Meneropong Indonesia Dari Montreal


LIPUTAN KHUSUS
Pelarangan Buku, Demokrasi di Tanah Rencong, dan Menagih Keadilan di Bumi Timor Leste


Andri Cahyadi

18 MARET 2010. SIANG itu langit terlihat mendung. Montreal, kota kedua terbesar di Kanada, baru saja bebas dari kepungan salju. Tetapi, angin musim semi masih terasa dingin mengigit. Sesekali saya memastikan sarung tangan membingkai ketat kedua telapak tangan. Bersama beberapa orang kami berjalan pelan menuju Departemen Ilmu Politik untuk Studi Asia Tenggara (Southeast Asia Studies) Universitas McGill. Gedung ini terletak di Jalan Peel yang sedikit berbukit.

Pada hari itu, Departemen Ilmu Politik untuk Studi Asia Tenggara punya hajatan diskusi "Meja Bundar." Temanya adalah "Pembangunan Demokrasi di Indonesia." Erick Kuhonta, asisten profesor bidang perbandingan ilmu politik di universitas McGill, bertindak selaku moderator. "Acara seperti ini akan diselenggarakan setiap tahun", ujarnya membuka diskusi.



Di depan ruang diskusi terlihat tumpukan buku-buku yang ditulis para pembicara di atas satu meja. Buku-buku itu dijual dengan harga tanpa diskon. Semua buku menulis tentang bangsa Indonesia. Para penulis adalah para ahli tentang Indonesia. Sebagian dari mereka dikenal dengan istilah Indonesianis.

Anarko Demokrasi

Theodore Friend, pembicara paling senior, dikenal sebagai salah satu ahli Indonesia yang telah berkecimpung lama. Pergulatannya dimulai sejak tahun 1966, jaman yang dikenal sebagai titik balik peradaban. Satu keadaan dimana perebutan kekuasaan meminta begitu banyak nyawa dan darah rakyat. Itulah kali pertama ia menginjakkan kaki di bumi Indonesia nyiur melambai. Beberapa hasil penelitiannya sering menjadi bahan masukan kebijakan luar negeri pemerintah Amerika Serikat, melalui Foreign Policy Research Institute (FPRI) yang bermarkas di Philadelphia.

Friend beranjak dari tempat duduknya. Dengan berjalan pelan, ia menuju podium dengan menggenggam selembar catatan yang ditulis tangan. Hari itu ia mengenakan jas tanpa dasi.

“Anarko Demokrasi”, ujarnya.

Frasa itu diucapkan untuk memulai penyampaiannya pada diskusi ‘Meja Bundar’. Frasa “Anarko Demokrasi” dipilihnya untuk menjelaskan kondisi yang telah dan sedang dialami oleh bangsa Indonesia. Satu keadaan dimana kemajuan-kemajuan dan kekacauan berkelindan menjadi satu dalam sebuah harapan. Sebuah momen yang penuh kekacauan, namun terus-menerus dibangun bersama guna mendirikan sebuah masyarakat yang lebih demokratis. Inilah kondisi yang sedang dijalani masyarakat Indonesia.

Baginya, pembangunan Indonesia memang berjalan ke depan. Meskipun 85 persen Pasar Bursa Efek di Jakarta menyatakan “lost” pada tahun 1997, sebuah kondisi pasar yang jarang terjadi bagi bursa finansial di Amerika.

Ada beberapa hal yang dicatat oleh Theodore Friend. Dalam aspek politik, Indonesia kini memiliki sistem pemilihan umum presiden langsung sebagai satu perubahan sistem yang mendasar. Baginya itu sebuah kemajuan yang menggembirakan, karena partisipasi politik rakyat semakin bertambah di dalam politik. Itu sehat bagi pembangunan demokrasi. Menurutnya, Barack Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah dua pemimpin populer yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Amerika dan Indonesia. SBY telah dipilih sebanyak lebih dari 60 persen untuk kedua kalinya. Theodore Friend mengucapkan itu dengan sedikit tersenyum. Ia memang tidak menyinggung jumlah Golongan Putih (pemilih yang tidak memilih) yang mencapai 40 persen lebih.

Di dalam wilayah agama dan toleransi, Indonesia memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan beragama bagi warganya. Meski demikian, kebebasan itu tidak berlaku kepada mereka yang Ateis. Seorang warga Indonesia tidak boleh tidak bertuhan karena terlarang di Indonesia. Sebagai contoh, suku asli Toraja terpaksa memilh beragama Hindu sebagai status formalnya. Lantaran kepercayaan mereka tidak termasuk di dalam daftar agama-agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia.

Aspek lainnya adalah gerakan dan pembangunan civil society yang mengalami kemajuan pesat. Menurut Friend, organisasi seperti Kapal Perempuan telah berhasil memperkuat dan memperjuangan hak-hak perempuan dalam membangun kesadaran masyarakat untuk emansipasi perempuan.

Pada peristiwa bencana Tsunami di Aceh yang lalu, Wardah Hafidz dinilainya telah berhasil mengukir prestasi dengan memberi kontribusi yang cukup besar bagi para pengungsi Tsunami, melalui program pembangunan rumah-rumah bagi para korban. Prestasi itu sangat mendukung penguatan civil society.

Tidak kalah pentingnya keberadaan KontraS. Theodore Friend menggarisbawahi, KontraS telah berhasil membangun kekuatan masyarakat sipil dalam upaya penegakkan HAM di tanah air. Meskipun KontraS menderita karena tidak ada satu pun tabir kejahatan pembunuhan aktivis HAM Munir berhasil dibongkar dan tidak ada seorang pun dari kalangan intelejen yang diadili atas kematiannya.

Friend menutup pidatonya dengan sebuah akronim, BRIC. Ini adalah kelompok negara-negara yang ekonominya sedang bertumbuh pesat, terdiri dari Brazil, Rusia, India dan Cina. Friend mengganti negara India dengan Indonesia. "BRIC layak disandingkan sebagai sebuah kekuatan baru di dunia", ujarnya menutup presentasinya yang sarat optimisme itu.

Pelarangan Buku dan ‘Rule of Law’

Friend berganti dengan John Roosa. Sejarahwan muda yang mengajar di Univesitas British Columbia (UBC), Kanada ini, sempat menjadi perbincangan ramai di Indonesia. Bukunya "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto", secara semena-mena dilarang oleh Kejaksaan Agung RI tertanggal 22 Desember 2009.

Mengundang John Roosa menjadi salah satu pembicara, merupakan sebentuk usaha menyebarluaskan informasi tentang sensor oleh penguasa kepada khalayak umum. Pelarangan buku adalah sebuah tindakan tercela dan berbahaya bagi pembangunan demokrasi. Pelarangan buku karya Roosa itu, bukan barang baru. Sebelumnya, kasus pelarangan buku-buku juga dialami sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan penulis-penulis lainnya. Sensor dan pelarangan buku itu telah berlangsung sejak pemerintahan Orde Lama hingga Orde Reformasi. Buku-buku itu dilarang dengan alasan berpotensi mengganggu ‘Ketertiban Umum’ dan menyebarkan ajaran Marxisme. Sebuah tuduhan yang tak pernah bisa dibuktikan dan tak ingin dibuktikan oleh penguasa.

John Roosa membuka presentasinya dengan sebuah gambar grafis-karikatur para Presiden RI. Di sana nampak gambar Soekarno, Soeharto, Gus Dur, hingga Megawati dan SBY. Di setiap gambar itu dilengkapi definisi ‘Ketertiban Umum’ menurut masing-masing presiden di bagian bawahnya. Kemudian ia menjelaskan tentang 143 butir keberatan (List of 143 Objections) yang telah ditemukan di dalam bukunya. Hal itu sebagai upaya clearing house Kejaksaan Agung RI. Roosa menyebut tindakan Kejaksaan Agung sebagai ‘superhero peradaban’. Isi bukunya dianggap berpotensi dapat menimbulkan gangguan ‘Ketertiban Umum’ di masyarakat. Maka, bukunya dilarang beredar di Indonesia.

Alasan larangan itu sebenarnya janggal. Buku itu sendiri sudah beredar beberapa tahun sebelumnya. Penerbit adalah lembaga Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). dimana Roosa menjadi salah satu pendirinya. Selama itu, tidak ada satu gejolak pun di masyarakat. Sambil menujukkan beberapa gambar slide lainnya, Roosa mengatakan ada ketidakjelasan dasar hukum yang dijadikan pelarangan. Seperti berbagai definisi yang berbeda-beda tentang ‘Ketertiban Umum’ dari rejim ke rejim yang telah ia kemukakan sebelumnya.

Setelah itu, seluruh peserta memandangi sebuah poster bergambar selembar halaman dengan dua kolom yang berisi garis-garis berwarna merah seperti tulisan. Judul tulisan itu tertulis, “Atas Nama Pengalaman Kami Tetap Membaca Buku”. Ia menjelaskan kalimat itu dalam bahasa Inggris. Sambil menatap sesekali catatannya, Roosa kemudian melanjutkan perihal pelarangan bukunya itu. Saat ini dia telah mengajukan keberatan pelarangan bukunya kepada Mahkamah Konstitusi RI.

Menurut Roosa, masih adanya upaya pelarangan buku pada era reformasi dan keterbukaan ini mengartikan pemerintah sejatinya tidak pernah memercayai masyarakat untuk bisa menilai sendiri isi buku yang beredar di masyarakat. Pemerintah hari ini adalah mereka yang melihat masyarakat tidak memiliki kedewasaan untuk menerima informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pada Pasal 30 ayat (3) huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI disebut bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) RI hanya memuat fungsi pengawasan (monitoring). Kejagung RI di undang-undang itu tidak memiliki wewenang melarang peredaran barang cetakan. Pelarangan buku justru bertentangan dengan konstitusi Indonesia, yakni pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kebebasan kepada setiap warga Indonesia dan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Sambil memperlihatkan bukunya dalam edisi cetakan berbahasa Indonesia yang telah terlarang kepada peserta, John Roosa mengatakan bahwa ia bersama penerbit ISSI telah melepas copyright bukunya dalam bentuk soft file. Sejak saat itu 8000 orang diperkirakan telah mengunduh soft file buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Sejak diluncurkan pada Maret 2008, setidaknya 3000 eksemplar lebih telah terjual sehingga akhirnya dilarang oleh Kejagung RI pada Desember 2009.

Di dalam penutupnya, John Roosa menekankan dan menyarankan salah satu kebutuhan pembangunan demokrasi di Indonesia adalah adanya sebuah aturan hukum (rule of law) yang jelas. Kasus pelarangan bukunya itu cacat secara konstitusi jika merujuk UU No.4 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.

Ia menambahkan, berbagai bentuk sensor dan pelarangan buku sudah semestinya dihapuskan. Orang-orang yang menentang pelarangan buku bisa ikut memulainya sekarang dengan mendukung gerakan melawan pelarangan buku. Salah satunya dengan cara melobi parlemen Indonesia untuk melihat lagi aturan-aturan hukum pelarangan itu. Indonesia membutuhkan rule of law yang jelas sebagai prasyarat terciptanya masyarakat yang demokratis.

Aceh, dari Pemberontakan Menuju Demokrasi

Eunsook Jung adalah seorang asisten professor yang bekerja di Departemen Ilmu Politik Universitas Fairfield, Connecticut Amerika Serikat. Perempuan muda dan cerdas ini berasal dari Korea Selatan. Sambil menyusuri trotoar jalan Sherbrook, ia menuturkan kisahnya saat berada pada masa-masa pemilihan umum lokal di bumi rencong Aceh yang baru saja berlalu. Ada banyak kemajuan yang dicapai rakyat Aceh, katanya. Tetapi, masih ada pihak yang memakai cara-cara kekerasan dalam membangun pondasi demokrasi di sana. Ia pun menutup pembicaraan setibanya kami di muka gedung pertemuan.

Dalam diskusi itu, Jung mempresentasikan hasil penelitian dan pantauannya selama mengikuti pemilu lokal Aceh. Pemilu itu adalah pemilu lokal pertama dalam perjalanan hidup rakyat Aceh. Sebuah peristiwa politik yang sangat bersejarah. Sejak 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memperjuangkan 70 persen keuntungan sumber daya alam yang didominasi oleh Jakarta. Melalui perang gerilya yang panjang, konflik berdarah itu diakhir melalui meja perundingan. Salah satu hasilnya adalah pemilu lokal tersebut.

Eunsook Jung, di dalam presentasinya lebih banyak mengkritisi soal teknis pelaksanaan pemilu lokal Aceh. Katanya, hal yang perlu digarisbawahi adalahpersoalan tenaga pelaksana lapangan yang terbatas. Pemilu Lokal Aceh minim dalam memberikan pelatihan. Selain itu, upah yang diberikan kepada tenaga pelaksana terlalu kecil. Semua itu menjadi kendala-kendala dalam pelaksanaan pemilihan umum di sana.

Dia juga mencatat, sedikitnya ada tiga hal yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan pemilu lokal Aceh ke depan. Yaitu, soal administrasi, semisal daftar pemilu yang bermasalah, biaya kampanye partai-partai, dan proses penyelesaian perselisihan penghitungan suara. Ketiga hal itu harus menjadi perhatian dan perbaikan bagi masa depan pemilu lokal Aceh. Hal teknis lain yang menarik pertatiannya adalah soal ukuran surat suara. Sambil membuka surat suara yang dikantonginya sebagai contoh, ia menuturkan ukuran surat suara terlalu besar. Surat suara sebesar itu memakan banyak waktu untuk melipatnya kembali. Paling tidak dibutuhkan 5-10 menit bagi seorang pemilih untuk membuka, menentukan pilihan, hingga melipatnya kembali. Pemilih memerlukan ekstra ketelitian untuk bisa melipat kertas suara dengan benar, supaya dapat masuk ke dalam kotak suara. Semua itu selayaknya menjadi perhatian dan perlu dipertimbangkan kembali oleh Komisi Pemilihan Umum.

Simalakama Kompromi Gusmao dan Horta

Dari kedua pembicara pria lainnya, Geoffrey Robinson, satu-satunya orang yang mengenakan jas lengkap dengan dasi dipadu kemeja warna biru. Dia terkesan yang paling necis. Robinson mengajar pada departemen sejarah di University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat. Bukunya baru saja diterbitkan oleh penerbit Princeton berjudul "If You Live Us Here We Will Die" (2009). Buku itu memuat kesaksiannya selama masa jajak pedapat di Timor Timur (1999) dan hasil pengamatannya ketika dimulainya invasi militer Indonesia pada tahun 1975 di bumi Timor.

Tema yang dibawakan Robinson hari itu memang tidak senecis penampilannya. Ia berantakan. Bahkan, terlihat kusut dikerubung asap hitam. Duka kekerasan dari berbagai kasus pelanggaran HAM di bumi Timor Lorosae serasa tidak berujung. Tidak ada tanda-tanda penyelesaian. Rasa keadilan justru terasa dilecehkan oleh sikap para pemimpin negara yang baru saja merdeka itu.

Layar yang berwarna putih kemudian berubah seketika. Layar itu kini terpampang foto hitam putih. Di sana terlihat gedung-gedung dan tembok rumah yang habis terbakar. Suasana bekas peperangan tersirat kuat menarik perhatian semua peserta.

Sekira 1.500 orang meninggal dunia dan 400.000 orang menjadi pengungsi selama masa pendudukan Indonesia. Meskipun Timor Timur telah menjadi negara merdeka sepenuhnya, warisan kekerasan masih begitu kuat tersisa dalam tubuh belia kemerdekaannya. Stabilitas masih berjalan tertatih-tatih lantaran sesekali tertegun dan kebingungan melihat Indonesia. Indonesia sebagai tetangga dengan wilayah yang begitu besar, kuat secara ekonomi dan militer.

Menurut Geoffrey Robinson, ketidakstabilan itu ikut melanda institusi militer Timor Timur. Sejak tahun 2006, pihak Militer dan kepolisian Timor Timur telah bersitegang. Konflik antar kesatuan itu memuncak dengan menelan korban jiwa setidaknya 100 orang.

Rekonsiliasi dengan Republik Indonesia menurut Geoffrey Robinson memang hal penting. Kasus-kasus kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM masa lalu harus bisa diselesaikan untuk menegakkan rasa keadilan. Sampai hari ini oknum-oknum militer Indonesia yang terlibat dari masa pendudukan hingga pasca jajak pendapat pada 1999 tidak ada satu pun yang diadili.

Setelah merdeka pada 2002, para pemimpin Timor Timur tidak menunjukkan usaha pegakkan keadilan untuk para korban kejahatan perang. Sikap Horta dan Gusmao yang tidak mendukung Mahkamah Internasional untuk mengadili kejahatan perang militer Indonesia banyak mengundang seribu pertanyaan. Dua pemimpin Timor Timur itu terkesan lembek dan memilih kompromi. Mereka justru mendukung upaya persahabatan melalui Komite Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dengan pemerintah Indonesia. Kedua pemimpin itu enggan mengadili para jenderal militer Indonesia yang terlibat dalam kejahatan perang masa lalu bangsa itu. Keduanya malah menjadikan para jenderal berlumur darah itu sebagai sahabatnya.

“Jika saya adalah seorang warga Indonesia, sudah barang tentu saya akan merasa malu dengan semua hal yang telah terjadi di Timor Timur,” ucap Geoffrey Robinson sambil menutup uraiannya dengan mengubah tampilan slide bergambar nuansa perang dan kekerasan karya anak-anak Timor Timur.***


Andri Cahyadi, adalah penggiat Media Rakyat, Bingkai Merah.