangan ilegal-korupsi-kejahatan terencana-negara lemah; kluster ketiga, yaitu resiko yang berkaitan dengan ketersediaan tritunggal energi-makanan-air, berhubungan dengan empat resiko minor—ketidakmenentuan ekstrim harga energi-ketersediaan pangan-ketersediaan air-perubahan iklim. Tim WEF juga mengidentifikasi resiko lain yang kurang mendapat perhatian namun berpotensi menghasilkan krisis yang cukup besar: keamanan cyber, tantangan demografi, ketersediaan sumber daya, penarikan diri dari globalisasi dan senjata pemusnah massal. Laporan tersebut ditutup dengan seruan: “the purpose of this report is not to eliminate risk,… but to inspire decision makers to engage collectively the global risk.”6
bersambung ....
Artikel ini sebelumnya merupakan Makalah untuk diskusi “Davos 2011,” pada Forum Diskusi Mimbar Bebas, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, 8 Februari 2011.
Catatan kaki:
1Fakta: “Over 1,400 business leaders from the Forum’s 1,000 Member companies will take part in the Annual Meeting. Participants also include over 35 heads of state or government, with 19 of the G20 governments represented at ministerial level or higher. They are joined by government ministers, central bankers, top officials from international organizations, labour leaders, religious leaders, representatives of civil society, media and leading academics.” Silakan cek di http://www.weforum.org/news/world-economic-forum-annual-meeting-focus-shared-norms-new-reality
2Biasanya jawaban-jawaban atas pertanyaan ini akan dengan suudzon-nya menuduh kelas-kelas penguasa (borjuis, aristokrat, dst.) sebagai “aktor di balik layar.”
3Bagi pembaca yang familiar dengan psikoanalisis Lacanian, simptom adalah suatu gestur simbolik yang muncul sekaligus menyegel suatu citra (gestalt) imajiner yang sebelumnya telah terlebih dahulu membendung, melokalisir, atau mendomestifikasi suatu realitas chaos, disorder atau imbalance yang tidak terpahami. Bdk. Jacques Lacan, Seminar XXIII: The Sinthome, 1975-76, terj. L. Thurston, diterbitkan di Ornicar, 6-11, (1976-1977), hal 16.
4Cetak tebal oleh penulis
5Bdk. Ulrich Beck, World Risk Society
6Untuk uraian ini lihat Global Risks 2011, sixth edition. An Inititative of the Risk Response Network. Jenewa: World Economic Forum 2011