Anto Sangaji
Mahasiswa Doktoral di York University, Kanada
DI PENGHUJUNG dekade yang sebentar lagi berlalu ini, terjadi dua peristiwa global penting berhubungan dengan negeri adidaya di bumi, Amerika Serikat (AS). Pertama, ketika AS menyerbu Iraq, mendongkel kekuasaan Saddam Hussesin, memperkenalkan sistem politik demokrasi liberal, melakukan privatisasi keseluruhan alat produksi bangsa tersebut, dan memaksakan hubungan sosial dominan berbasis eksploitasi kelas kapitalis atas kelas pekerja. Oleh sejumlah pihak, invasi militer itu dianggap sebagai penerapan imperialisme paling vulgar; kedua, AS menjadi hulu ledak krisis periodik kapitalisme, yang secara halus disebut sebagai krisis keuangan. Piring kotor krisis masih berserakan di mana-mana, dan jalan keluar yang selalu ditempuh adalah kelas pekerja di seluruh dunia harus bahu-membahu mencuci semuanya.
Hingga sejauh ini, ada begitu banyak teori yang dipakai untuk menjelaskan dua peristiwa penting tersebut, baik dari perspektif liberal maupun perspektif Marxis. Melalui kesempatan ini, saya ingin mengangkat kembali teori imperialisme guna menjelaskan dua peristiwa penting yang mengubah peta geopolitik ekonomi global tersebut. Saya berpendapat, teori inilah yang paling relevan dan paling solid menjelaskan kapitalisme-neliberal dan krisis yang menyertainya saat ini. Secara khusus saya berpendapat, teori Lenin tentang imperialisme masih tetap relevan.
Dari Marx ke Lenin
Sejauh ini, imperialisme telah dimaknai secara beragam. Karena beda disiplin, ilmu-ilmu sosial melihatnya dari sudut berbeda-beda. Lebih mendasar lagi, karena beda paradigma, ilmu-ilmu kemanusiaan menempuh rute berbeda untuk mencari tahu dan menjelaskan istilah ini. Teori-teori sosial bermazhab liberal menganggap imperialisme di sekitar dominasi politik, dominasi kebudayaan, atau juga dominasi ekonomi. Mereka memandang ketiga bentuk dominasi itu sebagai perkara terpisah atau sekurang-kurangnya tidak terlalu berhubungan. Sebaliknya, terori-teori sosial Marxis jelas memandang imperialisme tidak terpisah dari kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme adalah kapitalisme. Lenin, misalnya, menyebut imperialisme sebagai tahap paling maju dari kapitalisme (the highest stage of capitalism), tahap dimana kapitalisme berwujud monopoli.
Catatan ini mau menunjukkan teori Marxist tentang imperialisme. Secara ringkas saya ingin menunjukkan dalil-dalil logik dan historis dari karya Karl Marx, khususnya di Capital. Selanjutnya melihat bagaimana kalangan Marxis membangun teori imperialisme dan menunjukkan relevansinya untuk masa sekarang.
Secara khusus Karl Marx memang tidak pernah merumuskan teori imperialism. Tak berarti istilah ini kehilangan ruh dan konteksnya di tulisan-tulisan Marx. Sebaliknya, ia menyediakan dua landasan penting untuk teori imperialisme, yakni teori tentang kapitalisme, khususnya teori tentang akumulasi kapital dan metode dialektik untuk menjelaskannya. Teori imperialisme yang dirumuskan Rosa Luxemburg, Rudolf Hilferding, Nicolai Bukharin, dan Vladimir Lenin jelas menunjukkan penafsiran dan pengembangan teori akumulasi kapitalnya Marx. Beberapa konsep kunci di Capital, menjadi pijakan mereka ketika membahas imperialisme. Di antaranya, konsep-konsep tentang sentralisasi dan konsentrasi kapital, krisis, ekspor kapital, perdagangan dunia, dan kolonialisme.
Tetapi untuk memahami pengertian imperialisme tidak perlu tergesa-gesa melompati konsep-konsep itu. Kita harus mundur sedikit ke belakang ke konsep yang jauh lebih abstrak, yakni pada teori Marx tentang akumulasi kapital. Di Capital Volume I, ketika membahas tentang esensi kapitalisme, Marx membedakan dua konsep penting. Pertama, apa yang disebutnya sebagai reproduksi sederhana (simple reproduction), yang intinya adalah proses produksi kapitalis yang berlangsung secara berulang tanpa perluasan skala produksi. Seorang kapitalis, misalnya, dengan sejumlah uang di tangan membeli seprangkat alat produksi (means of production) dan tenaga kerja (labour power) untuk memroduksi komoditi yang dijual di pasar dengan kepentingan memeroleh profit (nilai-lebih). Lantas, si kapitalis mengonsumsi habis nilai lebih itu, misalnya, dengan membeli rumah atau mobil, menyumbang ke pembangunan rumah ibadah, atau dipakai apa saja yang tidak berhubungan dengan peningkatan kegiatan produksi. Di tahun baru, dengan menggunakan alat produksi yang sama dan jumlah tenaga kerja yang sama, si kapitalis mengulang proses produksi yang sama. Begitu juga di tahun-tahun sesudahnya. Ini yang Marx maksud dengan reproduksi sederhana.
Tetapi kapitalisme berwatak progresif. Sistem ini berorientasi perluasan skala produksi secara aktif. Nilai lebih dalam produksi bukan dihabiskan untuk konsumsi, tetapi harus diinvestasikan ulang, dengan membeli alat produksi dan tenaga kerja. Marx menyebutnya akumulasi kapital (capital accumulation). Pendek cerita, untuk membedakan reproduksi sederhana dari akumulasi kapital, Marx bilang “jika dalam reproduksi sederhana nilai lebih lahir dari kapital, maka dalam akumulasi kapital, [yang terjadi sebaliknya], kapital lahir dari nilai lebih.” Dengan kata lain, teori akumulasi kapital menyatakan nilai lebih dari proses produksi harus dikonversi ulang terus-menerus supaya menghasilkan kapital yang terus bertambah. Di Capital Volume II, Marx mengembangkan diskusi tentang perluasan skala reproduksi tanpa akhir ini di bawah rubrik “expanded reproduction.”
Dengan demikian, secara logik akumulasi kapital merupakan sebuah proses tanpa batas, dimana ekspansi atau perluasan skala geografis dari kegiatan produksi merupakan keharusan. Kapital mesti mengalir dari suatu tempat, lokasi, wilayah, negara ke tempat, lokasi, wilayah, dan negara berbeda. Jika tidak, produksi kapitalis akan bangkrut. Di Capital Volume I, Marx secara metafor mengingatkan watak ekspansi kapital ke seluruh permukaan planet,
“Negara yang sudah sangat maju dalam fase industrinya hanya mempertontonkan kepada negeri-negeri yang tidak atau kurang berkembang mengenai sebuah citra masa depan yang juga mereka akan lalui.”
Dari konsepnya tentang reproduksi sederhana dan akumulasi kapital yang relatif lebih abstrak, maka di Capital Volume II dan Capital Volume III, Marx bicara konsep-konsep yang lebih rendah tingkat abstraksinya. Misalnya, dalam hubungan dengan tulisan ini, dia omong tentang krisis, yang berarti akumulasi mandeg. Dia menteorikan krisis di bawah judul tendensi kearah rontoknya tingkat keuntungan (the tendency of the rate of profit to fall). Problemnya kompleks, tetapi yang utama adalah dipicu oleh tendensi meningkatnya konstan kapital (composition of constant capital) seperti mesin, teknologi, dan bangunan terhadap variabel kapital (value composition of capital) atau tenaga kerja. Secara sederhana dia menyatakan, tingkat profit jatuh karena untuk memenangkan kompetisi antar sesama kapitalis, mereka harus mengintensifkan/menaikkan investasi konstan kapital atas variable kapital.
Secara dialektis, menurut Marx, tendensi (krisis) selalu diikuti kontratendensi (jalan keluar) supaya nafas sistem ini terus panjang. Dan salah satu kontratendensi adalah ekspor kapital ke wilayah-wilayah baru, di mana akumulasi menjadi mungkin, karena tersedia tenaga kerja murah, kemudahan memperoleh bahan mentah, dan tidak ada atau lemahnya kompetitor. Marx menyebut ekspor kapital, meliputi kapital industri, kapital keuangan (money-dealing capital), dan kapital komoditi (commercial capital). Dia memberi contoh-contoh empiris soal ini dalam pengalaman ekspor kapital Inggris ke India. Krisis kapitalisme dan jalan keluarnya ini merupakan landasan teori imperialisme, seperti dikembangkan Luxemburg, Hilferding, Bukharin, dan Lenin.
Sampai di sini, terlihat aspek sentral kedua dari teori Marx, yakni metode dialektik dalam membangun teori. Secara sederhana, metode ilmiah Marx berpangkal pada dua hal yang tidak terpisah. Pertama, lazim disebut sebagai metode penyajian (method of presentation), yakni prosedur ilmiah yang bertumpu pada konsep yang sangat abstrak kemudian mengalir ke konsep yang lebih konkrit atau pengalaman-pengalaman empiris, atau Marx menyebutnya “rising from abstract to concrete”. Penjelasan tentang reproduksi sederhana hingga ke ekspor kapital di atas adalah contoh metode ini. Marx menulis metode ini di Grundrisse di bawah sub judul "Method of Political Economy;" kedua, metode investigasi (method of inquiry) yang harus bergerak sebaliknya, yakni dari konrit ke abstrak (“to advance from the particular to the general”). Metode ini ditulisnya dibuku A Contribution to Critique of Political Economy. Sebagai tambahan, metode dialektika juga mencakup bagaimana mengubah realitas sosial yang telah dipelajari menuju kondisi yang lebih baik, sejak Marx mengumumkan bahwa filsafat hanya bernyanyi tentang dunia, padahal yang pokok adalah merubah dunia. Catatan ini tidak mengarah ke sana.
Dari konsep-konsep dan metode ini kita lihat bagaimana keempat teoritisi Marxist klasik itu mengembangkan teori imperialisme. Ambil contoh teori ekspor kapital, salah satu ciri pokok imperialisme. Lenin mengaitkannya dengan reproduksi hubungan industrial kapital yang mengalir dari negeri-negeri di mana kegiatan industrinya sudah maju ke wilayah-wilayah baru dengan hubungan produksi kapitalis yang belum berkembang atau kurang berkembang. Dengan demikian profit (nilai lebih) bisa diserap lebih besar, karena ongkos buruh lebih murah, bahan baku melimpah ruah, dan terbuka pasar baru. Bahasa teknis ekonominya, model ini disebut investasi asing langsung (foreign direct investment). Di sini, Lenin merujuk Marx, khususnya dalam pengertian ekspor kapital industri.
Lenin juga taat asas dengan metode dialektik dalam riset ilmiah. Dengan metode presentasi, Lenin menurunkan abstraksi Marx yang lebih tinggi ke tingkat lebih rendah dengan merumuskan apa yang dia maksud dengan ekspor kapital. Lantas dari metode investigasi Lenin menyediakan data statistik makro ekonomi yang melimpah ruah untuk menunjang teorinya. Bukunya Imperialism: The higest stage of capitalism. A popular outline lumayan kurus dari segi jumlah halaman, karena sasaran pembacanya adalah publik luas, sesuai anak judul buku itu. Tetapi sebagai metode presentasi, buku ini merupakan karya brilyan dengan dasar teori kuat dan data lengkap. Sebagai tambahan, kalau tengok metode investigasi yang dilakukan Lenin dalam membangun teorinya, kita bisa terkagum-kagum bagaimana dia membagi waktu antara aktivitas politik dan aktivitas ilmiahnya. Karena, semua corat-coret dalam proses persiapan buku ini, yang diterbitkan dengan judul Notebooks on Imperialism mencapai 800 halaman. Tidak berlebihan, dari proses penulisan buku Imperialism, Lenin mewariskan bagaimana metode dialektik digunakan semestinya dalam penelitian akademis.
Selain Lenin, maka Luxemburg, Hilferding dan Bukharin juga menyumbang penting dalam pengembangan teori ini. Mereka tetap merujuk ke Marx, tetapi dengan titik tolak dan tekanan yang berbeda. Luxemburg, misalnya, memusatkan perhatian pada ekspor kapital komoditi, dengan mendasarkan diskusinya tentang perluasan skala reproduksi (expanded reproduction) di Capital Volume II. Tesis utamanya, sistem produksi kapitalis bisa bernafas panjang jika tersedia pasar non-kapitalis. Oleh karena itu membuka dan ekspansi ke pasar non-kapitalis menjadi keharusan, termasuk dengan kekerasan militer. Lalu, Hilferding membahas soal ekspor kapital keuangan, dalam bentuk pinjaman dari institusi keuangan komersial dan pemerintah kepada industri-industri produktif. Fokus perhatian Hilferding pada apa yang sekarang disebut sebagai finansialisasi. Kendati dalam beberapa hal mengritik Hilferding secara prinsip, tetapi Lenin mengakui teorisasi Hilferding soal industri keuangan ini.
Kembali ke Lenin
Dalam dekade ini, percakapan tentang imperialisme tumbuh pesat. Tiga buku penting, dari sudut pandang Marxist tetapi dengan perbedaan penafsiran, mendominasi diskusi soal imperialisme. Pertama adalah tulisan Michael Hardt & Toni Negri, Empire (2000). Secara singkat, keduanya menganggap bahwa apa yang baru dalam imperialisme (keduanya memakai sebutan Empire) adalah kehadiran sebuah sistem kapitalis berskala global, ditandai kemerosotan kekuasaan dan pengaruh negara-negara bangsa sebagai aktor tunggal. Mereka bilang, AS adalah kekuatan raksasa dunia yang menganggap dirinya memiliki kewenangan militer untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan bersenjata di permukaan planet ini. Tetapi dalam waktu yang sama muncul pula aktor-aktor lain yang beragam dalam jejaring Empire, di antaranya, IMF, WTO, PBB, negara-negara G8, negara-negara bangsa, dan termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil (LSM).
Buku kedua ditulis ahli geografi David Harvey, the New Imperialism (2003). Harvey menamai imperialisme kapitalis (capitalist imperialism) yang tidak lain adalah sebuah perpaduan kontradiktif antara perpolitikan negara dan proses molekular dari akumulasi modal. Di buku ini dia berusaha meletakkan pemahaman tentang perpaduan antara perkembangan imperialisme baru yang mengalami kemajuan pesat sejak zaman Bush tua dan Clinton dengan karakter ekspansi militer yang progresif dari Bush muda.
Terakhir, buku ahli ilmuan politik Ellen M.Wood, Empire of Capital (2003). Wood pada dasarnya memberi perhatian pada inti dari teori Marx, dengan menjelaskan imperialisme dari segi hubungan kelas, yakni antara kapitalis dan pekerja. Dia beranggapan, imperialisme lebih sebagai hubungan ekonomi dari pada soal kekerasan negara secara langsung. Kendati dia menganggap penghisapan dalam sistem kapitalis tetap memerlukan tindakan ekstra ekonomi melalui kekuatan birokrasi dan kekerasan, tetapi fungsi pokok negara adalah sebatas pencipta kondisi yang memungkinkan akumulasi.
Apa yang berbeda dari para teoritisi baru imperialisme ini, bahwa mereka menganggap teori imperialisme dari Marxist klasik tidak lagi memadai untuk menjelaskan perkembangan masa sekarang yang lebih rumit. Apakah benar? Tampaknya tidak juga. Pertama, relevansi teori klasik dengan perkembangan kapitalisme sekarang, bisa diuji dengan membandingkannya dengan lima ciri imperialismenya Lenin. Christian Fuchs (2010), di jurnal ilmu sosial paling berpengaruh Science & Society (74(2):215-47), membuat argumen mengenai relevansi teori Lenin itu. Merujuk ke lima ciri imperialismenya Lenin, dia menyuguhkan data statistik makro ekonomi perkembangan kontemporer kapitalisme global sebagai bukti. DAri sana dia menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud Lenin teruji saat ini: (1) konsentrasi kapital, saat ini terbukti, karena sektor manufaktur, jasa, dan keuangan sangat terkonsentrasi; (2) dominasi kapital keuangan juga tidak bisa diragukan lagi; (3) menonjolnya ekspor kapital diindikasikan dengan pertumbuhan pesat arus masuk dan keluar FDI secara global dalam 30 tahun terakhir dibanding periode 1945-1975, dengan pemain utama perusahaan transnasional; (4) ekonomi dunia masih tetap seperti 50 tahun lalu, terbelah secara geografis berdasarkan sistem kelas; (5) pemilahan seluruh dunia secara teritorial di antara raksasa kapitalis maju. Fuchs menyatakan, untuk point terakhir, Lenin hendak menunjukkan bahwa di bawah imperialisme seluruh teritori global berada di bawah kendali negeri-negeri kapitalis adalah tidak terbantahkan.
Kedua, dengan menggunakan metode dialektik, Lenin memberikan kredit penting dalam merumuskan teori imperialisme. Jika membandingkan dengan teori-teori imperialisme dari Hardt & Negri, Harvey, dan Wood, maka dari sisi konsistensi metodologis (metode dialektik) tampak jelas Lenin lebih konsisten. Karena dia mengikuti gerakan ganda (double movement), dari abstrak ke konkrit, dan dari konkrit ke abstrak. Sementara Hardt & Negri, Harvey, dan Wood bersandar pada metode presentasi dari abstrak ke konkrit, tanpa atau kurang melanjutkannya dengan metode investigasi dari konkrit ke abstrak. Jangan heran, kalau Bob Sutcliffe (2006) dalam tulisannya di jurnal Historical Materialism (14(4):59-78) menganggap teori imperialisme yang dibangun oleh ketiganya sebagai “empirico-phobic”, alias miskin data empirik kalau mau menyebutnya dengan lembut.
Kembali ke Lenin, dengan demikian, sangat relevan baik secara teori maupun metodenya. Lebih dari itu, tendensi krisis dalam sistem kapitalisme mutakhir yang selalu diikuti dengan kontratendensi melalui berbagai skema penyesuaian struktural dan neoliberalisasi seluruh aspek kehidupan yang mengarah kepada transnasionalisasi dan konsentrasi kapital, serta kekerasan bersenjata oleh negeri-negeri kapitalis demi kapital, menuntut kita untuk kembali melihat kemungkinan relevansi proyek politik Lenin.***