Semua untuk Aceh Merdeka*

LIPUTAN KHUSUS
Linda Christanty, wartawan-cum sastrawan. Buku kumpulan cerita pendeknya "Kuda Terbang Mario Pinto," memperoleh penghargaan Kathulistiwa Literary Award sebagai karya sastra terbaik.

HUJAN turun menjelang sore sepanjang April hingga awal Mei 2009. Khalidin Daud, atau biasa dipanggil Abu Khalidin, menelepon saya dan menyarankan kami berangkat ke Geumpang di pagi hari. “Kalau kesorean, nanti hujan. Jalan licin,” katanya pada saya.

Khalidin adalah bekas gubernur pertama Aceh Merdeka (AM). Usianya 59 tahun. Ia tinggal di desa Ulee Ceue, Pidie. Ia akan mengenalkan saya pada sahabatnya, Syamsudin bin Ahmad atau biasa dipanggil Geuchik Din. Lelaki itu pejuang AM angkatan pertama dan salah satu ideolog gerakan perlawanan tersebut. Perjalanan menuju rumah Geuchik Din melewati jurang dalam dan tebing yang mudah longsor di musim hujan. Khalidin juga menyarankan kami sudah meninggalkan Geumpang di sore hari. Dalam kegelapan malam dan deras hujan, pengemudi mobil sukar melihat jurang dan tebing longsor itu. Teledor sedikit saja, mobil bisa tergelincir ke jurang.


Perjalanan ke Geumpang ini merupakan bagian dari pembuatan film saya tentang sejarah Aceh Merdeka, yang kelak dijuluki Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh pemerintah Indonesia. Saya akan mewawancarai para bekas pejuang yang usianya sudah tak muda lagi untuk merekam pengalaman mereka sebagai saksi-saksi sejarah negerinya.

Azhari, direktur Komunitas Tikar Pandan, sahabat saya dan sastrawan Aceh, meminjamkan kamera dan mengutus seorang anggota komunitasnya untuk membantu saya. Kelak film ini akan jadi wujud kerjasama sindikasi media Aceh Feature dan Komunitas Tikar Pandan.

Biaya pembuatannya tak ditanggung satu sponsor pun. Wawancara dan pengambilan gambar tak ditentukan jadwal kerja, melainkan jumlah lembar rupiah di saku saya.


USUL Khalidin gagal terlaksana. Beberapa anggota tim tidak disiplin.

Teuku Zulfahmi atau biasa disapa Fahmi, Fajri, dan Darussalam baru menjemput saya pukul 12.30 di restoran ayam goreng di kawasan Peunayong. Saya menunggu mereka hampir tiga jam!

Fahmi pernah menjabat sekretaris jenderal Partai Gapthat, partai yang dibangun para ulama Aceh dan berbasis di dayah-dayah. Partai ini tidak lolos verifikasi, sehingga gagal jadi partai peserta Pemilu 9 April 2009 lalu. Fahmi ayah dari tiga anak laki-laki. Kakaknya, Cut Nur Asikin, pernah jadi juru runding GAM dan dihukum 14 tahun penjara oleh pemerintah Indonesia. Di tahun kedua masa tahanannya, tsunami menyapu Aceh dan meratakan penjara Lhok Nga tempat Cut Nur dikurung. Sore harinya Fahmi menumpang pikap tua dan disambung jalan kaki menuju Lhok Nga untuk mencari kakaknya. Ia hanya melihat dataran luas, sunyi, dan tiga tentara bersenjata yang mondar-mandir bingung tapi masih sempat menghardiknya. “Beberapa hari kemudian ada orang memberitahu saya bahwa dia melihat jasad kakak. Entah benar, entah tidak. Kak Cut mungkin dimakamkan di salah satu kuburan massal,” katanya.

Fajri keponakan Ismail Hasan Metareum, tokoh Partai Persatuan Pembangunan, partai nasional yang berpusat di Jakarta. Ibunya dan Ismail kakak-beradik kandung. Namun, Fajri tak pernah ikut partai politik dan tak suka politik. Ia ayah dari dua anak. Tadinya Fajri bekerja sebagai sopir truk antar kota sebelum beralih profesi jadi sopir mobil sewa. Saya mengenalnya dari Fahmi. Mereka teman sepermainan sejak kecil. Sejak Ismail wafat, hubungan keluarganya di kampung dengan istri dan anak-anak Ismail tak lagi akrab. Ia mengenang almarhum pamannya sebagai orang yang santun dan murah hati. “Dia tak membeda-bedakan latar belakang orang,” katanya. Metareum adalah nama kampung mereka. Orang-orang Aceh punya kebiasaan mencantumkan nama kampung kelahiran di belakang nama mereka.

Darussalam atau Darus adalah adik kandung Yahya Mu'ad, sekretaris jenderal Partai Aceh atau PA. Penampilannya sederhana dan tak banyak cakap. Suara tawanya tak sekeras yang lain ketika menyambut cerita lucu. Ia hanya bicara kalau ditanya. Berbeda dengan abangnya, ia sama sekali tak tertarik pada politik. Kakek mereka dulu pernah dibuang ke Pulau Jawa. “Kami memang dari keluarga pemberontak,” katanya pada saya. Ia pulang ke Aceh karena hendak ikut mencontreng dalam Pemilu Aceh bulan April 2009. Bertahun-tahun Darus tinggal di Jakarta. Istrinya bekerja sebagai pegawai negeri sipil di sana.

“Yang tak ada bagiannya di Pemda Aceh sini. Darus ingin istrinya pindah, tapi nggak bisa, karena nggak ada bagian itu, entah apa nama bagiannya,” kata Fahmi, tertawa.

Darus hanya senyum-senyum.

Di daerah Batei, mobil kami berhenti di muka sebuah masjid yang merupakan bagian dari pesantren. Fahmi turun dari mobil. Saya, Fajri, dan Darus tetap di mobil. Fahmi hendak menjemput Teungku Fakhrul, bekas pengawal Abdullah Syafei, panglima tertinggi GAM yang ditembak tentara Indonesia pada 2003.

Fakhrul bersetelan kemeja dan pantalon rapi, juga mengenakan sepatu kulit. Ia baru saja menghadiri kenduri. Ia langsung duduk di jok tengah bersama saya. Fahmi di depan, di samping Fajri sebagai pengemudi. Darus memilih menyendiri di jok belakang.

Mobil pun bergerak lagi, melaju ke Pidie. Kami akan menjemput Khalidin.

Sepanjang jalan Fakhrul dan Fahmi bercerita soal kepulangan singkat Hasan Tiro pada November 2008. Kini pencetus kemerdekaan Aceh itu telah berada di Aceh lagi. Ketika Tiro berada di satu rumah di Pidie pada November itu, seorang kawan seperjuangannya yang tak masuk dalam daftar undangan memaksa menemuinya. Ia bahkan ingin ikut bersama Tiro ke Swedia. Tengku Ishak, nama lelaki itu. Ia kehilangan semua anak lelakinya dalam konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan GAM.

“Kata pendamping Wali, entah Malik Mahmud, entah siapa, jangan ikut dulu, tapi dia membentak, ‘diam kamu, saya ada urusan dengan Tengku Hasan, saya mau ikut dengan dia. Sudah lama sekali saya ditinggalkan, bahkan suatu hari dulu dia menenangkan kami dengan ‘halo, halo, mereka segera datang, kami dalam keadaan terdesak’. Amerika sudah datang katanya. Terus dia pergi, tidak pulang lagi’ Begitu kata Tengku Ishak,” tutur Fakhrul, terbahak-bahak.

Wali adalah sebutan orang Aceh untuk Hasan Tiro. Secara harafiah, artinya pewaris atau penjaga kedaulatan.

Kami semua terbahak, membayangkan sang pemimpin berpura-pura bicara pada Amerika yang akan memerangi Indonesia, tapi melalui jam weker yang disamarkannya sebagai telepon.

“ Siapa yang bercerita soal Tengku Ishak ini?” tanya saya.

“Itu sudah rahasia umum. Suatu hari kalau kakak menanyakan langsung pada Wali apa yang terjadi, secara pribadi, jangan ada orang lain ya, Wali juga akan mengatakan yang sebenarnya pada kakak,” kata Fakhrul, lagi.


TAK berapa lama Fakhrul membuka tas plastik yang dibawanya. Ia mengeluarkan beberapa helai surat dan potret seorang pria.

“ Ini foto abang saya,” katanya. Orang dalam potret berambut agak gondrong, bertubuh kurus.

Fakhrul juga menyodorkan sehelai surat pada saya. Kertas itu tampak lusuh, tapi tulisan yang tertera di situ masih jelas terbaca. Penulis surat bernama Teungku M Rasyid Meuraxa.

“Setahu saya, dia dulu di bawah Panglima Daud Paneuk. Setahu saya, dia yang menguasai gerilyawan dalam gunung,” kata Fakhrul.

Daud Paneuk adalah bekas anggota Darul Islam di Aceh. Ia salah satu pengikut Daud Beureuh. Pada 1953, Mayor Jenderal Daud Beureuh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, memimpin pemberontakan terhadap republik dengan memproklamasikan Darul Islam di Aceh, sebagai bagian dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia yang dipimpin Sekarmaji Kartosoewirjo di tanah Jawa. Penyebabnya, pemerintah Soekarno tak mau memberi otonomi untuk Aceh dan menetapkan Aceh jadi bagian Sumatera Utara. Hal ini akan memperkecil basis suara untuk Masyumi, partai Islam tempat Beureuh bergabung. Di masa Soekarno, Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi pernah bekerjasama untuk menggulingkan pemerintahannya dengan bantuan senjata dari Amerika. Beureuh kelak menyerah dan bekas pasukannya diberi pekerjaan oleh pemerintah Soekarno, di lembaga sipil maupun militer. Namun, Daud Paneuk tak menyerah.

Ia mengerti strategi perang gerilya. Hasan Tiro mengajaknya bergabung di AM untuk memperkuat pasukan pertama AM.

“Rusli Ahmad ini siapa?” tanya saya, membaca nama yang disebut Teungku Rasyid dalam surat.

“Abang kandung saya. Ini surat pemberian wewenang. Dia diberi wewenang menjabat salah satu panglima muda sagoe Geumpang Baru, wilayah Pidie. Surat ini bertahun 1981. Tak pernah ada yang menulis tentang Teungku Rasyid. Dia juga komandan sekuriti untuk wilayah Pidie dan menyangkut seluruh Aceh. Sekuriti dalam bahasa AM waktu itu adalah sebagai komandan BIN (Badan Intelijin Negara),” kata Fakhrul.

Sagoe adalah wilayah setingkat kecamatan.

Di kepala surat tertera tulisan “Islamic State of Aceh Sumatera”. Rupanya faksi Darul Islam cukup kuat di awal pendirian AM. Tiro sendiri orang sekuler, berpendidikan Barat dan doktor ilmu politik lulusan Universitas Columbia.

Menurut Fakhrul, surat-surat ini boleh saya baca, tapi belum boleh diperbanyak dalam bentuk fotokopian.

“Karena yang tinggal dari Komandan Rasyid di seluruh Aceh, cuma ini. Yang saya pikirkan nanti kalau saya memegang ini sama dengan Wali memegang mandat yang diberi oleh Tengku Cik Di Tiro. Suatu saat saya bisa mengoreksi kalau perjuangan ini dialihkan,” katanya, sungguh-sungguh.

Abang Fakhrul, Rusli, meninggal dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di Temprung, Lamlo, pada 1992 dan dikuburkan di tempat itu juga.


KHALIDIN Daud telah menunggu kami di muka rumahnya. Ia mengenakan kemeja putih dan pantalon abu-abu. Di kepalanya bertengger kopiah putih. Di saku kemejanya tampak ujung bolpen. Ia masih mengajar di satu sekolah menengah atas di Sigli. “Tanggal 1 Januari 2010, saya pensiun,” katanya, suatu kali. Khalidin tak memperlihatkan rasa kesalnya, tapi beberapa kali ia berkata, “Saya kira batal acara kita, karena janjinya kan berangkat pagi.”

“Saya ada empat undangan hari ini. Tapi saya merasa yang ini lebih penting,” katanya, lagi.

Ia juga tampak kurang sehat dan batuk-batuk terus.

Begitu ia naik, mobil pun melaju ke arah Geumpang, ke rumah Geuchik Din.

“Beliau ini orang pertama yang ikut Wali Neugara. Dia orang yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan orang-orang hari ini, yang mencari kekayaan pribadi, tidak pernah melihat anak-anak yatim dan janda-janda yang jadi korban akibat konflik ini,” tutur Khalidin tentang orang yang akan kami jumpai nanti.

“Kapan terakhir Abu jumpa Geuchik Din?” tanya saya.

“Hampir tiap bulan jumpa. Dia ke rumah. Kami macam kakak-beradik. Dia orang yang berbicara tegas, tak ada pantang-pantang.”

“Apa saja yang dibicarakan kalau jumpa?”

“Tentang keluarga, pribadi. Perjuangan mau bicara apa lagi? Semua sudah tahu. Sejak MoU (Perjanjian Helsinki), (perjuangan) sudah tamat. Menikmati hasil perjuangan adalah bagi orang-orang yang mendapatkannya, yang berkeinginan untuk itu, sedangkan kita tidak.”

Geuchik Din bekerja di kebun kopi. Sebelum tsunami, ia beternak ayam dan bebek. Anak laki-lakinya hilang dalam tsunami, juga istrinya.

“Anak laki-laki Geuchik Gin satu-satunya. Dia ini sudah selamat, tapi teringat ibunya, lalu pulang lagi dia ke rumah. Di situ dia kena. Anak Geuchik Din yang perempuan tinggal di Banda Aceh. Sekarang Geuchik Din tinggal dengan istri mudanya di Geumpang. Istri muda, tapi sebenarnya tidak muda juga,” ujar Khalidin.

“Dia menikahi istri bekas stafnya yang syahid, Muhammad Alibin, janda beranak delapan.” Fakhrul menimpali ucapan Khalidin.

Khalidin kemudian bercerita tentang masa lalunya. Sebelum jadi gubernur pertama GAM, ia menjabat bendaharawan GAM. Ia pernah mengumpul uang sumbangan masyarakat hingga Rp 2 milyar di tahun 1990-an.

“Waktu itu ada bantuan pemerintah berjuta-juta untuk membangun kampung dan masyarakat memberinya untuk perjuangan. Kalau sekarang ibaratnya dana itu sebesar 10 juta, 2 juta untuk perjuangan,” katanya.

Ia berhenti jadi bendahara GAM, karena aparat mulai mengetahui sepak-terjangnya dan melakukan pengejaran. Ia sempat hijrah ke Jakarta, lalu kembali lagi ke Aceh. Di akhir masa Darurat Militer, tahun 2002 sampai 2003, ia ditahan tujuh bulan.

“Zaman Mega, Mega Pratama. Ada toko di situ Mega Pratama.” Ia berseloroh. Mega yang ia maksud tak lain dari Megawati Soekarno, presiden Indonesia di masa itu.

Megawati membuat kami teringat pemilihan presiden di bulan April lalu. Ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden Indonesia: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Jusuf Kalla-Wiranto, Megawati Soekarno-Prabowo Subianto.

“Menurut saya, GAM tetap (memilih) SBY . Orang masih senang sama SBY. Kemudian wakilnya, meski banyak partai tak senang, tapi pribadi wakil juga bagus. Wakilnya itu ahli ekonomi, kemudian hidup dengan sederhana dia,” kata Khalidin.

“Kalau yang dua itu kan memang sudah ada masalah dengan Aceh. Wiranto pernah membuat pernyataan tak perlu orang Aceh, yang perlu tanah Aceh, katanya. Nggak perlu orang Aceh, yang penting tanah Aceh. Begitu juga Prabowo, bermasalah dengan orang Aceh,” katanya, lagi.

Saya menanyakan pendapatnya tentang calon pemimpin dari generasi muda Aceh. Apakah ada yang terbaik dari mereka untuk memimpin Aceh masa depan?

“Siapa pun yang memimpin, Aceh tetap di bawah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tidak ada lagi AM. Wali pernah bilang, ini yang pertama dan terakhir. Kalau tak merdeka sekarang, tak akan ada merdeka lagi. Dia sangat optimis waktu itu. Tapi yang berhak diterima orang Aceh sekarang adalah otonomi. Waktu Indonesia dijajah Belanda bahkan ada radio Rimba Raya yang berpusat di Aceh dan menyiarkan soal Indonesia dan tentang orang Aceh menyumbang pesawat pertama untuk Indonesia. Jadi tak mungkin Aceh keluar dari Indonesia. Aceh ibarat kepala bagi Indonesia. Tanpa Aceh tak ada Indonesia. Tanpa kepala, hanya badan saja,” katanya.

“Bagaimana kekuatan AM menjelang MoU?” tanya saya.

Fakhrul menjawab pertanyaan ini, “Masih eksis. Cuma yang agak terkesan berat di segi logistik. Waktu darurat sipil, bukan darurat sipil yang saya lihat. Mereka (tentara Indonesia) melakukan operasi, istilahnya dalam bahasa kami, operasi obat nyamuk. Pokoknya waktu itu yang saya lihat sempit adalah makanan. Kalau nyali nggak bergeser sedikit pun.”

“Karena tsunami?”

“Bukan. Karena memang faktor pencegahan TNI yang sudah memang puluhan ribu pasukannya. Tapi waktu itu, kedua-duanya sudah stress, TNI maupun GAM. Seandainya memang ada perang sekitar lima tahun lagi. Pemerintah juga akan jatuh kapal. GAM juga terpaksa mengganti anak pelurunya dengan buah jambu,” ujar Fakhrul, terbahak-bahak.

Mobil mendadak penuh tawa.


HUTAN tampak di kanan kiri jalan. Hujan deras. Mobil terus melaju. Tiba-tiba Fakhrul berkata sambil menunjuk ke hutan di kanan kami. “Saya pernah ditembak di sini. Markas kami di atas sana. Kami punya anak buah waktu itu sekitar 700 orang. 300 perempuan, 400 laki-laki. Saya pernah tinggal di sini enam bulan, sebagai asisten pelatih. Nama hutan ini, Keumala Dalam,” katanya.

“ Tahun berapa kontak senjata di sini?” tanya saya.

“Sebelum jeda,” katanya.

Istilah “jeda” merujuk pada jeda kemanusiaan, gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 2000. Namun, tak lama setelah itu perang pecah lagi.

Di daerah Tangse, Fakhrul menunjuk ke hutan di kanan-kiri jalan.

“Itu semua tanah Zakaria Saman,” katanya.

Zakaria Saman adalah menteri pertahanan GAM.

“Kami sama-sama turun (gunung) setelah MoU. Kami tak punya apa-apa, tapi dia punya kebun seluas-luasnya,” katanya, lagi.

“Dia lah yang memecat kakak saya dari komisi pemantauan COHA,” tukas Fahmi.


COHA atau The Cessation of Hostilities Agreement (Perjanjian Penghentian Permusuhan) ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM pada 9 Desember 2002. Hal itu dilakukan agar kedua pihak dapat berunding. Namun, di saat bersamaan Megawati Soekarno justru meminta militer bersiaga untuk mencegah Aceh merdeka. Kekerasan tetap terjadi. Kesepakatan damai tak tercapai. Perang pun pecah lagi.

Fakhrul ternyata mengetahui peristiwa itu.

“Kak Cut waktu itu dipecat bersama dengan Tengku Zulfan, karena Tengku Zulfan menceritakan pada saya, karena saya satu pasukan dengan dia waktu itu,” katanya.

“Setelah dipecat, Tengku Zulfan ditembak oleh aparat, kakak saya dipenjara selama 14 tahun. Jadi kakak saya orang RI bukan, orang GAM juga bukan. Atau dia orang GAM yang tidak diakui GAM dan dituduh RI, sementara RI menganggap dia GAM,” kisah Fahmi.

Apa alasan Zakaria memecat Cut Nur?

“Kak Cut kan luwes. Kalau ada TNI bilang assamualaikum Kak Cut, Kak Cut jawab wa’alaikum salam, Kak Cut bersalam, jabat tangan. Zakaria bilang, jangan jabat tangan. Misalnya, suatu hari seorang Makarim minta api rokok pada orang kita, perunding dari GAM, padahal rokok belum dimatikan, tapi begitu diminta rokok langsung dimatikan. Jadi Makarim tangannya begini minta api rokok, orang GAM langsung matikan (rokok). Jadi kak Cut bilang, kalau begitu cara perjuangan, nggak akan ada guna perundingan. Api rokok pun kita nggak mau kasih, bagaimana kita ambil hati,” jawab Fahmi.

“Zakaria menganggap taktik Kak Cut itu salah, ditambah lagi Kak Nur menghadiri makan malam dengan Hasan Wirayuda, menteri luar negeri Indonesia waktu itu, di Jakarta. Dipecatlah sudah,” lanjutnya.

Cut Nur yang sudah dipecat GAM didatangi orang-orang dari pihak pemerintah Indonesia. Mereka menawarinya jadi gubernur transisi Aceh, menggantikan Abdullah Puteh yang dipenjarakan di Jawa karena kasus korupsi. Ia tidak bersedia. Ia juga ditawari mengurus penambangan emas di Busang, Kalimantan. Ia pun menolak tawaran itu.

“Kalau ini tak mau, itu tak mau, bagaimana kalau masuk penjara, kata RI. Kak Cut bilang, itu oke, lalu dia masuk penjara. Hahaha….” Fahmi tertawa-tawa.


JALAN yang kami lewati ini merupakan jalur pertempuran tentara Indonesia dan GAM.

“Blang Malo. Ini markas TNI (Tentara Nasional Indonesia),” kata Khalidin, memberitahu nama daerah ini.

“Yang kejadian ranjau di daerah ini juga. Yang dipasang ranjau di bawah,” kata Fakhrul.

“Ya, daerah ini juga,” tegas Khalidin.

“Yang dipasang bambu kecil.”

Fahmi menimpali, “Orang Aceh bilang igeuh, bambu kecil.”

“TNI terjun ke sana. 80 truk jumlah mereka. Itu tahun 1999. Mereka kan diserang AM dari atas, terus mereka masuk ke sini semua. Sebulan mayat mereka diambil, seperti nggak habis-habis,” kata Fakhrul.

“Siapa panglima di sini waktu peristiwa igeuh?” tanya saya.

“Banta Hasan, tapi dia sudah meninggal dalam satu pertempuran yang kalau nggak salah, di Jeunim atau Peurelak,” jawab Fakhrul.

“ Itu cara perang tradisional Aceh, memakai senjata igeuh?” tanya saya, lagi.

“Itu jebakan. Orang ini diserang dari atas, mereka terjun ke lembah. Begitu terjun bukan ke lembah, tapi masuk ke perangkap.”

Percakapan mendadak berubah topik.

“Kalau hujan gini, ngeri kita lewat sini. Makanya orang pagi-pagi ke Geumpang. Jam segini pulang,” ujar Fakhrul.

Hari hampir pukul tiga sore.

Saya mulai khawatir, “Bagaimana kalau jalan longsor?”

“Kita pulang lewat Medan, lewat Meulaboh,” sahut Khalidin.

Mobil terus melaju. Khalidin bercerita tentang mobil yang jatuh ke jurang dan banyak penumpang meninggal dunia. Di kiri kami, jurang dalam menganga.

Saya melihat dataran hijau terhampar, sejuk, sesaat menyela rupa jurang itu. Fahmi tiba-tiba berkata bahwa tempat itu adalah perkampungan jin terbesar se-Asia Tenggara. Ketika kami tertawa mendengar pernyataannya, ia mencoba menyakinkan kami bahwa raja jin di kampung itu telah memperistri perempuan desa di Pidie.

Fakhrul bercerita tentang seorang kenalannya yang bertapa di puncak Halimun, basis gerilya angkatan pertama AM. “Pulang-pulang dia bongkok. Rupanya jin-jin pari (peri) itu menumpang di pundaknya,” katanya. Muthada, jurukamera dari Komunitas Tikar Pandan, kadang-kadang merekam pembicaraan kami, dan kadang-kadang ia membuka jendela untuk merekam pemandangan di luar sana.


HUJAN deras tak kunjung berhenti. Mobil berhenti di muka sebuah rumah di kawasan Geumpang, diparkir di situ. Kami harus berjalan kaki ke rumah Geuchik Din.

Di seberang jalan, di samping rumah warga, ada jalan setapak. Di ujung jalan itu terbentang sebuah jembatan, yang membuat saya agak waswas menaksir kekuatannya.

Jembatan gantung ini terbuat dari tali dan kayu yang berayun-ayun saat orang maupun sapi-sapi melangkah di atasnya. Saya menjejakkan kaki di situ ketika sapi-sapi dan penggembala itu hampir sampai di seberang sana. Panjang jembatan sekitar 100 meter, dengan tinggi sekitar 40 meter. Saya tak bisa membayangkan bagaimana ia dibuat. Di bawah sana, sebatang sungai mengalir deras. Tetes-tetes hujan menghunjam permukaannya. Pandangan saya ikut memburam oleh lebat hujan.

Batu-batu yang berserak di bawah jembatan tampak begitu sayup. Udara begitu dingin. Angin kencang. Saya berhenti sebentar di sisi kiri jembatan ini, memegang erat-erat payung yang telah mengembang saat sebuah sepeda motor bergerak perlahan di sisi yang lain. Di ujung jembatan sana tak tampak satu rumah pun. Pohon-pohon dan semak menghijau, melindungi permukiman di belakangnya.

Akhirnya saya berhasil menjejakkan kaki di seberang jembatan. Jalan becek. Lubang-lubang berisi air hujan ada di mana-mana. Kaki-kaki terasa berperekat dan susah melangkah begitu menginjak lumpur. Jalan setapak di antara pohon dan semak ini akan membawa saya ke rumah Geuchik Din, orang yang disebut Khalidin sebagai pejuang angkatan pertama Aceh Merdeka.

Rumah tampak nyaris roboh. Ibarat pakaian, ia usang dan penuh tambalan. Dulu penghuninya telah mengirim 16 orang anggota Aceh Merdeka untuk berlatih perang di Libya dengan uangnya sendiri. Geuchik Din dulu kontraktor. Zakaria Saman, menteri pertahanan GAM, bahkan pernah bekerja untuknya.

Dinding-dinding rumah ini terbuat dari papan yang dicat hijau muda. Kusam dan tua. Ketika melewati ambang pintu, saya menjejak lantai rumah yang dilapisi plastik biru. Langit-langit juga berlapis plastik biru-merah. Tak ada seperangkat kursi dan meja tamu di ruang depan. Sehelai tikar rumbia usang terhampar menghadap pintu masuk. Tak berapa lama orang-orang meributkan pacet yang masuk ke rumah. Tuan rumah berkata bahwa musim hujan membuat binatang itu datang.

Ia menyambut hangat sahabatnya, Khalidin. Ia senang, tapi juga terkesan berhati-hati melihat beberapa orang yang belum dikenalnya, termasuk saya.

Fahmi pun menjelaskan maksud kedatangan kami. Ia lantas mengangguk-angguk, tersenyum, lalu menyilakan semua tamunya duduk. Setelah itu ia pergi ke ruang belakang. Tak berapa lama bergelas-gelas sirup dihidangkan untuk kami oleh anak perempuannya. Ia kembali ke ruang depan dengan mengenakan jas abu-abu yang melapisi kaos putih berkerahnya. Kain sarungnya bermotif kotak-kotak hijau-abu-abu. Kopiahnya putih bersih.

Geuchik Din lahir tahun 1932. Ia tamat Sekolah Rendah Islam atau SRI.

“Tahun ’75 bulan 11, kami dari Geumpang dipesan oleh Teungku Hasan Muhammad Di Tiro untuk datang ke Tiro. Waktu itu tanggal 30 bulan 11, kami datang ke Tiro, empat orang. Geuchik Pakeh, Pawang Rasyid, saya, Wahab Cut, sudah meninggal dia. Tanggal 4 bulan 12 tahun 1976, hari itulah diproklamirkan Aceh Merdeka di Kluk Kak, Tiro. Lebih kurang kami waktu itu 40 orang,” tuturnya.

Setelah itu ia mulai mencari orang-orang yang bersedia ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Ia pertama kali ditahan pada 1977 oleh aparat atas kegiatan politiknya itu.

“Saya ditahan satu bulan di kecamatan. Dilepas di siang Hari Raya Haji, tak dapat sembahyang hari raya,” katanya.

Pada 1979 ia ditangkap lagi, lalu dibawa ke Sigli dan dijatuhi hukuman penjara tiga bulan. Ia tak langsung dilepas, tapi dibawa ke Banda Aceh dan ditahan selama dua tahun.

“Setelah itu saya dibebaskan, pulang ke kampung. Sampai di kampung, dapat surat dari Panglima Daud Paneuk. Saya ditugaskan ke Meulaboh. Tugas saya adalah membawa seluruh bahan-bahan (selebaran) yang sudah dibuat Hasan Tiro, supaya orang Meulaboh mengikuti Aceh Merdeka,” katanya.

Geuchik Din mengadakan rapat dua malam berturut-turut di Meulaboh. Peserta yang hadir dalam keseluruhan rapat sekitar 80 orang.

“Apa yang Abu jelaskan dalam rapat itu?” tanya saya.

“Ini Tengku Hasan Tiro sudah pulang, dia ingin dirikan Aceh Merdeka kita, karena kita dari dulu, dari masih Iskandar Muda belum pernah menyerah. Jadi menyambung perjuangan Indatu (nenek moyang) kita, agar Aceh ini dapat merdeka,” jawabnya.

Ia juga berpura-pura hendak mencari tanah sawah saat masuk ke Aceh Barat. Namun, sepandai-pandainya ia berkelit aparat berhasil mengetahui tujuan sejatinya. Pada 1982, Geuchik Din ditangkap lagi. Meski berkali-kali ditangkap, ia tidak pernah jera.

Terakhir kali ia ditangkap pada 1990. Ia disiksa berat. Aparat bahkan memberi tanda silang pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya dan berkata, “Geuchik Din, habis!” Bekas-bekas penyiksaan itu masih tampak jelas. Dua tonjolan besar di pangkal lengannya. Tulang-tulangnya remuk. Ia juga tak bisa berjalan normal lagi.

“Tapi saya tetap bekerja untuk Aceh Merdeka. Karena saya sudah sumpah. Badan saya, nyawa saya, harta saya… demi untuk Aceh Merdeka. Tidak ada lain. Tidak ada untuk damai. Tidak ada untuk menyerah,” katanya.

“Otonomi?” celetuk Khalidin.

“ Tidak ada untuk otonomi. Kalau kawan saya sudah habis, tinggal saya, tetap saya memilih merdeka. Karena saya sudah janji, janji pada Yang Maha Kuasa. Saya tak mau ikut orang tu. Tidak mau saya jumpa orang tu. Tidak pernah saya datang makan dengan orang tu. Karena orang tu menyerah, bukan damai itu. Kalau damai, tidak ada potong-potong senjata. Dijual Aceh ini pada orang Jawa. Mereka ambil kesenangan, mereka berpijak di atas darah bangsanya,” katanya.

Suaranya bergetar dan lantang.

Kami semua duduk bersila di tikar rumbia mendengar Geuchik Din bicara. Murthada merekam adegan dengan kamera. Geuchik Din berbicara dalam Bahasa Indonesia. Katanya, belum waktunya orang membuat peraturan untuk menggunakan Bahasa Aceh, kecuali saat Aceh sudah merdeka.

Ia juga tak mau disebut suku Aceh.

“Saya adalah bangsa Aceh, bukan suku Aceh, seperti bangsa Jawa, bangsa Dayak di Kalimantan… Semua itu, di pulau-pulau itu bangsa, tapi Indonesia mengecilkannya menjadi suku,” katanya.***


*) Tulisan ini merupakan cuplikan perjalanan pembuatan film tentang sejarah gerakan Aceh Merdeka.